Setiap pengguna jalan raya Simo- Klego, Kabupaten Boyolali, ketika melalui Gunung Madu, bisa dipastikan akan melihat keberadaan lima gua yang berada di sisi jalan. Lobang besar buatan manusia tersebut, biasa dinamakan gua Jepang. Kenapa dinamakan seperti itu ? Konon, tersembunyi cerita kelam di dalamnya, berikut penelusurannya.
Dengan lebar berkisar 4 meter dan tinggi mencapai 3 meter, gua Jepang yang letaknya persis di samping kiri jalan raya Simo- Klego ini, rata- rata memiliki kedalaman sekitar 20 meter. Satu sama lain berjarak kurang dari 100 meter, kondisinya sangat tidak terawat. Padahal, harusnya lobang besar ini masuk katagori cagar budaya. Sayang, keberadaannya terabaikan.
Dari Kecamatan Simo, jaraknya hanya berkisar 4 kilometer. Namun, jalannya naik tajam dan memiliki kelokan- kelokan tajam. Kalau tidak hati- hati, bisa- bisa rencana mengunjungi gua Jepang berantakan. Pasalnya, banyak kendaraan yang dikendarai anak- anak muda ngebut cenderung asal nyelonong. Untuk itu, disarankan ekstra waspada bila melalui jalan ini.
Sebaliknya, lima gua ini, dibuat oleh kaum pribumi jaman kependudukan Jepang. Sedangkan fungsinya, selain untuk bersembunyi rakyat, juga digunakan oleh para pejuang menyusun siasat.
Kepastian bahwa gua- gua tersebut dibuat oleh kaum pribumi ini, ditegaskan oleh Rusno, seorang kakek berusia 80 tahun Desa Tanjung, Klego, Kabupaten Boyolali yang rumahnya berjarak hanya 1 kilometer dari lokasi. “ Tentara Jepang di sini sangat kejam, sehingga menimbulkan ketakutan pada diri rakyat kecil,” kata Rusno.
Memasuki tahun 1943, kata Rusno, para pejuang bersama rakyat akhirnya memutar akal agar perlawanan tetap berlanjut, namun, warga juga merasa aman. Beberapa tokoh masyarakat yang melakukan analisa dan evaluasi (anev), akhirnya memilih bukit Gunung madu sebagai tempat persembunyian yang aman. Kebetulan, saat itu belum menjadi jalan raya, masih berupa jalanan tanah serta di samping kirinya jurang yang dalam.
Secara sembunyi- sembunyi, bahkan lebih sering dilakukan malam hari, rakyat berduet dengan para pejuang membuat lobang besar di lereng bukit. Menggunakan peralatan seadanya, sedikitnya ada 12 titik yang digali.
Untuk ukuran saat itu, apa yang dilakukan mereka merupakan pekerjaan yang luar biasa. Pasalnya, semua dikerjakan sembari bergerilya. Kalau kepergok militer Jepang, alamat nyawa akan melayang.
Setelah bekerja keras selama berbulan- bulan, akhirnya berhasil dibuat gua yang rata- rata berukuran lebar 4 meter dan tinggi mencapai 3 meter. Kendati tanpa ventilasi apa pun, namun, karena kondisi ketakutan yang sangat mencekam, maka saban hari ada lima gua yang dimanfaatkan untuk bersembunyi. Satu gua, minimal dijejali 50 orang. “ Untuk mengelabui Jepang, mulut gua sengaja ditutupi dedaunan,” tutur Rusno.
Begitu pun dengan para pejuang, dalam menyusun siasat perang, mereka memilih menggelar rapat di dalam gua. Setelah perencanaannya matang, barulah mereka keluar untuk melanjutkan gerilya.
Rutinitas tersebut berjalan bertahun- tahun hingga Jepang mengalami kekalahan dan dipaksa pulang ke negerinya. “ Setelah Jepang pergi, gua- gua itu terbengkalai,” keluh Rusno.
Apa yang disampaikan oleh Rusno, dibenarkan seorang warga Desa Tanjung lainnya. Menurutnya, dari 12 gua yang ada, sekarang hanya tersisa 5 gua karena yang lainnya mengalami runtuh.
Celakanya, gua yang tersisa nasipnya juga mengenaskan. Lokasinya yang sepi, jauh dari pemukiman, membuat pasangan – pasangan muda sering memanfaatkannya untuk berbuat mesum. “ Harusnya, lima gua yang tersisa masuk cagar budaya,” ungkap warga yang mengaku bernama Martono tersebut.
Ketika kaki melangkah memasuki bagian dalam, maka aroma yang spesifik langsung menyergap lobang hidung. Padahal, di seberangnya terdapat Restoran cukup megah yang dibangun pihak swasta. Sungguh sangat disayangkan, lobang besar yang sarat cerita bersejarah itu malah diabaikan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H