Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

“Sampah” Raksasa di Salatiga

19 Februari 2016   17:39 Diperbarui: 16 Juli 2017   01:16 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah sampah raksasa di Salatiga (foto: bamset)Bila melintas di jalur utama Kota Salatiga, tepatnya di Jalan Veteran dan Hasanudin, maka akan terlihat adanya “sampah” raksasa teronggok di seberang traffic light. Hampir lima bulan rongsokan berupa bangunan seluas sekitar 2 ribu meter persegi dibiarkan oleh pemerintah kota (Pemkot) setempat.

“Sampah” raksasa tersebut sebenarnya adalah bangunan Pasar Rejosari Kota Salatiga yang sebelumnya dijadikan ladang kehidupan bagi ratusan pedagang.  Hingga pihak pemkot menjalin kerjasama dengan investor, belakangan para pedagang direlokasi ke tempat penampungan sementara. “ Kami direlokasi sejak bulan September tahun lalu, katanya Pasar Rejosari akan segera dibangun,” kata Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Rejosari (P3R) Kota Salatiga, Rukimin, Jumat (19/2) sore.

Investor, yakni PT Patra Berkah Itqoni (PBI) Malang, Jatim, rencananya bakal membenamkan dana sebesar Rp 59 miliar untuk merevitalisasi pasar tradisional tersebut menjadi pasar moderen. Kendati awalnya P3R Kota Salatiga melakukan perlawanan keras, belakangan para pedagang melunak hingga bersedia direlokasi. Mereka berharap, revitalisasi segera terealisasi sehingga kondisi perekonomian pedagang membaik.

Begini bentuk sampah yang usianya sudah 6 bulan (foto: bamset)

Sayang, meski ratusan pedagang telah menuruti perintah Pemkot untuk mengosongkan Pasar Rejosari dan pindah ke penampungan, ternyata bangunan lama tak kunjung dibongkar. Padahal, kehidupan di lokasi penampungan benar- benar sangat menyedihkan. Sebab, untuk mencari keuntungan Rp 25 ribu/ hari saja susahnya setengah mati. “ Kami heran dengan sikap Pemkot, katanya mau segera dibongkar, giliran kami pindah malah dibiarkan mangkrak,” tukas Rukimin didampingi pengurus P3R lainnya.

Salah satu pengurus P3R lainnya, yakni Sri Widodo mengaku lebih memilih tidak menempati penampungan sementara. Pasalnya, ia sangat meyakini semisal nekad berdagang, bakal lebih susah. “ Lokasi penampungan yang dekat kuburan, membuat orang malas belanja. Kalau saya paksakan berdagang, nantinya bakal bangkrut,” ujarnya.

Menurut Rukimin, Pemkot mau pun investor selama hampir 6 bulan hanya menebar janji sorga belaka. Di mana, untuk memperlihatkan keseriusannya dalam menggarap pasar tradisional tersebut, disekelilingnya dipasang pagar seng. Selebihnya, sama sekali tidak ada kegiatan apa pun sehingga yang terealisasi sebatas “sampah” raksasa yang tentunya sangat tak sedap dipandang mata.

Pengurus Paguyuban saat dimintai konfirmasi (foto: bamset)

Lelah Menunggu Janji Jokowi

Para pedagang yang tergabung dalam P3R , lanjut Rukimin, dulunya selama dua tahun lebih sengaja melakukan perlawanan atas rencana revitalisasi. Pasalnya, investor mematok harga terlalu tinggi yang dianggap sangat memberatkan. Untuk los 9 juta / M2 dan kios Rp 13 juta/ M2. Terkait hal tersebut, pengurus P3R menempuh jalur hukum, baik pidana mau pun perdata. “ Pidananya masih mengambang, sedang perdatanya kita kalah,” ungkapnya.

Perlawanan yang dilakukan pedagang, khususnya yang ada di dalam P3R, sebenarnya bukan suatu bentuk perlawanan yang membabi buta. Menurut Rukimin, sebelumnya muncul janji manis dari Presiden RI Joko Widodo yang biasa disapa Joko Wi. Kamis 15 Mei 3014 lalu, saat mantan Walikota Surakarta masih berstatus sebagai calon Presiden berkampanye di Gedung Pertemuan Daerah (GPD) Kota Salatiga. Mendengar calon Presiden yang bersahaja berada di kota kecil ini, spontan para pengurus P3R menemuinya.

Dalam dialog singkat, pedagang Pasar Rejosari selain menyerahkan surat pengaduan, juga meminta agar Pasar yang terbakar di tahun 2008 itu bisa dibangun lewat dana APBD/ APBN. Mendengar pengaduan pedagang, mantan Gubernur DKI itu langsung menjawab. “Bila saya terpilih sebagai Presiden RI, maka Pasar tradisional pertama yang akan saya bangun dengan APBD/ APBN adalah Pasar Rejosari. Untuk itu, tolong nanti saya diingatkan ! “.

Hingga Pilpres usai, pasangan Joko Wi & JK ditetapkan sebagai pemenang. Spontan pengurus P3R Kota Salatiga segera membuat surat untuk menagih janji. Selain dialamatkan ke rumah dinas Gubernur DKI di Jalan Taman Suropati, surat juga dialamatkan ke kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Lenteng Agung dengan tembusan kepada Ibu Megawati.

Sebulan berlalu, nampaknya pak Presiden terpilih terlalu sibuk untuk membaca surat dari pengurus P3R Kota Salatiga. Untuk itu, tanggal 25 Juli 2014 kembali dibuat surat ke dua dengan didukung kliping kampanye dan dokumen lainnya. Surat dialamatkan ke Rumah Dinas Gubernur DKI, Rumah Transisi, Ketua Umum PDI Perjuangan. Hasilnya ? Sampai sekarang tidak mendapat tanggapan.

Begitu pun usai pelantikan Presiden, surat kembali dilayangkan. Selain ke Istana Presiden, tembusan dikirim ke Wapres. Karena tak mendapat tanggapan, surat via email kembali dikirimkan, Dua alamat email, yakni jokowi@yahoo.co.id dan gubdki@gmail.com, Hasilnya ? Sami mawon. Duh…betapa susahnya menagih janji seorang Presiden.

Menurut Rukimin, karena sudah lelah menagih janji Presiden, akhirnya pihak pedagang mengendurkan perlawanan dan mau berkompromi dengan investor. Celakanya, meski telah bersikap kooperatif, revitalisasi tak kunjung direalisasi. Lantas, bagaimana bila mendadak Presiden menepati janjinya ? “ Ah, kami sudah malas memikirkannya. Biar Presiden memenuhi janji- janjinya yang lebih besar,” kata Rukimin diiyakan rekan- rekannya. Kasihan deh ! Sepertinya para pedagang baru tersadar bahwa janji politik sebenarnya tak lebih dari kosmetik belaka. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun