Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ups! Masjid Agung Magelang ini Umurnya 237 Tahun

29 Juli 2016   13:18 Diperbarui: 29 Juli 2016   13:45 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istirahat dan tiduran di teras Masjid (foto: dok pri)

Seperti sebuah tradisi, pergantian kepala daerah dipastikan memberikan sentuhan tersendiri pada masjid Agung. Bahkan Bupati Magelang ke V, RAA Danoesoegondo menjabat, ia melakukan renovasi besar-besaran. Menggunakan jasa arsitek Belanda bernama Heer H Pluyter, akhirnya Masjid menjadi semegah sekarang ini. Kendati begitu, Magelang yang dipecah jadi dua (Kabupaten dan Kota), di era orde baru juga mengalami penambahan. Walikota Magelang  Bagus Panuntun di tahun 1991, sempat mendirikan menara setinggi 24 meter dan menambahi teras depan dan tempat wudlu yang terpisahkan antara pria dengan wanita.

Tiang dan kayunya didatangkan dari Bojonegoro (foto: dok pri)
Tiang dan kayunya didatangkan dari Bojonegoro (foto: dok pri)
Sekarang, kondisi Masjid Agung yang berusia ratusan tahun ini terlihat kekar dan lumayan megah. Masjid yang sudah melewati beberapa jaman itu, selalu penuh dengan jamaah.Sejak era tingkat buta huruf nyaris 100 persen, hingga buta aksara 0 persen, banyak cerita yang membalut tempat ibadah tersebut. Satu hal yang paling menarik, yakni kejadian di masa kemerdekaan, tepatnya tahun 1947 sewaktu clash I Belanda.

Jelang perang brontoyudho, tentara rakyat yang berasal dari Surabaya dan Madura menjadikan Masjid Agung sebagai lokasi persinggahan sebelum menuju Parakan guna meminta doa seorang ulama terkenal, yaitu Kyai Subechi. Karena masjid penuh dengan tentara, akhirnya didirikan dapur umum di kampung Kejuron agar segala keperluan menyangkut perut teratasi. “ Kebetulan waktu itu usia saya berkisar 11- 12 tahunan, jadi ya sudah agak mengerti situasinya,” ungkap Jauhari.

Setahun kemudian, di tahun 1948, saat clash II kembali terjadi, tentara rakyat juga menjadikan masjid ini sebagai markas. Akibatnya, militer Belanda berduet dengan prajurit Ghurka secara berjamaah menghujani Masjid Agung menggunakan beragam senjata berat. Tak pelak, hal itu menimbulkan kerusakan di bagian atap serta tembok. Beruntung, akhirnya serdadu- serdadu Belanda ngacir ke negerinya sehingga Masjid Agung tidak terusik hingga sekarang. Semoga warisan nenek moyang tersebut mampu kita jaga sampai kapan pun juga. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun