Sangat sulit menemukan lokasi Stasiun Gogodalem tanpa bertanya, pasalnya, bangunan Stasiun yang usianya juga sudah ratusan tahun tak terlihat. Saat saya bertanya pada warga, ternyata bekas areal Stasiun berada di belakang saya. Artinya, kendati saya telah berada di lokasi tetapi tidak menyadarinya. Saya terheran- heran, sebab, Stasiun itu tinggal kenangan. Bangunannya yang khas berarsitektur Belanda, lenyap, bahkan puingnya pun tiada.
Satu- satunya petunjuk bahwa di sini pernah berdiri Stasiun hanya satu, yakni keberadaan rumah dinas Kepala Stasiun yang kondisinya cukup baik, namun dibiarkan kosong tanpa penghuni. Itu pun jaraknya agak jauh. “ Kalau Stasiunnya sudah lama diratakan, sedangkan rumah dinas dulu ada yang menempati tapi sekarang kosong,” kata salah satu warga di lokasi.
Dari warga yang sama, saya memperoleh penjelasan bahwa Stasiun Tempuran yang berjarak 8 kilometer dari Stasiun Gogodalem juga mengalami nasip serupa. Raib bak ditelan bumi, konon, lokasinya saja banyak warga Bringin yang tak mengetahuinya. Sama seperti Stasiun Bringin, di Stasiun Gogodalem, jalur rel juga tidak terlihat. “ Bantalan relnya dulu kerap dicuri orang untuk dimanfaatkan sebagai mebel,” jelasnya.
Karena mendapat penjelasan seperti itu, akhirnya niat bertandang ke Stasiun Tempuran saya batalkan. Saya kembali menuju Stasiun Bringin untuk menggali informasi lebih dalam perihal sarana dan prasarana transportasi darat tempo dulu ini. Beruntung, saya bertemu Kardiman (78) tahun, warga Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang yang masih segar ingatannya.
Primadona Transportasi
Kardiman yang lahir di tahun 1938 mengaku, ayahnya dulu bekerja di Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) atau perusahaan kereta api jaman kolonial Belanda. Meski hanya sebagai pegawai rendahan, namun di mata masyarakat mendapat posisi terhormat. “ Saya mendapatkan cerita dari almarhum bapak, Stasiun Tuntang, Bringin, Gogodalem hingga Kedungjati dibangun tahun 1871 tetapi baru selesai tahun 1873,” ungkapnya.
Karena kondisi serba susah, kehadiran kereta api yang biasa disebut sepur itu langsung menjadi primadona transportasi. Orang mau ke Kedungjati, ke Tuntang mau pun ke Ambarawa selalu memanfaatkan sepur klutuk tersebut. Bahkan, paska kemerdekaan Kardiman masih ingat, saat usianya baru 7 tahun, kerap diajak ayahnya ke Ambarawa menggunakan kereta api berlokomotif hitam legam ini.
“Waktu itu lebih gampang ke Ambarawa mau pun ke Kedungjati dari pada ke Kota Salatiga. Kalau ke amabarawa atau ke Kedungjati tinggal naik sepur, tapi kalau ke Salatiga terpaksa jalan kaki meski jaraknya lebih pendek,” jelasnya.