Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nenek Lumpuh Ini Hidup Sebatang Kara di Kandang Kambing

13 Maret 2016   21:25 Diperbarui: 14 Maret 2016   19:09 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Nenek Saliyem di gubuknya (foto: dok Yulio)"][/caption]

Entah apa yang ada di benak para pemangku kebijakan di Kabupaten Semarang, khususnya di desa Plumutan, Kecamatan Bancak. Mereka tega menyaksikan seorang nenek berusia 83 tahun yang mengalami lumpuh dan tinggal di gubuk yang mirip kandang kambing selama bertahun- tahun.

Nenek yang bernama Saliyem ini, hidup sebatang kara di Dusun Krajan RT 03 RW 02, Plumutan, Bancak, Kabupaten Semarang. Rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu, terlihat sudah berlobang di sana sini. Yang menyedihkan, rumah berukuran 3 X 3 meter tersebut sangat tidak layak dihuni manusia. Ibarat untuk berteduh kambing pun, ternak itu bakal meronta.

Saliyem sebenarnya mempunyai seorang putra yang merantau ke Jakarta, kendati begitu, sang anak sepertinya mengabaikan keberadaan ibunya yang telah didera kelumpuhan sejak empat tahun lalu itu. Praktis, sehari- hari nenek renta tersebut hanya berbaring di dipan kayu (ranjang) seadanya. Untuk duduk, ia harus dibantu tetangganya. Konon, dirinya telah empat tahun tak merasakan segarnya air yang mengguyur tubuhnya.

Terungkapnya kondisi nenek Saliyem, berawal dari kedatangan Komunitas Sopir dan Kernet Angkutan Salatiga- Kalimaling (SANEX) , Minggu (13/3) siang yang menyambangi rumah reyot nenek ini. Selain memberikan bantuan, pengurus SANEX juga menginformasikan kondisi Saliyem pada aparat pemerintahan desa hingga hal tersebut mengundang minat Yulio Bintang alumni Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga untuk mengunggahnya di jejaring sosial.

Hanya dalam hitungan jam, keberadaan nenek Saliyem langsung jadi bahan perbincangan. Eloknya, perangkat desa Plumutan yang selama ini abai terhadap kehidupan sehari- hari sang nenek renta itu, mendadak jadi sigap. Begitu pun masyarakat di Kecamatan Bancak, Minggu malam tiba- tiba ikut tergugah dan mendirikan posko bantuan yang terletak di Balai Desa Boto. Bagi warga yang akan memberikan bantuan, diminta menyerahkan pada posko yang letaknya merupakan tetangga desa Plumutan.

[caption caption="Rumah nenek Saliyem yang mirip kandang kambing (foto: dok Yulio)"]

[/caption]

Kenapa Mata Hati Kita Jadi Buta

Sekitar pk 20.00, saat saya bertandang ke Balai Desa Boto, terlihat kesibukan relawan tengah melayani bantuan yang dikirimkan para donator. Menurut mereka, posko akan dibuka hingga Senin (14/3) siang, karena sekitar pk 13.00, seluruh bantuan bakal direalisasikan pada nenek Saliyem. “ Rencananya kami akan melakukan bedah rumah,” kata salah satu relawan yang enggan disebut namanya.

Ketika saya melongok rumah nenek Saliyem, saya merasakan kepedihan yang teramat sangat. Nenek itu hanya terbaring, sementara cuaca di luar tak bersahabat. Saya bayangkan semisal hujan deras, lantas apa yang bisa dilakukan nenek lumpuh ini ? Kenapa orang- orang yang ada di sekitarnya selama ini abai terhadap dirinya ? Mengapa anaknya tega meninggalkan ibu yang melahirkannya hidup dalam penderitaan ?

Kendati begitu, malam ini terlihat beberapa orang yang bertandang ke gubuknya. Saya tidak tahu siapa mereka, mungkin para perangkat desa. Sayangnya, saya susah mengambil gambar akibat gelapnya malam. Kebetulan, lampu blitz kamera saya tengah bermasalah. Hanya lima menit saya berada di lokasi, karena cuaca gerimis, saya segera meninggalkan rumah nenek malang itu.

Dalam perjalanan pulang, saya tak habis pikir. Di Republik yang katanya gemah ripah loh jinawe, ternyata masih ada warganya yang terlantar dan hidup di kandang kambing. Tanpa mengenal apa itu BPJS, apa itu uluran tangan serta bantuan pemerintah.  Demikian pula dengan masyarakat, kenapa sedemikian mudah membutakan mata hatinya ? Mungkin dua mata bisa buta, namun, mata hati sulit dibutakan. Aduh ! Apa yang salah pada diri kita ini ?

Kendati begitu, ada sedikit kelegaan setelah melihat berdirinya Posko bantuan yang digagas oleh para relawan lokal. Harusnya, pemerintah dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten merasa malu melihatnya salah satu rakyatnya terlantar selama bertahun- tahun.  Saya sangat meyakini, sebenarnya banyak sekali Saliyem- Saliyem yang lain. Kiranya, pemerintah pusat tak mengabaikan fungsi kontrolnya terhadap aparat di lapis paling bawah agar kasus nenek Saliyem tidak terulang kembali. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun