Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanjung Balai, Belajarlah ke Salatiga

1 Agustus 2016   17:30 Diperbarui: 2 Agustus 2016   18:57 3485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Titik Nol Kota Salatiga (foto: dok pri)

Ibarat sayap burung Garuda kembali terkoyak, gara- gara provokasi oknum tak bertanggungjawab, Jumat (29/7) malam, KotaTanjung Balai, Sumatera Utara dilanda amuk massa. Celakanya, biang keladinya berlatar belakang suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Sementara, Kota Salatiga yang didera kejadian yang nyaris sama, tetap kondusif.

Sekitar 50 orang anggota Forum Agamawan Muda Indonesia Lintas Iman (FAMILI) Kota Salatiga berkumpul di gedung PCNU yang terletak di Jalan Kartini, Kota Salatiga. Anak- anak muda yang terdiri dari berbagai profesi yang berbeda agama tersebut, selain mengutuk terjadinya kerusuhan di Tanjang Balai, juga menggelar doa bersama agar peristiwa serupa tak terulang di Republik ini. “ Kami ingin anak- anak muda di Indonesia mampu berfikir dewasa dalam menyikapi isyu- isyu yang menyesatkan,” kata Dr Benny Ridwan, salah satu aktifis FAMILI.

Benny yang berasal dari Sumatera Utara menegaskan, kedewasaan masyarakat Kota Salatiga dalam mencerna isyu negatif, layak diacungi jempol. Sebab, kendati diprovokasi melalui media sosial, namun, hal tersebut diabaikan. Segala persoalan yang berpotensi menimbulkan kerawanan diserahkan penangannya pada aparat keamanaan. “ Toleransi yang tinggi inilah yang membuat saya betah tinggal di Salatiga,” tukasnya.

Sebelum Kota Tanjung Balai dilanda kerusuhan, Kota Salatiga sempat digoyang peristiwa penganiayaan berat yang menimpa Patlas Deo Hani (26) warga Desa Pabelan RT 06 RW 01, Pabelan, Kabupaten Semarang. Kamis (28/7) pagi, mahasiswa muslim tersebut meninggal akibat dianiaya dua mahasiswa non muslim dan juga merupakan pendatang.

Paska meninggalnya Patlas Deo yang dihajar oleh Freli Rivaldy Senaen (22) dan Rizki Activan (22), media sosial segera ramai oleh berbagai provokasi. Dari mulai rencana swepping, hingga akan adanya aksi balas dendam. Sayangnya, bara tersebut mampu diredam. Jajaran Sat Reskrim Polres Salatiga pun bergerak cepat, dua tersangka langsung dijebloskan ke tahanan guna menjalani proses hukum.

Tokoh- tokoh masyarakat sendiri, kendati mengutuk kejadian berdarah itu, namun tetap mengapresiasi kedewasaan warga Salatiga. Arif Budianto SH, Ketua Forum Umat Islam Salatiga (FUIS), secara tegas mengecam perilaku mahasiswa pendatang yang tidak bisa membawa diri. Terkait hal tersebut, ia meminta Hakim di Pengadilan Negeri yang akan menyidangkannya untuk menjatuhkan vonis maksimal. “ Jangan sampai nantinya vonis membuat kecewa masyarakat mau pun keluarga korban,” ujarnya.

Setiap terjadi amuk massa dengan balutan suku, agama ras dan antar golongan (SARA) di Republik ini, saya selalu teringat dengan Kota Salatiga, Jawa Tengah. Di kota berpenduduk 190 ribu jiwa ini, berdiam sekitar 23 suku dari berbagai daerah di Indonesia. Kendati agama Islam menjadi mayoritas (75 persen), namun belum pernah terjadi kerusuhan berlatar belakang etnis,agama mau pun antar golongan.

Salatiga yang di tahun 2015 lalu dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran se Pulau Jawa, memang sangat toleran. Keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berdiri di tahun 50 an. Membuat kota ini saban tahun dibanjiri mahasiswa dari berbagai daerah luar Jawa, berdasarkan catatan, sedikitnya terdapat 23 suku yang tinggal di kaki gunung Merbabu ini. Sebelum memulai perkuliahan, biasanya digelar ritual pawai “kulo nuwun” yakni meminta ijin pada masyarakat.

Di luar UKSW, terdapat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang memiliki tiga kampus terpisah dengan ribuan mahasiswanya. Kebetulan, mahasiswanya mayorita juga berasal dari luar kota Salatiga. Kendati begitu, belum pernah terjadi gesekan antar mahasiswa. Bahkan, selepas wisuda pun, banyak yang memilih tinggal di Salatiga. Beberapa orang di antaranya adalah Dr Benny Ridwan sendiri, Dr Izak Lattu serta seorang Kompasianer Semuel Lussi.

Umat Islam melaksanakan sholat Ied di Lapangan Panca Sila (foto: dok pri)
Umat Islam melaksanakan sholat Ied di Lapangan Panca Sila (foto: dok pri)
Ibadah Bergantian

Ada stigma, bagi yang tak mengenal Salatiga, mereka beranggapan bahwa kedamaian, ketenangan dan kenyamanan yang ada disebabkan kultur (maaf) orang Jawa yang melekat pada masyarakat Kota Salatiga. Di mana, ada kecendrungan sikapnya santun serta cenderung nrimo. Sebenarnya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun juga tak sepenuhnya salah.

Masyarakat Kota Salatiga lebih suka menempuh cara- cara cerdas dan elegan dalam menyelesaikan suatu persoalan. Paling tidak, beberapa kali aksi unjuk rasa yang digelar, semuanya berlangsung aman. Bahkan, Minggu tanggal 2 Maret 2008, pernah terjadi, sedikitnya 10 ribu umat Muslim melakukan aksi unjuk rasa besar- besaran. Aksi yang dimotori para kyai serta aktifis muda Islam, dimulai dari Masjid Al Atiq yang terletak di jalan raya KH Wahid Hasyim berjalan kaki menuju rumah dinas Walikota berjarak sekitar 1 kilometer, melalui UKSW, SMP Stella Matutina serta tiga gereja.

Kebaktian Natal bersama di Lapangan Pancasila (foto: dok pri)
Kebaktian Natal bersama di Lapangan Pancasila (foto: dok pri)
Tuntutan massa cuma satu, meminta lahan yang dikuasai pihak swasta untuk dibuat menjadi Islamic Centre. Aksi yang melibatkan ribuan umat Muslim berlangsung sekitar 2 jam, di mana dari Masjid Al Atiq massa bergerak menuju rumah dinas Walikota yang berjarak 1 kilo meter. Ketika negoisasi tak menemui titik temu, apa yang yang terjadi ? Massa bubar secara tertib. Dalam aksi itu, tidak ada satu pun rumput yang tercabut dan tidak ada satu pun genting yang retak.

Kendati Islam menjadi agama mayoritas, namun, mereka tidak pernah bertindak arogan dan sewenang- wenang. Pintu dialog, komunikasi serta diskusi lebih banyak ditonjolkan dibanding memamerkan ototnya. Toleransi beragama sendiri, terlihat pada penggunaan lapangan panca Sila yang berada di pusat kota. Di mana, saban tahun umat muslim memanfaatkan untuk dua kali menggelar sholat, yakni di hari raya Idhul Fitri mau pun hari raya Idhul Adha. Di tempat yang sama, umat Nasrani di hari yang berbeda juga menggunakan sebagai lokasi kebaktian Natal bersama berikut Paskah.

Itulah sedikit tentang Kota Salatiga, seperti kota- kota lainnya, kriminalitas selalu ada, namun aparat keamanan juga sigap menanganinya. Salatiga memang penuh pesona, semisal Republik ini kondisinya mirip Salatiga, maka rakyat akan adem ayem. Tak ada kerusuhan seperti yang terjadi di Tolikara, Aceh Singkil mau pun Tanjung Balai. Jadi, bila mau belajar bersikap dewasa, datanglah ke Salatiga. Salam damai ! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun