Untuk mewujudkan gagasan yang sangat luar biasa itu, Kardinah mengumpulkan dana dengan berbagai cara. Selain menjual koleksi buku miliknya, ia juga menerima bantuan dana dari istri Asisten Residen Tegal HM de Stuers, istri kontrolir Tegal E. van den Bos dan istri Patih Tegal bernama RA Soemodirdjo. Tanggal 1 Maret 1916, didirikan sekolah kepandaian putri Wismo Pranowo. Beban tiap siswi hanya 50 sen, segala keperluan sekolah ditanggung bersama donator lain.
Sekolah Wismo Pranowo awalnya menempati bekas gedung di kabupaten, muridnya hanya 150 orang, Di tahun 1924 jumlah siswi meningkat menjadi 200 orang sehingga dipecah di enam ruangan belajar. Sekolah yang didirikan kardinah, menjadi rujukan pegiat pendidikan, termasuk Dewi Sartika sang tokoh pendidikan asal Priangan. Bersama adiknya yang bernama Sari Pamerat, mereka study banding ke Tegal. Bahkan, sempat ikut mengajar selama empat bulan tanpa bayaran.
Ketika sekolah yang didirikan sudah berjalan normal, Kardinah kembali membuat terobosan. Melihat kondisi kesehatan masyarakat Tegal yang jauh dari terjamin, apa lagi kerap mendengar banyak ibu- ibu muda melahirkan tanpa memperoleh dukunga tenaga medis, hatinya tergerak. Dengan dukungan suaminya, ia membangun fasilitas kesehatan sekaligus memberikan sosialisasi tentang pentingnya medis. Hal ini dilakukan karena jaman itu, masyarakat lebih percaya klenik.
Tahun 1927, Kardinah mendirikan Rumah Sakit kardinah atau disebut Kardinah Ziekenhuis. Salah satu orang yang mendukung berdirinya rumah sakit itu adalah Residen Pekalongan Schilling yang tak sekedar memberikan bantuan moril, namun juga pendanaa. Bahkan, ia yang meminta agar rumah sakit dinamai Kardinah. Tidak berhenti di situ, belakangan Kardinah juga membangun rumah penampungan bagi fakir miskin, di mana rumah tersebut posisinya masih berada di areal Kardinah Ziekenhuis. Atas segala jasanya, Kardinah diberi penghargaan oleh pemerintahan Belanda, dirinya diberi bintang Ridde van Oranje Nassau dan pemerintah Indonesia tahun 1969 memberikan Lencana Kebaktian Sosial.
Petaka Membuat Pindah ke Salatiga
Paska kemerdekaan Indonesia, Kardinah yang memiliki gagasan besar memerdekakan kaum pribumi malah menuai petaka. Adanya revolusi di berbagai daerah, merembet ke Kabupaten Tegal. Saat itu, terdapat gerombolan bromocorah yang dipimpin laki- laki sangar bernama Kutil. Naas, Kardinah dan keluarganya yang dianggap sebagai sosok yang melambangkan feodalisme, ditangkap gerombolan tersebut. Mereka diarak keliling kota sembari mengenakan baju karung goni. Kejadian yang menyedihkan, figur yang berjasa itu diperlakukan semena- mena.
Ada dua versi atas terjadinya peristiwa menyedihkan itu, yang pertama menyebutkan bahwa Kardinah diarak keliling kota selanjutnya oleh gerombolan Kutil diserahkan pada Wedana Adiwerna dan sempat disekap selama sepekan. Tindakan Wedana Adiwerna tersebut, rupanya memancing reaksi kalangan priyayi dan Tentara Keamanan Rakyat, sehingga tanggal 15 November 1945 berlangsung operasi penyelamatan secara diam- diam, selanjutnya Kardinah diungsikan ke Salatiga.
Sedangkan versi kedua, yakni pengakuan Kardinah sendiri ketika bertemu istri Walikota Tegal Sardjoe yakni Sumiati Sardjoe, saat dirinya diarak keliling kota oleh gerombolan Kutil, sesampainya di depan Rumah Sakit Kardinah, ia berpura- pura sakit sehingga memperoleh perawatan medis. Hingga malam harinya, orang- orang yang merasa simpati atas perjuangan Kardinah “menculiknya” dan melarikannya ke Kota Salatiga. Entah mana yang benar dua versi tersebut, yang pasti semenjak menetap di Salatiga nama Kardinah seperti raib ditelan bumi.
Titik terang keberadaan Kardinah mulai muncul di tahun 1970 atau 25 tahun setelah peristiwa mengenaskan itu terjadi. Sumiati yang merasa Kardinah adalah sosok ibu sekaligus pahlawan bagi kaum perempuan, berupaya mencari keberadaannya. Celakanya, di tahun itu belum dikenal namanya twitter, facebook mau pun perangkat komunikasi lainnya. Akibatnya, langkah pencarian Sumiati berjalan terseok- seok.
Hingga suatu hari di tahun 1970, Sumiati yang tengah mengikuti pertemuan Gabungan Organisasi Wanita di Semarang, mendengar kabar bahwa figur yang dikaguminya berada di Kota Salatiga. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera bergegas menuju kota kecil tersebut. Sayang, kendati berhasil menemukan rumah tingal Kardinah, namun, adik Kartini itu menolak menemuinya. Ia masih trauma mendengar kata Tegal, sebab ada kenangan pahit yang melekat.
Ditolak bertemu, tak membuat Sumiati patah arang. Ia berupaya terus – menerus agar bisa menemui kardinah. Setelah makan waktu cukup lama, akhirnya Kardinah berkenan menemuinya. Dalam kesempatan itu, Sumiati menyampaikan undangan khusus dari Sumiati supaya Kardinah mau berkunjung ke Tegal, sebab, jaman sudah berubah. Tahun 1971, Kardinah berkunjung ke Tegal dan disambut penuh haru oleh masyarakat. Ia menyempatkan diri berziarah ke makam suaminya.