[caption caption="Fadholi (baju putih) dan Walikota Salatiga berpose dengan peserta festival (foto: dok pribadi)"][/caption]Keberadaan kesenian tradisional reog yang muncul sejak jaman pemerintahan kolonial, bisa dikata secara perlahan mulai tergusur oleh perkembangan jaman. Di kota-kota besar sudah sangat jarang diketemukan kelompok maupun grup yang identik dengan Kabupaten Ponorogo ini. Kendati begitu, Kota Salatiga tetap berupaya merawat dan melestarikannya.
Dewan Kesenian Salatiga (DKS) yang membawahi berbagai aktivitas seni dan budaya selama beberapa tahun belakangan cukup getol mengakomodasi kesenian tempo dulu. Selain keroncong, juga kelompok-kelompok kesenian tradisional reog. Di bawah kendali Djisno Zero 45 selaku Ketua DKS, pementasan-pementasan seni kerap digelar dengan menggandeng pemerintah kota maupun pihak lainnya.
[caption caption="Salah satu peserta bersiap tampil (foto; dok pribadi)"]
Meski saya tidak menyaksikan hingga tuntas, saya melihat masyarakat sangat antusias menyaksikan penampilan para peserta yang sarat dengan nuansa magis itu. Halaman pendopo kembar milik Fadholi yang mampu menampung sekitar seribu penonton, penuh sesak. Saking berjubelnya, untuk mengambil gambar saja harus membutuhkan perjuangan tersendiri.
Seperti galibnya pertunjukan reog, para personil yang tampil selalu dibalut dengan kostum yang serbaseram. Dominasi warna hitam berpadu merah melekat di tubuh mereka. Sayang, hal yang paling ditunggu penonton, yakni trance (kesurupan) pemainnya tak kunjung terjadi meski telah ada tiga grup yang unjuk gigi. “Padahal, setiap menonton reog, yang saya tunggu-tunggu ya trance itu,” kata Joko (50) warga Pabelan, Kabupaten Semarang yang menyaksikan bersama dua anaknya.
[caption caption="Peserta festival tengah beraksi (foto: dok pribadi)"]
Setelah saya jelaskan bahwa ini bukan murni pertunjukan reog, festival yang tentunya ada pembatasan waktu, Joko memakluminya. Memang, ada perbedaan antara penampilan di satu event tanggapan dengan lomba. Bila ditanggap, pemain reog bakal mengalami trance sehingga penonton bakal lebih terhibur. Sementara di lomba, yang dinilai sebatas kekompakan, keserasian, koreografi, serta kreativitas tim.
Perihal trance, sebenarnya tak hanya memikat penonton. Sebaliknya, pemain juga mengalami kenikmatan sesaat. Sebelum disadarkan pawang, seorang pemain yang tengah berada dalam kondisi trance, bakal kehilangan kesadarannya. Melakukan hal-hal yang di luar nalar pun, dirinya sama sekali tidak menyadarinya. “Setiap kali mengalami trance, ada sensasi tersendiri,” kata Gombol (40) salah satu pemain reog asal Soka, Sidorejolor, Sidorejo, Kota Salatiga.
Menurutnya, trance yang menimpa pemain reog memiliki sensasi tersendiri. Bila pacandu narkoba langsung fly dan berhalusinasi, demikian pula dengan personil reog. Ketika mengalami trance, selanjutnya bakal ketagihan. “Saya ikut rombongan reog sejak umur 20 tahun. Sampai sekarang saya belum ada rencana mengundurkan diri,” ungkap Gombol sembari menambahkan bahwa dirinya tak pernah menerima bayaran sepeser pun karena imbalan yang diterima masuk kas kelompok.
[caption caption="Reog Sugih waras tengah beraksi (foto: dok pribadi)"]
Dalam festival yang dihadiri oleh Walikota Salatiga Yulianto SE ini, sayangnya saya hanya sempat menyaksikan tiga grup. Karena ada keperluan lain, akhirnya saya harus meninggalkan tontonan langka tersebut. Esensi keberadaan lomba yang digagas DKS dan anggota DPR RI tersebut, sebenarnya sederhana. Mereka memperlihatkan bahwa di era teknologi yang semakin pesat, merawat kesenian tradisional tetap mampu dijalankan agar budaya warisan itu nantinya bisa dinikmati anak-cucu kita. Sebab, kalau diabaikan, tidak menutup kemungkinan bakal diserobot negara lain.