Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melibas Demam Berdarah dengan Angkak

13 Februari 2016   17:29 Diperbarui: 15 Februari 2016   02:33 2973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ini penampakan angkak (foto: bamset)"][/caption]Bagi orang awam, mungkin nama beras angkak terasa asing. Namun, di kalangan masyarakat Tionghoa, beras berwarna merah kehitaman ini sudah dikenal sejak lama sebagai pelibas demam berdarah (DB) yang sangat efektif. Soal kebenarannya, berikut pengalaman saya selama tiga hari.

Seorang sahabat saya, bernama Adi (45) tengah dirundung kesedihan, pasalnya, putrinya, Intan (17) menjalani opname di salah satu rumah sakit di Salatiga akibat terserang DB. Gadis yang masih duduk di bangku SMA kelas XII itu, sejak hari Sabtu (6/2) terkapar tak berdaya. Diagnosa dokter yang dilakukan melalui tes darah , ia terkena DB.

Saya mengetahui hal ini tiga hari setelah Intan menjalani perawatan, mendengar kabar tersebut, spontan saya menjenguknya. Gadis yang sebentar lagi akan menempuh ujian sekolah itu, terlihat sangat lemah. Selang infus menancap di tangan kirinya. Tubuhnya tak merespon apa pun, hanya matanya saja yang memperlihatkan ia masih hidup. Sebentar matanya membuka, namun lebih banyak tertutup. Trombosit (keping darah)nya benar- benar anjlok drastis.

Melihat gadis kecil itu tengah bergelut dengan maut, saya segera teringat cerita teman saya, mas Giyarto (62) pensiunan PNS yang pernah mengalami nasip serupa. Anaknya yang berusia 25 tahun, nyaris meninggal akibat DB. Untungnya, nyawanya tertolong berkat beras angkak. “ Dua hari meminum seduhan angkak, trombositnya langsung naik tajam,” jelasnya waktu itu.

Beras angkak merupakan beras hasil fermentasi menggunakan kapang Manascus sp yang dibuat pertama kali di abad 14 oleh Dinasti Ming dari Negara China. Fungsi utamanya dimanfaatkan untuk melancarkan sirkulasi darah. Konon, terdapat beberapa spesies kapang seperti Monascus pupureus,Monascus anka hingga  Monascus pilosus yang dapat digunakan untuk memproduksi angkak.

[caption caption="Sebungkus Rp 2 ribu (foto: bamset)"]

[/caption]Tanpa menunggu lebih lama, saya langsung mengontak mas Giyarto melalui ponselnya. Beliau menjelaskan, angkak bisa dibeli di warung beras  Ong Hwa Djay atau dikenal dengan sebutan Wah Djay.Sayang, saat saya mendatangi warung yang terletak di Jalan Sukowati ternyata telah tutup. Pasalnya, hari itu sudah mendekati pk 20.00.

Selasa ( 9/2) siang, saya kembali ke warung sederhana itu. Oleh tante Wah Djay saya mendapatkan penjelasan cara mengkonsumsi beras angkak untuk penderita DB. Caranya, satu bungkus angkak seharga Rp 2 ribu, isinya sekitar dua sendok, diseduh dengan air panas 1 gelas. Selanjutnya airnya yang berubah warna jadi kemerahan, diminumkan pada pasien. Sisa angkak tak perlu dibuang, karena masih bisa digunakan sekali lagi.

“ Banyak yang beli selain untuk mengobati DB juga untuk penderita kolestrol tinggi pak. Cuman kalo kolestrol harus rutin meminumnya,” kata tante Wah Djay sembari menyodorkan lima bungkus angkak seharga Rp 10 ribu.

[caption caption="Ini satu- satunya warung di Salatiga yang jual angkak (foto: bamset)"]

[/caption]

Mulai Doyan Makan

Selesai mendapat penjelasan, saya dengan terburu- buru pamit tanpa mengucap terima kasih. Sampai di ruang perawatan, saya berdiskusi dengan Adi terlebih dulu. Saat ia menyatakan setuju karena sudah tak mampu berfikir normal, segera saya siapkan air panas untuk menyeduh angkak. Ketika telah agak hangat, dengan bantuan sendok, air rebusan disuapkan sedikit demi sedikit.

Esok harinya, saya kembali membezuk Intan, kendati belum ada perkembangan yang berarti, namun, wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Ayahnya menjelaskan, rebusan angkak rutin diminum meski susah memasukkannya ke mulut Intan. Usai berbasa basi, saya berpamitan sembari berpesan agar rebusan angkak tetap diminumkan dan saya berjanji Kamis (11/2) siang akan bezuk lagi.

Sesuai janji saya, setelah membeli lima bungkus beras angkak, saya membezuk Intan. Saya agak terperangah melihat ia mampu makan bubur dalam kondisi setengah berbaring. Warna kulitnya yang sebelumnya pucat mirip kapas, nampak kemerahan. “ Trombositnya sudah naik mencapai 170.000, sejak pagi sudah mau makan bubur,” kata ayahnya. Karena saya tak paham soal trombosit, saya hanya mengangguk – angguk biar dianggap mengerti.

Sabtu (13/2) sore, saya kembali membezuk Intan. Ternyata ruangannya kosong melompong, saat Adi saya telepon, ia meminta maaf lupa memberi kabar bahwa putrinya siang tadi sudah pulang ke rumah karena merasa telah sehat dan tak kerasan berada di rumah sakit. “ Menurut Intan, tubuhnya sudah enakan. Dia memaksa pulang, ini baru makan buah,” jelasnya.

Itulah pengalaman saya selama sepekan ini terkait keberadaan beras angkak yang saya beli dua kali seharga Rp 20 ribu (10 bungkus). Ternyata, DB yang merupakan momok menakutkan, mampu dilibas dengan beras berwarna merah tua itu. Saya tidak tahu kajian medisnya, yang saya ketahui, uang sebesar Rp 20 ribu tersebut faktanya mampu menyelamatkan gadis berusia 17 tahun yang tentunya masih memiliki masa depan teramat panjang. Catatan terakhir, saya juga tak ingin berdebat mengenai dampak negatif angkak. Sebab, saya berfikir tentang nilai positifnya saja. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun