Di bawah kebesaran nama RA Kartini, sebenarnya ia memiliki adik perempuan bernama RA Kardinah yang jalan hidupnya lebih berliku dan berwarna. Menjelang usia senja, ia berdiam di Kota Salatiga hingga nafas terakhirnya. Berikut penelusuran yang saya lakukan melalui berbagai sumber.
Kardinah terlahir tanggal 1 Maret 1881, ia anak ketujuh dari Bupati Jepara RM Sosroningrat. Meski statusnya merupakan adik RA Kartini, sebenarnya Kardinah adalah adik lain ibu. Ibu kandungnya bernama MA Ngasirah menjadi selir (istri sambungan dalam bahasa Jawa garwo ampil). Pada jaman itu, lumrah adanya bila seorang pejabat tinggi di pemerintahan memiliki istri selir. Jangankan dulu, wong di era sekarang saja kadang juga dianggap sah adanya.
Sebagai anak orang nomor satu di Kabupaten Jepara, Kardinah bersama kakak dan adiknya mampu mendapatkan pendidikan yang lumayan (di masa itu). Mereka bersekolah di Europese Lagere School (ELS) atau setingkat SD. Di luar pendidikan formal, sang ayah masih merasa perlu mengundang guru les ke rumahnya. Tujuannya, agar putra putrinya memiliki kecerdasan serta wawasan yang mumpuni.
Kardinah bersama kakaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas di jamannya, kendati begitu, ia kurang akrab menjalin pertemanan dengan kaum perempuan keturunan Belanda. Tahun 1902 saat usianya memasuki 21 tahun, dirinya dinikahi oleh putra Bupati Tegal Reksonegoro yang bernama Patih Soejitno. Kendati menyandang status sebagai seorang istri, namun semangat perjuangannya bukannya surut. Dia mulai mewujutkan cita- cita Het Klaverblad (daun semanggi) yang berarti tiga saudara.
Memang, tiga bersaudara yang terdiri atas Kartini, Roekmini dan Kardinah mempunyai gagasan besar yakni merefleksikan peran politik dalam komunitas Jawa secara umum. Bukan hanya orang asing saja yang harus berbuat, namun dengan posisi sosialnya ia mampu melakukan sesuatu bagi masyarakat.
Kardinah merasa geregetan dengan kebijakan pemerintahan kolonial yang membatasi secara ekstra ketat pendidikan kaum pribumi. Level pendidikan lebih tinggi, hanya boleh digapai oleh anak bangsawan meski harus bersekelah menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Dalam suratnya tertanggal 15 Juli 1911 kepada sahabat sang kakak, yakni Nyonya Abendanon, dirinya sempat mempertanyakan perihal kesempatan itu.
“ Berapa banyak bangsa kami, saya bertanya pada diri sendiri, yang mampu untuk belajar di sekolah- sekolah seperti itu ? Apakah itu adil ? Atau apakah yang seharusnya menjadi contoh bisa membantu masyarakat pribumi untuk maju ? “ ungkap Kardinah dalam suratnya.
Mendirikan Sekolah dan Rumah Sakit
Korespondensi dengan Nyonya Abendanon yang dilakukan oleh Kardinah memang tak sederas yang dikerjakan Kartini, kendati begitu, saat sang kakak telah berpulang dalam usia muda, Kardinah mulai meningkatkan penulisan surat pada sahabat mendiang Kartini. Saat itu, hanya kaum bangsawan saja yang mampu bersurat. Perjalanan selembar surat juga memakan waktu cukup lama, tidak seperti sekarang yang dimanjakan oleh berbagai perangkat telekomunikasi. Sekali pencet, sepanjang apa pun tulisan mampu menembus belahan dunia hanya dalam hitungan detik.
Secara perlahan, Kardinah membuat program pendidikan tersendiri di rumahnya. Melalui mulut ke mulut, berita tersebut menyebar sehingga banyak kaum ningrat tertarik dengan model pendidikan tersebut. Kalangan bangsawan tak sedikit yang menitipkan anak- anak mereka guna memperoleh pendidikan a la Kardinah. Bintang terang mulai terlihat di tahun 1908, di mana suaminya diangkat menjadi Bupati Tegal.
“Kini suami dan saya mempunyai rencana mendirikan sekolah sendiri bagi anak- anak pejabat bawahan dari sumbuangan- sumbangan kolektif,” kata Kardinah dalam suratnya pada Abendanon tanggal 15 Juli 1911.
Untuk mewujudkan gagasan yang sangat luar biasa itu, Kardinah mengumpulkan dana dengan berbagai cara. Selain menjual koleksi buku miliknya, ia juga menerima bantuan dana dari istri Asisten Residen Tegal HM de Stuers, istri kontrolir Tegal E. van den Bos dan istri Patih Tegal bernama RA Soemodirdjo. Tanggal 1 Maret 1916, didirikan sekolah kepandaian putri Wismo Pranowo. Beban tiap siswi hanya 50 sen, segala keperluan sekolah ditanggung bersama donator lain.
Sekolah Wismo Pranowo awalnya menempati bekas gedung di kabupaten, muridnya hanya 150 orang, Di tahun 1924 jumlah siswi meningkat menjadi 200 orang sehingga dipecah di enam ruangan belajar. Sekolah yang didirikan kardinah, menjadi rujukan pegiat pendidikan, termasuk Dewi Sartika sang tokoh pendidikan asal Priangan. Bersama adiknya yang bernama Sari Pamerat, mereka study banding ke Tegal. Bahkan, sempat ikut mengajar selama empat bulan tanpa bayaran.
Ketika sekolah yang didirikan sudah berjalan normal, Kardinah kembali membuat terobosan. Melihat kondisi kesehatan masyarakat Tegal yang jauh dari terjamin, apa lagi kerap mendengar banyak ibu- ibu muda melahirkan tanpa memperoleh dukunga tenaga medis, hatinya tergerak. Dengan dukungan suaminya, ia membangun fasilitas kesehatan sekaligus memberikan sosialisasi tentang pentingnya medis. Hal ini dilakukan karena jaman itu, masyarakat lebih percaya klenik.
Tahun 1927, Kardinah mendirikan Rumah Sakit kardinah atau disebut Kardinah Ziekenhuis. Salah satu orang yang mendukung berdirinya rumah sakit itu adalah Residen Pekalongan Schilling yang tak sekedar memberikan bantuan moril, namun juga pendanaa. Bahkan, ia yang meminta agar rumah sakit dinamai Kardinah. Tidak berhenti di situ, belakangan Kardinah juga membangun rumah penampungan bagi fakir miskin, di mana rumah tersebut posisinya masih berada di areal Kardinah Ziekenhuis. Atas segala jasanya, Kardinah diberi penghargaan oleh pemerintahan Belanda, dirinya diberi bintang Ridde van Oranje Nassau dan pemerintah Indonesia tahun 1969 memberikan Lencana Kebaktian Sosial.
Petaka Membuat Pindah ke Salatiga
Paska kemerdekaan Indonesia, Kardinah yang memiliki gagasan besar memerdekakan kaum pribumi malah menuai petaka. Adanya revolusi di berbagai daerah, merembet ke Kabupaten Tegal. Saat itu, terdapat gerombolan bromocorah yang dipimpin laki- laki sangar bernama Kutil. Naas, Kardinah dan keluarganya yang dianggap sebagai sosok yang melambangkan feodalisme, ditangkap gerombolan tersebut. Mereka diarak keliling kota sembari mengenakan baju karung goni. Kejadian yang menyedihkan, figur yang berjasa itu diperlakukan semena- mena.
Ada dua versi atas terjadinya peristiwa menyedihkan itu, yang pertama menyebutkan bahwa Kardinah diarak keliling kota selanjutnya oleh gerombolan Kutil diserahkan pada Wedana Adiwerna dan sempat disekap selama sepekan. Tindakan Wedana Adiwerna tersebut, rupanya memancing reaksi kalangan priyayi dan Tentara Keamanan Rakyat, sehingga tanggal 15 November 1945 berlangsung operasi penyelamatan secara diam- diam, selanjutnya Kardinah diungsikan ke Salatiga.
Sedangkan versi kedua, yakni pengakuan Kardinah sendiri ketika bertemu istri Walikota Tegal Sardjoe yakni Sumiati Sardjoe, saat dirinya diarak keliling kota oleh gerombolan Kutil, sesampainya di depan Rumah Sakit Kardinah, ia berpura- pura sakit sehingga memperoleh perawatan medis. Hingga malam harinya, orang- orang yang merasa simpati atas perjuangan Kardinah “menculiknya” dan melarikannya ke Kota Salatiga. Entah mana yang benar dua versi tersebut, yang pasti semenjak menetap di Salatiga nama Kardinah seperti raib ditelan bumi.
Titik terang keberadaan Kardinah mulai muncul di tahun 1970 atau 25 tahun setelah peristiwa mengenaskan itu terjadi. Sumiati yang merasa Kardinah adalah sosok ibu sekaligus pahlawan bagi kaum perempuan, berupaya mencari keberadaannya. Celakanya, di tahun itu belum dikenal namanya twitter, facebook mau pun perangkat komunikasi lainnya. Akibatnya, langkah pencarian Sumiati berjalan terseok- seok.
Hingga suatu hari di tahun 1970, Sumiati yang tengah mengikuti pertemuan Gabungan Organisasi Wanita di Semarang, mendengar kabar bahwa figur yang dikaguminya berada di Kota Salatiga. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera bergegas menuju kota kecil tersebut. Sayang, kendati berhasil menemukan rumah tingal Kardinah, namun, adik Kartini itu menolak menemuinya. Ia masih trauma mendengar kata Tegal, sebab ada kenangan pahit yang melekat.
Ditolak bertemu, tak membuat Sumiati patah arang. Ia berupaya terus – menerus agar bisa menemui kardinah. Setelah makan waktu cukup lama, akhirnya Kardinah berkenan menemuinya. Dalam kesempatan itu, Sumiati menyampaikan undangan khusus dari Sumiati supaya Kardinah mau berkunjung ke Tegal, sebab, jaman sudah berubah. Tahun 1971, Kardinah berkunjung ke Tegal dan disambut penuh haru oleh masyarakat. Ia menyempatkan diri berziarah ke makam suaminya.
Tidak berapa lama usai berkunjung ke Tegal, tanggal 5 juli 1971, Kardinah wafat menyusul suaminya tercinta. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di usia 90 tahun, ia memilih Kota Salatiga sebagai kota terakhir di perjalanan kehidupannya yang penuh warna. Itulah sedikit gambaran jatuh bangunnya adik Kartini di masa pemerintahan kolonial Belanda, giliran bangsa ini merdeka, dirinya malah kehilangan kemerdekaannya akibat ulah para bromocorah yang menelan mentah berita sampah. Terima kasih ibu Kardinah, berkat perjuanganmu pula kaum wanita sekarang sudah mampu berdiri sejajar dengan para pria. Saya meyakini, beliau di alam sana bakal menangis melihat kaumnya yang sekarang kerap wira- wiri mengenakan hotpants serta tanktop serba ketat. (*)
Diolah dari : : persona/di-bawah-bayangan-kartini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H