Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ahok “Kecil” di Desa Rogomulyo, Kabupaten Semarang

4 Agustus 2016   17:38 Diperbarui: 4 Agustus 2016   17:49 2066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor kepala desa Rogomulyo (foto: dok pri)

Beberapa tahun sebelum Sadiq Khan, politisi Muslim terpilih menjadi Walikota London, ternyata di Desa Rogomulyo, Kaliwingu, Kabupaten Semarang, Pendeta Timotius Trimin telah dipilih oleh masyarakat yang mayoritas Muslim untuk menjabat sebagai Kepala Desa (Kades). Seperti apa kiprahnya di tengah kelompok mayoritas ini, berikut catatannya.

Bila Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belum pernah merasakan sengitnya pertarungan politik untuk menjadi orang pertama di DKI Jakarta, maka, Timotius Trimin yang juga merupakan seorang pendatang di Desa Rogomulyo, sudah menikmati sensasi bertarung di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Kendati melawan kotak kosong, karena tiadanya kompetitor yang berani melawannya, namun, ternya pesta demokrasi ala desa tersebut juga tak lepas dari segala intrik.

Ahok “kecil” yang menjadi warga Rogomulyo sekitar tahun 1996 karena ditugaskan oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) sebagai Pendeta, seperti galibnya seorang rohaniawan Kristen, tinggal di rumah kecil yang terletak di samping gereja. Kendati begitu, ia cepat beradaptasi dengan masyarakat setempat yang mayoritas beragama Islam. Gaya komunikasinya yang supel, enteng tenaga dan mudah diajak berdiskusi, membuat sosoknya cepat diterima oleh warga.

Di sela kesibukannya melayani umat Kristen, Trimin aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Selain tercatat sebagai anggota Musyawarah Perencanaan Pembangunan, sebuah forum publik yang terdiri unsur pemerintah serta tokoh masyarakat dan kelompok belajar masyarakat,  belakangan warga memilihnya menjadi Sekretaris LKMD Rogomulyo. Investasi sosial tersebut sebenarnya sengaja dilakukan guna mengisi kekosongan waktu yang ada pada dirinya.

Rumah Kades Trimin di samping gereja (foto: dok pri)
Rumah Kades Trimin di samping gereja (foto: dok pri)
Karena padatnya kegiatan yang ia ikuti, tak jarang masyarakat yang beragama Islam bertandang ke rumahnya yang nota bene berada di sebelah gereja. Mereka kerap berdiskusi tentang berbagai hal, bahkan terkadang hingga larut malam. Celakanya, Trimin tetap melayaninya. Sebab, menurutnya, silaturahmi harus senantiasa dipelihara tanpa memandang agama.

Hingga memasuki tahun 2012, masa jabatan Kades  Rogomulyo yang dipegang oleh Soejadi ternyata sudah usai. Masyarakat, mendorong Trimin untuk maju mengikuti Pilkades yang akan digelar tanggal 16 Desember 2012. Awalnya ia menolak, dirinya sadar diri belum mempunyai kapabilitas menjadi pemimpin, meski hanya tingkat desa. Terlebih lagi, sosoknya merupakan kelompok minoritas. Sampai sekarang, warga Kristen di desa ini cuma berjumlah 361 orang, sedang Islam mencapai 3.567 orang.

Kantor kepala desa Rogomulyo (foto: dok pri)
Kantor kepala desa Rogomulyo (foto: dok pri)
Pendeta Ikut Tahlilan

Karena desakan semakin kuat, akhirnya Trimin tak mampu mengelak, ia pun mendaftar sebagai kandidat Kades. Sayang, majunya Trimin pada pesta demokrasi level desa ini, membuat tokoh lainnya enggan “bertarung”. Entah karena melihat kekuatan dukungan yang berpihak kepada sang Pendeta, atau memang tak punya nyali, akhirnya Trimin di Pilkades dinyatakan melawan kotak kosong. Ada pun total pemilih mencapai 2600 orang.

Seperti galibnya Pilkades, maka segala intrik juga ditemukan di Desa Rogomulyo. Beberapa oknum, sengaja melakukan black champaign dengan menyebarkan uang pada warga agar tidak memilih Trimin. Menghadapi hal tersebut, ia menyusun strategi pemenangan. “ Prinsipnya que sera- sera, apa yang terjadi ya terjadilah,” ungkapnya ketika berbincang.

Dua minggu sebelum pemilihan, Trimin merekrut dua orang kader dari tiap dusun. Desa Rogomulyo sendiri memiliki enam dusun, tugas kader adalah membentuk 12 pos yang tersebar di masing- masing dusun. Anehnya, kader- kader yang direkrut bukan merupakan warga yang beragama Kristen. Mereka juga suka rela membantu pak Pendeta untuk mengalahkan kotak kosong. “ Tugas kader di pos itu mencegah terjadinya money politic,” jelasnya.

Apa yang menjadi kekhawatiran perihal money politic memang benar adanya, terbukti, kadernya berhasil menggagalkan keberadaan seorang warga yang akan membagikan uang.  Sementara, guna kepentingan operasional, menyangkut konsumsi di pos- pos yang dibentuknya, Trimin menghabiskan dana Rp 600.000 perpos. Bila ditotal, anggaran 12 pos mencapai Rp 7.200.000.

Hingga menjelang Pilkades berlangsung, total anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 43 juta, meliputi untuk biaya pendaftaran, kampanye hingga konsumsi.  Dari angka Rp 43 juta itu, uang pribadi miliknya hanya Rp 15 juta. Sebab, pihak pemerintah kabupaten membantu Rp 5, kas desa Rp 4,5 dan sisanya merupakan bantuan masyarakat yang bersimpati pada dirinya.

Akhirnya, tanggal 16 Desember 2012 pun tiba. Warga Desa Rogomulyo berbondong ke Balai Desa untuk memberikan hak suaranya. Dari 2600 pemilih, Trimin mengantongi 1559 suara, kotak kosong mendapatkan 424 suara, sisanya dinyatakan tidak sah dan sebagian tak hadir. Dengan begitu, ia dinyatakan secara sah terpilih sebagai Kades untuk 6 tahun ke depan. “ Meski di sini hanya sebuah desa, namun terbukti cara berfikir masyarakatnya sudah sangat dewasa,” ujarnya.

Menjabat Kades di desa yang penduduknya mayoritas Muslim, tak pelak, membuat Trimin harus bisa menempatkan diri. Ia mengaku, hanya memberikan khotbah, pelayanan dan penghiburan saat di gereja. Di luar gereja, dirinya melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin yang mampu ngemong serta mengayomi warganya tanpa membedakan agamanya. Tidak perlu heran bila dirinya kerap mengikuti tahlilan mau pun pengajian. Pasalnya, setiap ada hajatan, selalu didahului pengajian. “ Begitu pun saat ada warga yang meninggal, pasti diadakan tahlilan,” ungkapnya.

Setelah Trimin menjabat hampir empat tahun, lantas, bagaimana komentar warganya ?  Salah satu warga yang ditemui di ujung desa, mengakui bahwa kepemimpinan Trimin selaku Kades, lebih banyak mengakomodir kepentingan masyarakat. Ia tak pernah memaksakan kehendak dalam hal apa pun. “ Peluang pak Lurah (Kades) terpilih lagi sangat besar,” jelasnya sembari wanti- wanti tak disebut namanya.

Dalam pengamatan di lapangan sendiri, gereja yang dipimpin Trimin sejak tahun 2012 lalu tidak mengalami perubahan apa pun. Sementara beberapa Masjid terlihat berdiri cukup mentereng, demikian juga PAUD, setidaknya telah terbentuk di berbagai titik. Sedang kondiri infrastruktur lainnya, relatif belum banyak mengalami kemajuan, termasuk gapura sebagai pintu masuk desa Rogomulyo.

Itulah catatan tentang Ahok “kecil’ di wilayah kabupaten Semarang, ia pendatang dan juga termasuk golongan minoritas, namun, karena investasi sosialnya cukup tinggi, akhirnya dipilih warga untuk menduduki Kades. Kedewasaan berfikir masyarakat Rogomulyo layak diacungi jempol, mereka mengabaikan label agama demi kepentingan desanya. Pertanyaannya, apakah Ahok nantinya mampu mengikuti jejak Trimin ? Susah menebaknya, yang jelas, konon  vox populi, vox dei, tetap berlaku di panggung politik. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun