Setelah bebas dari bui, rupanya Hardadi mulai tersadar bahwa ia memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarganya. Untuk itu, dirinya mencoba berdagang singkong presto, menggunakan gerobak. Dibantu istrinya, gerobak singkong miliknya tiap hari mangkal di lapangan Pancasila Kota Salatiga. Dalam sehari, paling banter hanya memproduksi bahan baku sebanyak 5 kilo gram. Kadang, dagangan tersebut kerap bersisa.
Hardadi meyakini, untuk sukses di tengah persaingan yang ketat, tak mungkin bisa diperoleh secara instant. Perjalanannya memulai bisnis singkong benar-benar diuji, kendati begitu, ia ikhlas melakoninya. Hitung-hitung hal itu dilakukan sebagai penebusan dosa atas segala polahnya di masa lalu. Berbulan-bulan pekerjaan berjualan singkong presto terus dia lakoni hingga secara perlahan omzetnya terus meningkat.
Kamar di Bui Jadi Merk Dagang
Orang bijak mengatakan, Allah tak akan berdiam diri melihat umatnya yang mau berupaya mengubah hidupnya. Demikian pula yang terjadi pada Hardadi, setelah tak membuka lapak di lapangan Pancasila, para pelanggannya terus berdatangan ke rumahnya yang sangat sederhana di Jalan Argowiyoto. Terkait hal itu, dirinya mulai berfikir profesional, yakni pentingnya merk dagang bagi singkong buatannya.
Kembali Hardadi berdiskusi dengan istrinya, karena kebingungan mencari nama, akhirnya disepakati keduanya untuk menggunakan nomor kamar saat Hardadi mengeram di LP Surakarta. Kamar yang ditempatinya selama 6 bulan bernomor D-9. Sembari terus berdoa, akhirnya D-9 digunakan sebagai merk dagang hingga sekarang. “D-9 juga menjadi pengingat setiap saat agar suami saya tak terjerumus lagi pada masalah narkoba,” tutur Dyah.Saat ini, Hardadi telah menjadi pengusaha sukses. Dengan omzet bahan baku mencapai 2 ton sehari, ia merekrut para pengangguran untuk bekerja di rumahnya. Total ada 45 pekerja yang bergantung nasipnya di tangan Hardadi. Meski keberhasilan sudah diraihnya, ia enggan melupakan Allah yang telah merubah kehidupannya. Secara rutin, sebulan sekali karyawannya diminta ikut pengajian di rumahnya.
Menurut Hardadi, outlet mau pun lokasi pengolahan singkong keju D-9 tak akan dipindahkan ke tempat lain. Ia juga enggan membuka cabang, pasalnya dirinya mempunyai cita-cita menjadikan Jalan Argowiyoto menjadi pusat kuliner di Salatiga. Dan, hal tersebut telah mulai terealisasi sejak tahun 2010 an, di mana beberapa tetangganya ikut menekuni usaha persingkongan, baik diolah jadi ceriping, singkon presto mau pun makanan lain.
Hingga saya meninggalkan outlet singkong keju D-9, saya lupa menanyakan apakah Hardadi dan istrinya juga menyisihkan in come bersihnya untuk anak yatim mau pun kamu papa. Yang pasti, saya melihat perjalanan hidup Hardadi sangat luar biasa. Dari seorang narapidana, merangkak hingga sekarang menjadi pengusaha. Padahal, yang ia jajakan hanya singkong, makanan sarat karbohidrat yang lekat dengan rakyat. Begitulah yang bisa saya sajikan tentang singkong keju D-9, ikon kuliner dari Salatiga yang ternyata menyimpan banyak cerita. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H