[caption caption="Daging sapi yang dijual di pasar Salatiga (foto: bamset)"][/caption]Ketika harga daging sapi sudah menembus angka di atas Rp 100 ribu/kg, maka untuk menjerat konsumen, ada beberapa oknum pedagang nakal yang nekad memperdagangkan daging gelonggongan. Lantas, seperti apa lika-liku perdagangan daging haram tersebut? Berikut penelusuran saya.
Daging sapi gelonggongan adalah daging yang kadar airnya sangat tinggi. Kandungan air tersebut disengaja oleh pihak-pihak tertentu (pedagang/pemasok) untuk mengeruk keuntungan yang tinggi. Biasanya, pedagang nakal menyembelih sendiri ternak yang akan dipasok ke berbagai pasar tradisional. Modus operandi (MO) menggelonggong selalu khas, yakni memberi minum sapi yang bakal disembelih secara berlebihan.
Tak semua pedagang di pasar tradisional selalu berbuat nakal, hanya satu dua pedagang yang berbuat culas. Meski begitu, pedagang yang lurus sering terkena getahnya. “Kalau yang berdagang di sini, sepertinya tak ada yang menjual daging sapi gelonggongan om. Kalau di tempat lain, mungkin saja bisa ditemukan,” kata Azizah (bukan nama sebenarnya) pedagang daging yang berjualan di Pasar Raya I Kota Salatiga, Kamis (28/1) siang.
Menurut Azizah, untuk membedakan daging sapi gelonggongan atau tidak, sebenarnya sangat sederhana. Daging yang berasal dari sapi disembelih normal, maka dagingnya berwarna merah terang, tekstur daging kenyal, kadar airnya sedikit dan biasanya oleh penjualnya selalu digantung. Sebaliknya, daging gelonggongan tidak bakal digantung karena airnya pasti menetes.
Sedangkan daging gelonggongan, lanjut Azizah, selain tak mungkin digantung saat di lapak, juga dagingnya berwarna merah agak kebiruan, tekstur lembek, kadar airnya berlebih, baunya cenderung sangat amis mendekati busuk dan tidak bakal tahan lama. “Ketika dimasak, langsung menyusut. Daging sekilo, bisa-bisa tinggal setengahnya,” ungkapnya.
Terkait hal tersebut, Siti menyarankan agar konsumen jeli dalam membeli daging. Cara paling gampang adalah belanja di lapak langganannya masing-masing, sebab, kalau sudah menjadi pelanggan, kecil kemungkinan pedagang akan mengibulinya. Terlebih lagi saat membeli tidak di los daging yang sudah ditentukan, maka kualitasnya tak ada yang menjamin.
[caption caption="Daging gelonggongan yang pernah disita aparat Salatiga (foto: dok Dhinar S)"]
Begini Cara Menggelonggong
Apa yang disampaikan Azizah, tak pelak membuat diri saya semakin tertarik. Sebab, selain di los daging, banyak pedagang yang berjualan di luar di luar pasar. Tambahan lagi, pihak instansi terkait di Salatiga kerap menggelar operasi daging gelonggongan, celakanya selalu berhasil menemukan barang haram tersebut. Berdasarkan informasi, salah satu desa yang masuk wilayah Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, konon merupakan pusat daging sapi gelonggongan.
Naluri saya sebagai Kompasianer langsung tergerak untuk melakukan penelusuran ke lokasi yang disebutkan. Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di desa yang dimaksud. Setelah dua kali bertanya, saya tiba di rumah besar milik Hj S yang tercatat sebagai pedagang daging yang tiap hari menyembelih sapi di pemotongan miliknya. Di mana, untuk memasarkan daging, ia memasok pedagang di beberapa kota maupun kabupaten di Jawa Tengah.
Rumah Hj S panjangnya sekitar 50 meter, pintu maupun jendelanya tertutup rapat. Meski begitu, pintu samping yang menuju tempat pemotongan terbuka. Saat saya mengucap salam berulangkali, tak ada yang menyambut. Saya pun segera menyelinap masuk. Begitu berada di areal pemotongan, mata saya langsung menangkap keberadaan dua ekor sapi yang lehernya diikat tali. Seekor telah tergeletak di lantai, sedang yang seekor lagi masih berdiri.
Yang membuat miris, di ruangan pemotongan berukuran 5 X 8 meter tersebut, sapi yang masih berdiri, lehernya diikat menggunakan tali, begitu pun lobang hidungnya, ikut terikat. Sementara mulutnya dijejali selang air yang menyambung ke keran. Air terus mengocor memaksa masuk melalui tenggorokan hingga perut ternak itu membesar. Entah berapa liter air yang dipaksa masuk, sebab tidak ada satu pun orang yang mengawasi.
Kendati begitu, ketika saya melihat sapi yang tergeletak, saya meyakini bahwa air akan terus dibiarkan mengalir memasuki tenggorokan selama kaki sapi masih kuat menopang berat tubuhnya. Setelah tumbang, aliran air baru dihentikan. Penyiksaan tak lantas berhenti, sapi bukannya segera disembelih, namun dibiarkan terlebih dulu agar air meresap dalam tubuhnya. Padahal, ternak itu telah sekarat.
Dari temuan ini, saya mencoba kalkulasi. Semisal berat sapi yang akan dipotong mencapai 100 kg, maka seusai digelonggong beratnya bisa terdongkrak hingga 130 kg. Bila harga normal dari pemasok ke pedagang mencapai Rp 90 ribu/kg, tanpa digelonggong pemasok hanya mengantongi duit Rp 9 juta. Namun, setelah digelonggong, keuntungan yang dikeruk bertambah 30 kg hingga totalnya seekor sapi mampu jadi uang Rp 12,7 juta. Keuntungan yang menggiurkan! Karena harga belinya cuma berkisar Rp 7 juta/ekor.
Begitulah hasil penelusuran saya tentang daging sapi gelonggongan, selain jenis gelonggongan, saya juga menerima informasi mengenai daging sapi leipan (bangkai). Artinya, daging yang diperjualbelikan berasal dari ternak yang sebelum dipotong telah mati terlebih dulu. Entah mati karena penyakit, atau sebab lain, yang jelas, ketika dibawa ke pemotongan hewan, sapi tersebut sudah kehilangan nyawanya. Sayangnya, untuk pembuktian sangat susah. Sebab, penyembelihan dilakukan secara sembunyi dan dilakukan tengah malam. Jadi, bagi yang doyan daging sapi, sebaiknya Anda selalu waspada. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H