Kendati ribuan warga Kota Salatiga yang merantau ke Jakarta sudah berpuluh tahun tinggal di ibu kota, namun, jalinan silaturahmi antar mereka tak pernah putus. Minimal 3 tahun sekali, selalu digelar reuni akbar yang diprakarsai oleh Paguyuban Warga Salatiga (Pawarsa). Berikut sedikit catatannya.
Pawarsa Jakarta yang dikomandani Azis Said, sebenarnya sudah berkembang ke berbagai daerah. Tercatat, Cilacap, Yogyakarta, Surabaya, Bandung hingga Batam telah terbentuk kepengurusannya dengan anggota minimal 1.000 orang. Sedang di Jakarta sendiri, anggota yang tercatat mencapai 10.000 orang yang tersebar baik di ibu kota sendiri mau pun Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor.
Hajatan tiga tahunan yang selalu dikemas dengan label Temu Dulur Solotigo ini, berlangsung di Taman Bunga Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur dengan ketua panitia Endi Aras Agus Riyono, sang pemilik sekaligus penggagas berdiri Gudang Dolanan Indonesia di Depok, Jawa Barat. Pria pendekar (pendek tapi kekar) yang juga mantan wartawan seni, musik serta budaya tersebut memang aktif dalam setiap kegiatan Pawarsa. Selain sigap bergerak, ia dianggap mempunyai jaringan pertemanan yang luas.
Dibantu para relawan yang juga berasal dari Salatiga, ikut disiapkan berbagai sarana pendukung mulai beragam permainan tradisional, panggung musik dan tak ketinggalan kuliner khas Salatiga seperti sambal tumpang, tahu campur, soto ayam hingga ronde. Tidak ketinggalan ikut didirikan stand- stand yang memang dikhususkan untuk penjualan souvenir mau pun makanan ringan asal Salatiga.
Hingga hari yang dinanti tiba, sejak pagi ratusan warga Salatiga perantauan mulai berdatangan ke lokasi Temu Dulur Solotigo 2016. Seperti galibnya silaturahim akbar, maka masing- masing warga ikut menggandeng keluarganya. Bak dikudeta, areal Taman Air Bunga Wiladatika dikuasai sepenuhnya anggota Pawarsa. Obrolan dalam bahasa Jawa mendominasi percakapan, seakan mereka tengah berada di kampung halamannya. Tawa dan canda merebak di segala penjuru taman. Apa lagi emak- emaknya, heboh banget.
Roy Marten yang memang selalu menjadi magnet di setiap acara Temu Dulur, dikerubuti warga. Selain permintaan selfie bareng, Roy juga dipaksa meladeni obrolan menggunakan bahasa kampung. Kendati begitu, bintang film tahun 80 an itu tetap meladeninya sembari mengumbar senyum. Mungkin pikirnya, toh hanya tiga tahun sekali.
Menjelang makan siang, gantian stand kuliner dikeroyok habis- habisan. Maklum, selama di Jakarta mereka tak pernah menikmati menu sambel tumpang koyor. Khusus menu ini, penitia sengaja mendatangkan koki dari Salatiga. Hal tersebut tidak sia- sia, terbukti dalam tempo singkat lauk padat kolestrol itu langsung ludes. “ Salah satu kuliner yang ga bisa ditemui di mana pun ya sambel tumpang koyor ini,” ujar salah satu warga.
Dalam catatan saya, Pawarsa didirikan tahun 1980, di mana gagasan tersebut dimaksudkan untuk menjembatani komunikasi warga Kota Salatiga di perantauan. Awalnya (kalau tak salah) bernama Foruk komunikasi Keluarga Salatiga dan Sekitarnya (Fokkus), baru di tahun 90 an menyandang nama Pawarsa. Para pendiri diantaranya Aziz Said , Roy Marten, alm Totok Mintarto dan tokoh- tokoh lain menganggap, silaturahim harus tetap terjaga kendati masing- masing saban hari selalu tenggelam dalam rutinitas kesibukan di ibu kota.
Meski banyak yang mendulang sukses di ibu kota, namun anggota Pawarsa tidak abai dengan keberadaan kota asalnya. Komunikasi tetap dijalin, baik dengan elemen masyarakat mau pun para pejabatnya. Keberadaan Pawarsa, secara perlahan diakui eksistensinya karena selain rutin menggelar Temu Dulur setiap tiga tahun sekali, mereka juga mengadakan bakti sosial di kampung halamannya seperti khitanan massal serta pemberian bantuan pendidikan terhadap anak tak mampu.
Demikian sedikit catatan tentang Temu Dulur Solotigo 2016, usai hajatan ini, Pawarsa yang bermarkas di Jalan Zamrud B Nomor 1 Cilandak Permai, Jakarta Selatan rencananya akan kembali pulang kampung untuk menggelar khitanan massal yang biasanya diikuti sekitar 100 anak. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, keberadaan Pawarsa Jakarta mau pun kota lainnya layak diapresiasi. Berada di perantauan serta hidup nyaman, bukan berarti lupa dengan kampung halaman. Itulah gaya warga Salatiga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H