Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Kampung Ini, Bambu Mampu Memberikan Kehidupan

17 Januari 2016   18:45 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jemuran pakaian buatan warga Ngablak (foto: bamset)"][/caption]Di mata orang awam, bambu hanyalah pohon yang tumbuh dengan sendirinya di kebun mau pun lahan kosong. Manfaatnya paling banter untuk pagar sederhana atau digunakan sebagai tiang bendera. Kendati begitu, di tangan warga kampung Ngablak, Blotongan, Sidorejo, Kota Salatiga, selama puluhan tahun mampu memberikan kehidupan.

Bambu yang perbatangnya seharga Rp 7 ribuan, oleh warga Ngablak, sejak tahun 1990 dijadikan penopang hidup. Caranya, batang- batang bambu tersebut dibuat menjadi kerai peneduh, tempat jemuran, kandang ayam, besek, anyaman atap hingga tempat untuk mengukus nasi. Meski dikerjakan secara sambilan, tetapi mampu memberikan kontribusi yang lumayan. Minggu (17/1) sore, saya bertandang ke kampung ini. Sayangnya, aktifitas warga berhenti karena sudah terlalu sore.

[caption caption="Bahan baku sebelum dibentuk (foto: bamset)"]

[/caption]Menurut Mohamad Saefudin (40) warga setempat, di Ngablak terdapat sekitar 40 pengrajin bambu. Mereka tergabung dalam satu paguyuban yang aktifitasnya selain rutin mengadakan pertemuan bulanan, juga kerap menggelar pengajian bersama. “ Hal ini untuk mempererat persaudaraan sekaligus menjauhkan dari persaingan tidak sehat,” jelasnya.

Untuk membuat kerai ukuran 1 X 2 meter, yang biasa digunakan menangkal sinar matahari, seorang pengrajin membutuhkan sebatang bambu yang yang panjangnya mencapai 10 meteran. Setelah dipotong sesuai ukuran, selanjutnya batang bambu dibelah kecil- kecil ukuran 2 centi meter. Agar bentuknya halus, belahan bambu diserut satu persatu hingga halus. “ Setelah itu baru dirangkai membentuk kerai,” tutur Saefudin.

Dalam memproduksi satu kerai, pengrajin membutuhkan waktu paling cepat dua hari. Hasil jerih payah tersebut, biasanya dihargai sebesar Rp 50 ribu. Untuk pemasaran, kadang diambil pemesan, tetapi juga sering dititipkan di kios- kios yang terletak di Tapen, Tuntang, Kabupaten Semarang. Bila sudah berada di kios, maka harga jualnya mencapai Rp 75 ribu- Rp 100 ribu, tergantung kepiawaian penjualnya.

[caption caption="Kerai buatan warga Ngablak (foto: bamset)"]

[/caption]Khusus pembuatan kerai, biasanya diserahkan pada ibu- ibu. Di mana, selain dikerjakan seusai merampungkan tugas- tugas rumah tangganya, pekerjaan ini bersifat sambilan. Sementara, kaum pria lebih memilih menggarap kandang ayam, tempat jemuran atau berbagai barang lain yang membutuhkan keahlian merakit hingga membentuk barang. Untuk membuat jemuran dengan panjang sekitar 1,5 meter, mereka hanya perlu waktu setengah hari. Bermodal Rp 7 ribu, selanjutnya jemuran buatannya dihargai Rp 50 ribu.

Tak Tergerus Jaman

Kendati saat ini kemajuan jaman sudah sedemikian pesat, namun, keberadaan pengrajin bambu di Ngablak tetap tak tergoyahkan. Salah satu contohnya adalah membanjirnya tempat jemuran yang terbuat dari besi  mau pun almunium yang harganya mencapai Rp 200 an ribu. Bagi para pengrajin, buatan pabrik tidak menjadi ancaman. Pasalnya, pangsa pasar jauh berbeda. “Pasar yang disasar warga kan golongan bawah, sedang buatan pabrik membidik golongan menengah ke atas,” ungkap Saefudin.

Dengan perbedaan harga yang mencolok, maka keberadaan pengrajin bambu tak khawatir kehilangan konsumen. Sebab, selama golongan bawah masih ada di Republik ini, maka, kerajinan tangan mereka tetap laku. Begitu pun barang lainnya seperti kanda ayam, baik yang berbentuk kotak mau pun bulat. Pabrikan tidak bakal mampu menyaingi mereka karena membutuhkan ketelitian yang detail.

Untuk kandang ayam ukuran 1 X 2 meter, saya mendapatkan keterangan harganya mencapai Rp 80 ribu. Sebagai pembanding, saya mencoba mendatangi tukang las guna memesan barang serupa terbuat dari deruji besi. Ternyata, tukang las mematok harga Rp 1 juta. Perbedaan harga yang berlipat- lipat itu, membuat orang lebih memilih kandang bambu.

[caption caption="Aneka kandang ayam yang dijajakan di Tapen (foto: bamset)"]

[/caption]Memang, berbagai barang yang terbuat dari bambu memiliki kelemahan, yakni kurang mampu bertahan lama. Meski begitu, paradigma kurang awetnya bambu sebagai bahan baku ditepis Saefudin. “ Saya punya tempat jemuran serupa dan juga mempunyai kandang ayam bambu, hampir 5 tahun ini masih kokoh,” ujarnya tanpa bermaksud promosi.

Menurut Saefudin, aneka kerajinan bambu akan berumur panjang tergantung perilaku pemiliknya. Selama tidak terkena air hujan terus menerus, aneka barang itu bakal bertahan bertahun- tahun. “ Jangankan bambu, yang terbuat dari besi atau almunium pun, kalau terkena air hujan setiap hari ya tak mampu bertahan lama,” ujarnya. Benar juga kata om Saefudin ini.

[caption caption="Kandang ayam setengah lingkaran (foto: bamset)"]

[/caption]Meski berdasarkan fakta selama puluhan tahun tanaman bambu mampu memberikan kehidupan di kampung ini, sayangnya perhatian dari pihak- pihak terkait sangat minim. Dari mulai sekedar pembinaan hingga pemasaran, para pengrajin melakukannya secara otodidak. Tak pernah mendapat sentuhan yang memadai, akibatnya sejak tahun 1990 hingga sekarang, produksi mereka tidak pernah mengalami peningkatan. Sepertinya inovasi merupakan kosa kata yang belum dikenalnya.

Begitulah hasil jalan- jalan sore (JJS) saya hari ini, kampung Ngablak yang berada di perbatatasan wilayah Kabupaten Semarang, harusnya mendapat atensi dari pihak pemerintah kota Salatiga. Sebab, kreatifitas mereka bila dicermati mampu menekan angka pengangguran yang saban tahun terus bertambah. Konon, satu- satunya hal yang dibutuhkan para pengrajin adalah bantuan dana lunak. Karena dana itu sangat dibutuhkan guna mengembangkan usahanya.

Fakta lain yang menarik, selain keberadaan mereka tak tergerus oleh kemajuan jaman, para pengrajin juga tidak terpengaruh oleh berbagai krisis yang mendera tanah air. Dengan pangsa pasar golongan bawah yang jumlahnya terus membengkak, maka aneka produksi dari bambu yang dikerjakan secara manual, bisa dipastikan bakal tetap eksis sepanjang waktu. Dan yang paling penting, barang- barang buatan mereka ramah lingkungan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun