Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Panik Bila Ditelepon Polisi

4 Februari 2016   17:26 Diperbarui: 5 Februari 2016   10:50 2316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Spanduk himbauan yang dipasang Polres Salatiga (foto: bamset)"][/caption]Modus operandi (MO) kejahatan melalui sambungan telepon selular (ponsel) terus menerus memakan korban. Kendati puluhan tersangka sudah diringkus, namun pelaku yang lain tetap bergentayangan. Bila kita tak waspada, maka kita rentan jadi sasaran. Untuk mengantisipasinya, berikut catatan saya.

Sri Rahayu, warga Salatiga  mempunyai anak laki- laki yang tengah kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu, sekitar pk 13,00 dihubungi seorang pria yang mengaku sebagai anggota polisi lalu lintas (Poltas) yang bertugas di Ngawi, Jawa Timur. “ Laki- laki itu mengabarkan bahwa anak saya menabrak pejalan kaki hingga tewas dan sekarang lagi diamankan oleh orang yang mengaku Poltas tersebut karena terancam dikeroyok massa,” jelasnya.

Begitu menerima kabar menyedihkan itu, spontan Sri Rahayu langsung tidak mampu berfikir normal. Apa lagi ketika mulutnya menyebut apakah yang diamankan namanya Andi dan kuliah di Yogyakarta? Suara pria di seberang sana spontan mengiyakan. Tak pelak, otak Sri Rahayu serasa beku, susah untuk diajak menganalisa secara jernih. “Saya memohon agar pak polisi itu mau membantu anak saya, entah bagaimana caranya yang penting anak saya selamat.” tuturnya.

Dengan suara bariton, laki- laki yang mengaku polisi tersebut berjanji akan menyelamatkan anak Sri Rahayu. Syaratnya, Sri Rahayu segera mentrasfer uang tunai sebesar Rp 15 juta yang bakal digunakan untuk meredam kemarahan keluarga korban. “Saya diberikan nomor rekening dan dipesan untuk segera transfer, karena semakin cepat uang saya kirim, persoalan kecelakaan juga cepat selesai,” jelas Sri Rahayu.

Selesai menutup pembicaraan, Sri Rahayu segera bergegas ke bank sembari membawa buku tabungan. Usai menarik uang tunai, ia langsung mengirimnya ke nomor rekening yang diberikan. Setelah proses transfer, tuntas, dirinya mengontak pria yang meneleponnya. Ternyata, nomor ponsel tak bisa dihubungi. Secara iseng, dia mencoba menelepon Andi. Tersambung, hasilnya anak lelakinya sehat wal ‘afiat dan tengah berada di kampus.

Abaikan Telepon

Apa yang menimpa Sri Rahayu, hampir saja juga dialami oleh ibu Hesti (60) warga Langensari, Ungaran, Kabupaten Semarang (dulu kami bertetangga). Ibu yang memiliki tiga anak laki- laki tersebut, mendadak menerima telepon dari seorang anggota polisi berpangkat Iptu yang bertugas di Polrestabes Semarang di Sat Narkoba. Sang perwira mengaku telah menangkap salah satu putranya karena membawa ganja. Begitu mendengar berita itu, spontan ia menyebut nama anaknya yang paling bandel bernama Prasetyo. “ Orang yang telepon mengiyakan,” kata bu Hesti.

Karena didera kekhawatiran, bu Hesti meminta tolong agar “polisi” tersebut bisa membantunya. Masih melalui sambungan telepon, permintaan itu disanggupi dengan syarat, bu Hesti harus mengirimkan uang tunai sebesar Rp 30 juta via transfer. “ Saya diancam, bila dalam waktu 30 menit belum transfer, maka anak saya akan dibawa ke kantor. Kalau sudah tiba di kantor, maka urusannya suda berbeda alias akan diproses hukum,” jelasnya.

Meski bu Hesti dilanda kekalutan, namun, ia masih menawar agar batas waktunya ditunda. Dalihnya, uang Rp 30 juta harus dikonsultasikan dengan suaminya. Beruntung, “polisi’ itu berbaik hati, mau mengabulkan permintaannya hingga 1 jam ke depan. Usai sambungan telepon ditutup, dirinya langsung mengontak putranya. Celaka, nomor ponsel tidak bisa dihubungi. Karena kebingungan, akhirnya dia ke Salatiga menuju rumah saya.

Mendengar penuturan bu Hesti, saya langsung memastikan yang meneleponnya merupakan polisi gadungan. Kendati begitu, saya ingin memastikannya. Sekitar 15 menit kemudian, pelaku mengontak kembali. Dengan alasan suaminya ingin bicara, akhirnya  ponsel bu Hesti diberikan pada saya. Setelah berbasa basi sebentar, suara pria diseberang memperkenalkan diri sebagai Iptu S bertugas di sat Narkoba. Dari suaranya, bagi telinga orang awam sangat meyakinkan.

Dengan tegas, pelaku mengatakan bahwa batas waktunya sudah hampir habis. Ia tak bisa mengulur lebih lama karena komandannya selalu mengontak dan meminta tersangka segera dibawa ke kantor. “ Kalau sudah saya bawa ke kantor, saya tidak bisa membantu lagi pak,” tegasnya.

Penjelasan yang agak masuk akal, tapi tak rasional di mata saya. Untuk itu, saya menanyakan posisinya karena saya akan menemuinya dengan menggunakan bahasa sandi kepolisian. “Mohon maaf bapak, saya berterima kasih bapak berkenan membantu anak saya. Bapak sekarang 102? Saya segera 108.” kata saya.

“Apa maksudnya 102 dan 108?” tukasnya cepat. Begitu ia mempertanyakan arti 102 serta 108, saya langsung meyakini pria ini merupakan polisi gadungan. Sebab, bila polisi beneran, dari yang berpangkat rendah hingga paling tinggi pasti mengetahui artinya.

“Hahaha kalau anda tanya soal 102 dan 108, artinya anda polisi imitasi,” jawab saya sembari tertawa. Hasilnya, tep ! Sambungan telepon langsung putus.

Semenjak kejadian itu, bu Hesti tak lagi didera rasa panik ketika menerima telepon yang menyebut mendapat hadiah, anaknya kecelakaan mau pun berita yang lain. Ia lebih memilih mengabaikannya dan melakukan konfirmasi terlebih dulu.

Menelepon Secara Acak

Dari dua contoh kasus tersebut, saya mengambil kesimpulan, bandit yang kerap mengaku sebagai polisi, sebenarnya hanya memanfaatkan kebingungan korban. Di mana, saat ditelepon dan mengabarkan telah terjadi sesuatu terhadap anaknya, seorang ibu secara spontan akan menyebut nama salah satu putranya yang berpotensi melanggar hukum. Dengan bekal nama yang terlanjur disebut itulah, ulah pelaku semakin menjadi. Semisal calon korban tak menyebut nama, pelaku bakal kebingungan sendiri.

Kapolres Salatiga AKBP Yudho Hermanto SIK yang dikonfirmasi perihal aksi tipu- tipu ini, melalui Kasat Reskrim AKP M. Zazid SH.MH mengakui pihak susah mengendus jejak pelaku. Pasalnya, selain nomor rekeningnya berada di luar pulau Jawa, ketika ditelusuri pun, pemilik rekening merasa tak pernah merasa memiliki rekening di bank mana pun. “Artinya, pelaku sudah memalsukan identitas seseorang untuk membuka rekening guna mendukung aksi kejahatannya.” jelasnya.

Menurut perwira muda ini, dalam mencari mangsa, pelaku sengaja menelepon calon korban secara acak. Bila yang mengangkat suaranya anak- anak atau remaja, telepon langsung diputus. Begitu pun semisal yang mengangkat laki- laki, tanpa basa basi segera diputus. “ Sasarannya memang ibu- ibu, karena perempuan relatif gampang panik,” kata M. Zazid.

Sebagai langkah antisipasi terjadinya tindak kriminal serupa, pihak Polres Salatiga selain sering mengeluarkan himbauan melalui media cetak, juga dipasang berbagai spanduk himbauan agar masyarakat tidak gampang terpengaruh oleh berbagai penipuan online. Baik lewat SMS mau pun telepon, pihaknya berharap masyarakat tak mudah terpengaruh.

Terkait hal tersebut, M. Zazid membagikan tips kecil agar masyarakat tak lagi menjadi korban. Bila menerima telepon dari seseorang yang mengaku sebagai anggota polisi, tanyakan pangkat, satuan tempat bertugas, Nrp dan selanjutnya dikonfirmasikan ke Polres terkait. “Prosedur tetap (Protap) kita, semua anggota yang bertugas di lapangan selalu dibekali surat tugas. Begitu pun ketika memberikan kabar sesuatu, biasanya kita melalui kurir, tidak  melalui telepon.” jelas M. Zazid.

Itulah sedikit catatan saya tentang sepak terjang pencoleng yang kerap mengaku sebagai polisi. Bila suatu saat anda akan dijadikan korban, tak perlu panik atau kebingungan. Cerna segala sesuatunya dengan jernih, lakukan konfirmasi baik terhadap keluarga mau pun kesatuan pelaku. Jangan beri ruang gerak terhadap kejahatan dalam bentuk apa pun. Kendati para pelaku mempunyai 1001 modus operandi, namun, hadapi secara tenang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun