Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merawat Kesenian Reog ala Salatiga

18 April 2016   17:28 Diperbarui: 18 April 2016   22:37 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Fadholi (baju putih) dan Walikota Salatiga berpose dengan peserta festival (foto: dok pribadi)"][/caption]Keberadaan kesenian tradisional reog yang muncul sejak jaman pemerintahan kolonial, bisa dikata secara perlahan mulai tergusur oleh perkembangan jaman. Di kota-kota besar sudah sangat jarang diketemukan kelompok maupun grup yang identik dengan Kabupaten Ponorogo ini. Kendati begitu, Kota Salatiga tetap berupaya merawat dan melestarikannya.

Dewan Kesenian Salatiga (DKS) yang membawahi berbagai aktivitas seni dan budaya selama beberapa tahun belakangan cukup getol mengakomodasi kesenian tempo dulu. Selain keroncong, juga kelompok-kelompok kesenian tradisional reog. Di bawah kendali Djisno Zero 45 selaku Ketua DKS, pementasan-pementasan seni kerap digelar dengan menggandeng pemerintah kota maupun pihak lainnya.

[caption caption="Salah satu peserta bersiap tampil (foto; dok pribadi)"]

[/caption]Salah satu contohnya, hari Minggu (17/4) kemarin, menggandeng anggota DPR RI Drs Fadholi yang berasal dari Salatiga, DKS mengadakan festival reog yang berlangsung di halaman rumah pribadi legislator asal Fraksi Nasdem tersebut. Sedikitnya 11 kelompok kesenian tradisional reog merespons positif aktivitas itu, mereka sejak pagi bergairah turut serta.

Meski saya tidak menyaksikan hingga tuntas, saya melihat masyarakat sangat antusias menyaksikan penampilan para peserta yang sarat dengan nuansa magis itu. Halaman pendopo kembar milik Fadholi yang mampu menampung sekitar seribu penonton, penuh sesak. Saking berjubelnya, untuk mengambil gambar saja harus membutuhkan perjuangan tersendiri.

Seperti galibnya pertunjukan reog, para personil yang tampil selalu dibalut dengan kostum yang serbaseram. Dominasi warna hitam berpadu merah melekat di tubuh mereka. Sayang, hal yang paling ditunggu penonton, yakni trance (kesurupan) pemainnya tak kunjung terjadi meski telah ada tiga grup yang unjuk gigi. “Padahal, setiap menonton reog, yang saya tunggu-tunggu ya trance itu,” kata Joko (50) warga Pabelan, Kabupaten Semarang yang menyaksikan bersama dua anaknya.

[caption caption="Peserta festival tengah beraksi (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Kenikmatan Trance

Setelah saya jelaskan bahwa ini bukan murni pertunjukan reog, festival yang tentunya ada pembatasan waktu, Joko memakluminya. Memang, ada perbedaan antara penampilan di satu event tanggapan dengan lomba. Bila ditanggap, pemain reog bakal mengalami trance sehingga penonton bakal lebih terhibur. Sementara di lomba, yang dinilai sebatas kekompakan, keserasian, koreografi, serta kreativitas tim.

Perihal trance, sebenarnya tak hanya memikat penonton. Sebaliknya, pemain juga mengalami kenikmatan sesaat. Sebelum disadarkan pawang, seorang pemain yang tengah berada dalam kondisi trance, bakal kehilangan kesadarannya. Melakukan hal-hal yang di luar nalar pun, dirinya sama sekali tidak menyadarinya. “Setiap kali mengalami trance, ada sensasi tersendiri,” kata Gombol (40) salah satu pemain reog asal Soka, Sidorejolor, Sidorejo, Kota Salatiga.

Menurutnya, trance yang menimpa pemain reog memiliki sensasi tersendiri. Bila pacandu narkoba langsung fly dan berhalusinasi, demikian pula dengan personil reog. Ketika mengalami trance, selanjutnya bakal ketagihan. “Saya ikut rombongan reog sejak umur 20 tahun. Sampai sekarang saya belum ada rencana mengundurkan diri,” ungkap Gombol sembari menambahkan bahwa dirinya tak pernah menerima bayaran sepeser pun karena imbalan yang diterima masuk kas kelompok.

[caption caption="Reog Sugih waras tengah beraksi (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Kembali pada jalannya festival reog, bila grup reog yang biasanya mendapat tanggapan mampu bermain hingga 10 jam nonstop, sebaliknya di kompetisi ini peserta hanya dibatasi tampil selama 1 jam. Seperti layaknya kelompok kesenian tradisional, selain jaran kepang sebagai pelengkap pertunjukan, mayoritas pemain juga mengenakan atribut dan dandanan yang sangar. Diiringi tetabuhan dominasi gamelan, meski pemain tak mengalami trance, aroma magis tetap saja terasa.

Dalam festival yang dihadiri oleh Walikota Salatiga Yulianto SE ini, sayangnya saya hanya sempat menyaksikan tiga grup. Karena ada keperluan lain, akhirnya saya harus meninggalkan tontonan langka tersebut. Esensi keberadaan lomba yang digagas DKS dan anggota DPR RI tersebut, sebenarnya sederhana. Mereka memperlihatkan bahwa di era teknologi yang semakin pesat, merawat kesenian tradisional tetap mampu dijalankan agar budaya warisan itu nantinya bisa dinikmati anak-cucu kita. Sebab, kalau diabaikan, tidak menutup kemungkinan bakal diserobot negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun