Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengubah Batu Menjadi Emas

1 Januari 2016   19:19 Diperbarui: 1 Januari 2016   19:39 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baik pengerjaan relief mau pun patung, garapannya sangat halus. Seniman- seniman alam yang mampu mengukir batu keras tersebut layak diacungi jempol. Mereka belajar mengukir secara otodidak, namun, hasilnya boleh diadu dengan seniman- seniman ternama. Saat saya melongok di salah satu bengkel pembuatan bongpai, Nampak tergeletak relief Yesus dan Joko Tarup ukuran besar tergeletak di tanah.

[caption caption="Relief Yesus yang belum memasuki finishing (foto: bamset)"]

[/caption]

Para pengrajin dalam menggarap bongpai, mengenal dua jenis bahan. Yakni, batu putih dan batu hijau. Batu putih kualitasnya standar, memiliki harga jual lebih rendah. Sedang batu hijau, setelah selesai digarap, saat dihaluskan secara perlahan muncul warna kehijauan. Untuk harga jualnya lumayan tinggi, tergantung tingkat kerumitannya. Relief ukuran 2 X 2 meter mampu menembus harga hingga Rp 50 juta.

Untuk menggarap relief berikut ukiran nama, pengrajin ekstra hati- hati memainkan tatah bajanya. Sebab, selain huruf latin, biasanya juga terdapat aksara China (kanji) yang tentunya tidak semua pengrajin mampu melakukannya.Setelah tuntas pengerjaannya, biasanya ukiran diberi cat guna mempercantiknya. Bukan sembarang cat yang bisa dipergunakan, cat yang dipakai bernama kimpo yang tahan berpuluh tahun tanpa luntur.

[caption caption="Berbagai produk bongpai di bengkel (foto: bamset)"]

[/caption]

Satu hal yang merisaukan keberadaan pengrajin bongpai saat ini adalah minimnya minat generasi muda untuk meneruskan bisnis tersebut. Bila di tahun 80 an di Blotongan terdapat sekitar 30 lokasi pembuatan bongpai, belakangan jumlahnya terus menurun. Anak- anak muda yang diharapkan mampu meneruskan usaha orang tuanya, lebih banyak yang menghindar. Akibatnya, ketika pengrajin senior meninggal, maka bisnisnya ikut terkubur.

Di Blotongan, jumlah pengrajin bongpai yang masih eksis hanya berkisar 10 an orang. Meski tak pernah mengenal putus order, namun anak- anak muda yang ada sepertinya enggan berkutat dengan bebatuan. Mereka lebih tertarik bekerja di perusahaan swasta atau berwiraswasta bidang lain. Dimungkinkan, 10- 15 tahun mendatang, keberadaan pengrajin bongpai bakal tinggal kenangan karena generasi penerusnya terputus. (*)

Selamat taon baru sodaraku, smoga di taon 2016 kehidupan ini semakin baik

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun