Seperti sebuah tradisi, pergantian kepala daerah dipastikan memberikan sentuhan tersendiri pada masjid Agung. Bahkan Bupati Magelang ke V, RAA Danoesoegondo menjabat, ia melakukan renovasi besar-besaran. Menggunakan jasa arsitek Belanda bernama Heer H Pluyter, akhirnya Masjid menjadi semegah sekarang ini. Kendati begitu, Magelang yang dipecah jadi dua (Kabupaten dan Kota), di era orde baru juga mengalami penambahan. Walikota Magelang Bagus Panuntun di tahun 1991, sempat mendirikan menara setinggi 24 meter dan menambahi teras depan dan tempat wudlu yang terpisahkan antara pria dengan wanita.
Jelang perang brontoyudho, tentara rakyat yang berasal dari Surabaya dan Madura menjadikan Masjid Agung sebagai lokasi persinggahan sebelum menuju Parakan guna meminta doa seorang ulama terkenal, yaitu Kyai Subechi. Karena masjid penuh dengan tentara, akhirnya didirikan dapur umum di kampung Kejuron agar segala keperluan menyangkut perut teratasi. “ Kebetulan waktu itu usia saya berkisar 11- 12 tahunan, jadi ya sudah agak mengerti situasinya,” ungkap Jauhari.
Setahun kemudian, di tahun 1948, saat clash II kembali terjadi, tentara rakyat juga menjadikan masjid ini sebagai markas. Akibatnya, militer Belanda berduet dengan prajurit Ghurka secara berjamaah menghujani Masjid Agung menggunakan beragam senjata berat. Tak pelak, hal itu menimbulkan kerusakan di bagian atap serta tembok. Beruntung, akhirnya serdadu- serdadu Belanda ngacir ke negerinya sehingga Masjid Agung tidak terusik hingga sekarang. Semoga warisan nenek moyang tersebut mampu kita jaga sampai kapan pun juga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H