Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polisi ini Selama 25 Tahun jadi Tukang Tambal Ban

27 Mei 2016   18:45 Diperbarui: 27 Mei 2016   20:30 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi aparat kepolisian, wajar- wajar saja memiliki pekerjaan sampingan yang halal. Sebaliknya, kalau menghalalkan segala cara, itu namanya kurang ajar. Hal inilah yang membuat Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Mustamin memilih menjadi tukang tambal ban selepas dinas. Hebatnya, aktifitas kasar itu dilakoninya selama 25 tahun.

Bila sebelumnya media ramai memberitakan Brigadir Polisi Kepala (Bripka) Seladi, anggota Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Kota Malang yang menjadi pemulung hingga pimpinan Polri memberikan apresiasinya. Diam- diam, di Makassar, Sulawesi Selatan, terdapat prajurit Bhayangkara yang mempunyai profesi sampingan sebagai tukang tambal ban. Sosok tersebut, tak lain adalah Aiptu Mustamin, anggota Samapta Polsekta Ujungpandang yang usianya sudah memasuki angka 57 tahun.

Mustamin, yang menjadi anggota Kepolisian sejak tahun 1979, saban hari membuka praktek tambal ban di belakang gedung Pengadilan Negeri Makassar. Biasanya, selepas piket atau pas libur, ia melepas seragam bintara tingginya itu dan menggantinya dengan kaos oblong plus celana pendek. Tanpa canggung, tangannya gesit membongkar ban dalam dan menambalnya. Maklum, kerja sampingan ini telah dijalani puluhan tahun.

“Saya jadi polisi tahun 1979 dan mulai buka usaha tambal ban tahun 1991. Awalnya dulu saya tambal ban di jalan Alimalaka, tapi kena penggusuran. Jadi saya pindah di belakang Pengadilan Jalan Ammanagappa tahun 2012,” jelasnya seperti dilansir kompas.com.

Seperti galibnya Bripka Seladi, pada awal memulai usaha tambal bannya, Mustamin juga banyak menerima cemohan. Polisi koqjadi tukang tambal ban ? Memangnya tak ada kerja sampingan lain yang lebih terhormat ? Kendati begitu, semua cibiran tersebut diabaikannya. Tujuannya satu, mendapatkan tambahan penghasilan secara halal. Apa lagi, sang istri        yang bernama Nursin Warlela jelas- jelas mendukungnya. 

Empat Anaknya Hidup Mapan

Kehidupan Mustamin di tahun- tahun 1991 an memang terbilang megap- megap ekonominya. Untuk mensiasati kebutuhan keluarganya itu, akhirnya ia nekad menjalani pekerjaan sampingan. Sebab, bagaimana pun empat orang anaknya membutuhkan biaya pendidikan yang saban tahun selalu bertambah. Agar tidak mengganggu tugasnya sebagai aparat keamanan, dirinya menjalin kolaborasi dengan seorang tukang becak.

“ Kalau lepas tugas jaga, ya saya jadi tukang tambal ban. Tapi kalau pas tugas jaga ada tukang becak yang menggantikan,” tuturnya.

Perlahan namun pasti, orang- orang disekelilingnya tak lagi mencemoh pekerjaan sampingan yang dilakoninya. Semuanya menganggap wajar adanya dan tambal ban dilihat sebagai pilihan hidup Mustamin. Seiring perjalanan waktu, akhirnya empat anaknya telah dewasa dan hebatnya semuanya hidup mapan.

Dua putranya, yakni Muhammad Yunus dan Muhammad Fajri mengikuti jejaknya sebagai abdi Bhayangkara. Yunus yang berpangkat Brigadir Polisi Kepala (Bripka) bertugas di Polsek Aralle, Mamasa, Sulawesi Barat dengan jabatan kanit Intel, sedfang Fajri anggota Sat Reskrim di Polres Mamasa serta berpangkat Brigadir Polisi.

“Putra ketigaku Muhammad Faisal kerja di Jepang dan anak bungsuku perempuan bernama Panarsih Mardana jaga warung membantu istriku,” ungkap Mustamin.

Anak- anaknya yang sudah hidup mapan, sebenarnya sudah meminta agar Mustamin berhenti dari kegiatan menambal ban. Pasalnya, sang ayah masa dinasnya tinggal setahun sehingga diharapkan mau menikmati masa pensiunnya dengan nyaman. Sayang, permintaan itu diabaikan. Baginya, penghasilan sebagai tukang tambal ban yang sehari mencapai Rp 50.000 sangat disyukurinya.

Hingga menjelang pension, Mustamin dan istrinya masih tinggal di Asrama  Tallo Lama yang berjarak puluhan kilometer dari Polsek tempatnya bertugas. Meski bertugas di lokasi yang lumayan jauh, namun ia mengaku selama 37 tahun jadi polisi belum pernah  melalaikan tugas. Artinya, gaya hidupnya yang bersahaja bukan berarti mengabaikan profesinya selaku abdi Bhayangkara.

Itulah secuil cerita tentang sosok – sosok prajurit Polri yang menginspirasi, di mana dengan kesederhanaannya, mereka mampu hidup lurus dan menepis anggapan semua polisi menghalalkan barang haram. Untuk Bripka Seladi serta Aiptu Mustamin, kiranya layak diapresiasi atas segala kejujurannya. Kiranya, personil polisi muda lainnya berani mengikuti langkah mereka. Sebab, berani jujur itu adalah hebat ! (*)

Diolah dari : polisi.ini.menyambi.jadi.tukang.tambal.ban.selama.20.tahun.

Artikel terkait : menolak-suap-polisi-ini-memilih-jadi-pemulung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun