Beberapa tahun sebelum Sadiq Khan, politisi Muslim terpilih menjadi Walikota London, ternyata di Desa Rogomulyo, Kaliwingu, Kabupaten Semarang, Pendeta Timotius Trimin telah dipilih oleh masyarakat yang mayoritas Muslim untuk menjabat sebagai Kepala Desa (Kades). Seperti apa kiprahnya di tengah kelompok mayoritas ini, berikut catatannya.
Bila Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belum pernah merasakan sengitnya pertarungan politik untuk menjadi orang pertama di DKI Jakarta, maka, Timotius Trimin yang juga merupakan seorang pendatang di Desa Rogomulyo, sudah menikmati sensasi bertarung di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Kendati melawan kotak kosong, karena tiadanya kompetitor yang berani melawannya, namun, ternya pesta demokrasi ala desa tersebut juga tak lepas dari segala intrik.
Ahok “kecil” yang menjadi warga Rogomulyo sekitar tahun 1996 karena ditugaskan oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) sebagai Pendeta, seperti galibnya seorang rohaniawan Kristen, tinggal di rumah kecil yang terletak di samping gereja. Kendati begitu, ia cepat beradaptasi dengan masyarakat setempat yang mayoritas beragama Islam. Gaya komunikasinya yang supel, enteng tenaga dan mudah diajak berdiskusi, membuat sosoknya cepat diterima oleh warga.
Di sela kesibukannya melayani umat Kristen, Trimin aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Selain tercatat sebagai anggota Musyawarah Perencanaan Pembangunan, sebuah forum publik yang terdiri unsur pemerintah serta tokoh masyarakat dan kelompok belajar masyarakat, belakangan warga memilihnya menjadi Sekretaris LKMD Rogomulyo. Investasi sosial tersebut sebenarnya sengaja dilakukan guna mengisi kekosongan waktu yang ada pada dirinya.
Hingga memasuki tahun 2012, masa jabatan Kades Rogomulyo yang dipegang oleh Soejadi ternyata sudah usai. Masyarakat, mendorong Trimin untuk maju mengikuti Pilkades yang akan digelar tanggal 16 Desember 2012. Awalnya ia menolak, dirinya sadar diri belum mempunyai kapabilitas menjadi pemimpin, meski hanya tingkat desa. Terlebih lagi, sosoknya merupakan kelompok minoritas. Sampai sekarang, warga Kristen di desa ini cuma berjumlah 361 orang, sedang Islam mencapai 3.567 orang.
Karena desakan semakin kuat, akhirnya Trimin tak mampu mengelak, ia pun mendaftar sebagai kandidat Kades. Sayang, majunya Trimin pada pesta demokrasi level desa ini, membuat tokoh lainnya enggan “bertarung”. Entah karena melihat kekuatan dukungan yang berpihak kepada sang Pendeta, atau memang tak punya nyali, akhirnya Trimin di Pilkades dinyatakan melawan kotak kosong. Ada pun total pemilih mencapai 2600 orang.
Seperti galibnya Pilkades, maka segala intrik juga ditemukan di Desa Rogomulyo. Beberapa oknum, sengaja melakukan black champaign dengan menyebarkan uang pada warga agar tidak memilih Trimin. Menghadapi hal tersebut, ia menyusun strategi pemenangan. “ Prinsipnya que sera- sera, apa yang terjadi ya terjadilah,” ungkapnya ketika berbincang.
Dua minggu sebelum pemilihan, Trimin merekrut dua orang kader dari tiap dusun. Desa Rogomulyo sendiri memiliki enam dusun, tugas kader adalah membentuk 12 pos yang tersebar di masing- masing dusun. Anehnya, kader- kader yang direkrut bukan merupakan warga yang beragama Kristen. Mereka juga suka rela membantu pak Pendeta untuk mengalahkan kotak kosong. “ Tugas kader di pos itu mencegah terjadinya money politic,” jelasnya.
Apa yang menjadi kekhawatiran perihal money politic memang benar adanya, terbukti, kadernya berhasil menggagalkan keberadaan seorang warga yang akan membagikan uang. Sementara, guna kepentingan operasional, menyangkut konsumsi di pos- pos yang dibentuknya, Trimin menghabiskan dana Rp 600.000 perpos. Bila ditotal, anggaran 12 pos mencapai Rp 7.200.000.