Esok harinya, saya kembali membezuk Intan, kendati belum ada perkembangan yang berarti, namun, wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Ayahnya menjelaskan, rebusan angkak rutin diminum meski susah memasukkannya ke mulut Intan. Usai berbasa basi, saya berpamitan sembari berpesan agar rebusan angkak tetap diminumkan dan saya berjanji Kamis (11/2) siang akan bezuk lagi.
Sesuai janji saya, setelah membeli lima bungkus beras angkak, saya membezuk Intan. Saya agak terperangah melihat ia mampu makan bubur dalam kondisi setengah berbaring. Warna kulitnya yang sebelumnya pucat mirip kapas, nampak kemerahan. “ Trombositnya sudah naik mencapai 170.000, sejak pagi sudah mau makan bubur,” kata ayahnya. Karena saya tak paham soal trombosit, saya hanya mengangguk – angguk biar dianggap mengerti.
Sabtu (13/2) sore, saya kembali membezuk Intan. Ternyata ruangannya kosong melompong, saat Adi saya telepon, ia meminta maaf lupa memberi kabar bahwa putrinya siang tadi sudah pulang ke rumah karena merasa telah sehat dan tak kerasan berada di rumah sakit. “ Menurut Intan, tubuhnya sudah enakan. Dia memaksa pulang, ini baru makan buah,” jelasnya.
Itulah pengalaman saya selama sepekan ini terkait keberadaan beras angkak yang saya beli dua kali seharga Rp 20 ribu (10 bungkus). Ternyata, DB yang merupakan momok menakutkan, mampu dilibas dengan beras berwarna merah tua itu. Saya tidak tahu kajian medisnya, yang saya ketahui, uang sebesar Rp 20 ribu tersebut faktanya mampu menyelamatkan gadis berusia 17 tahun yang tentunya masih memiliki masa depan teramat panjang. Catatan terakhir, saya juga tak ingin berdebat mengenai dampak negatif angkak. Sebab, saya berfikir tentang nilai positifnya saja. (*)