Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Stasiun Kereta Api Jaman Kolonial itu Remuk tak Berbentuk

30 April 2016   18:03 Diperbarui: 4 April 2017   17:20 4418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stasiun Kereta Bringin yang mengenaskan (foto: dok pribadi)

Stasiun Kereta Api di wilayah Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang yang usianya telah mencapai 143 tahun, ternyata nyaris remuk tak berbentuk. Kendati termasuk bangunan cagar budaya, namun, kondisinya teramat sangat menyedihkan bahkan tinggal menunggu waktu untuk ambruk.

Berawal dari kabar yang menyebutkan bahwa pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) tengah melakukan penertiban terhadap ratusan penghuni lahan milik perusahaan sepur tersebut di wilayah Kecamatan Bringin. Pembersihan areal itu terkait dengan rencana reaktivasi jalur rel Stasiun Tuntang- Kedungjati yang panjangnya mencapai 32 kilometer. Karena nantinya bakal melalui Stasiun Bringin, saya pun tertarik menelusurinya.

Hanya membutuhkan waktu 15 menit, saya sudah tiba di lokasi. Nampak areal di sekitar Stasiun Bringin sudah berhasil dibersihkan. Bahkan, halaman Stasiun yang dulunya padat kios, sekarang terlihat lapang. Dari jarak 50 meter, Stasiun Bringin yang dibangun tahun 1871 dan beroperasi tahun 1873 sepertinya masih kokoh berdiri. Namun, ketika didekati, bangunan itu hancur sana sini. Remuk tak berbentuk.

set2-5724f223177b61fe04d875a5.jpg
set2-5724f223177b61fe04d875a5.jpg
Loket penjualan karcis yang tersisa (foto: dok pribadi)

Baik genting, plafon dan temboknya banyak yang keropos akibat tak terawat. Daun pintu mau pun jendela raib entah kemana. Saat memasuki bagian dalam, ada nuansa angker yang menyergap tubuh. Ironis, bangunan yang termasuk cagar budaya serta telah berumur 143 ini rusak parah karena tidak memperoleh perawatan yang layak. Di sisi utara Stasiun, terdapat rumah cukup besar, diduga dulunya difungsikan jadi rumah dinas Kepala Stasiun. Kondisinya, 11-12, hancur berat.

Satu- satunya yang memperlihatkan bahwa bangunan ini dulunya Stasiun adalah peralatan sinyal yang tertinggal dan pintu loket penjualan karcis yang terbuat dari besi. Selebihnya, bila bukan warga sekitar, tak bakal mengetahui bahwa tempat ini pernah menjadi Stasiun kebanggaan. Di sisi selatan, terdapat bangunan penampungan air serta toilet, keadaannya juga menyedihkan. Ada pun jalur rel yang menghubungkan ke Stasiun Tuntang hingga Kedungjati, lenyap semua.

set3-5724f22d737a61700a46e3e6.jpg
set3-5724f22d737a61700a46e3e6.jpg
Label cagar budaya di tembok Stasiun (foto: dok pribadi)

Rel sebagai sarana penting untuk lalu lintas kereta api, sama sekali tidak terlihat bekasnya. Ada dua kemungkinan, jalur rel tertimbun tanah atau bantalan rel mau pun besinya raibnya dijarah oknum tak bertanggung jawab. Karena Stasiun Bringin sebelum sampai Stasiun Kedung Jati harus melewati dua Stasiun lagi, yakni stasiun Gogodalem dan Stasiun Tempuran, akhirnya saya meneruskan penelusuran.

Dua Stasiun Lenyap

Rencana reaktivasi jalur kereta api dari Stasiun Tuntang- Kedungjati sepertinya bakal digarap serius oleh PT KAI, entah dengan pertimbangan apa, yang jelas beberapa fly over di jalur yang akan dilalui sudah dibangun. Hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk tiba di Stasiun Gogodalem, maklum jaraknya cukup dekat, cuma 5 kilometer dari Stasiun Bringin.

Sangat sulit menemukan lokasi Stasiun Gogodalem tanpa bertanya, pasalnya, bangunan Stasiun yang usianya juga sudah ratusan tahun tak terlihat. Saat saya bertanya pada warga, ternyata bekas areal Stasiun berada di belakang saya. Artinya, kendati saya telah berada di lokasi tetapi tidak menyadarinya. Saya terheran- heran, sebab, Stasiun itu tinggal kenangan. Bangunannya yang khas berarsitektur Belanda, lenyap, bahkan puingnya pun tiada.

set4-5724f24c929773390bc771fb.jpg
set4-5724f24c929773390bc771fb.jpg
Areal bekas Stasiun Gogodalem (foto: dok pribadi)

Satu- satunya petunjuk bahwa di sini pernah berdiri Stasiun hanya satu, yakni keberadaan rumah dinas Kepala Stasiun yang kondisinya cukup baik, namun dibiarkan kosong tanpa penghuni. Itu pun jaraknya agak jauh. “ Kalau Stasiunnya sudah lama diratakan, sedangkan rumah dinas dulu ada yang menempati tapi sekarang kosong,” kata salah satu warga di lokasi.

Dari warga yang sama, saya memperoleh penjelasan bahwa Stasiun Tempuran yang berjarak 8 kilometer dari Stasiun Gogodalem juga mengalami nasip serupa. Raib bak ditelan bumi, konon, lokasinya saja banyak warga Bringin yang tak mengetahuinya. Sama seperti Stasiun Bringin, di Stasiun Gogodalem, jalur rel juga tidak terlihat. “ Bantalan relnya dulu kerap dicuri orang untuk dimanfaatkan sebagai mebel,” jelasnya.

set5-5724f25a07b0bd140c6e5519.jpg
set5-5724f25a07b0bd140c6e5519.jpg
Rumah dinas kepala Stasiun Gogodalem (foto: dok pribadi)

Karena mendapat penjelasan seperti itu, akhirnya niat bertandang ke Stasiun Tempuran saya batalkan. Saya kembali menuju Stasiun Bringin untuk menggali informasi lebih dalam perihal sarana dan prasarana transportasi darat tempo dulu ini. Beruntung, saya bertemu Kardiman (78) tahun, warga Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang yang masih segar ingatannya.

Primadona Transportasi

Kardiman yang lahir di tahun 1938 mengaku, ayahnya dulu bekerja di Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) atau perusahaan kereta api jaman kolonial Belanda. Meski hanya sebagai pegawai rendahan, namun di mata masyarakat mendapat posisi terhormat. “ Saya mendapatkan cerita dari almarhum bapak, Stasiun Tuntang, Bringin, Gogodalem hingga Kedungjati dibangun tahun 1871 tetapi baru selesai tahun 1873,” ungkapnya.

Karena kondisi serba susah, kehadiran kereta api yang biasa disebut sepur itu langsung menjadi primadona transportasi. Orang mau ke Kedungjati, ke Tuntang mau pun ke Ambarawa selalu memanfaatkan sepur klutuk tersebut. Bahkan, paska kemerdekaan Kardiman masih ingat, saat usianya baru 7 tahun, kerap diajak ayahnya ke Ambarawa menggunakan kereta api berlokomotif hitam legam ini.

set6-5724f2780123bd62232c7ba4.jpg
set6-5724f2780123bd62232c7ba4.jpg
Rumah dinas Stasiun Bringin yang juga remuk (foto: dok pribadi)

“Waktu itu lebih gampang ke Ambarawa mau pun ke Kedungjati dari pada ke Kota Salatiga. Kalau ke amabarawa atau ke Kedungjati tinggal naik sepur, tapi kalau ke Salatiga terpaksa jalan kaki meski jaraknya lebih pendek,” jelasnya.

Apa yang disampaikan Kardiman memang ada benarnya, meski Kecamatan Bringin ke Salatiga hanya berjarak sekitar 15 kilometer, namun, di jaman kolonial tidak ada sarana transportasi yang memadai. Baru menjelang kemerdekaan muncul bus Esto yang melayani trayek Salatiga- Bringin, itu pun alat transportasi ini sarat diskriminasi.

Menurut Kardiman, kereta api dari Kedungjati yang menuju Ambarawa, biasanya mengangkut kayu- kayu dan para pedagang. Kondisi tersebut berjalan hingga tahun 1970 an, lalu lintas kereta api masih ramai. Hingga tahun 1976, saat sudah banyak kendaraan roda empat keluaran Jepang beroperasi, akhirnya opersional kereta api di jalur ini dipaksa berhenti. Kalah oleh mobil- mobil pick up buatan negeri sakura. Praktis, setelah segala aktifitas dihentikan, jalur rel jadi lahan empuk yang dikuasai warga. Sedang rel mau pun bantalannya nya juga banyak dijarah.

Dari cerita Kardiman ditambah kondisi riil jalur kereta api Tuntang ke Kedungjati, maka, bisa disimpulkan bahwa langkah reaktivasi yang dilakukan oleh PT KAI, bakal menelan biaya yang sangat besar. Baik untuk membangun rel mau pun restorasi Stasiun- Stasiun yang akan dilewati, nantinya bakal menguras tenaga dan dana. Sedang azas manfaatnya, sepertinya kurang maksimal di saat hampir semua orang memiliki kendaraan (minimal roda dua). Paling banter, semisal dihidupkan, sebatas untuk kereta wisata. Itulah catatan saya ketika menelusuri bangunan cagar budaya yang nasipnya mengenaskan. Bagaimana dengan kota lain ? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun