[caption caption="Bongkahan batu yang akan diubah menjadi emas (foto: bamset)"][/caption]
Bagi sebagian warga Blotongan Kota Salatiga, mengubah sebongkah batu menjadi emas, bukanlah isapan jempol. Selama berpuluh tahun mereka yang berprofesi sebagai pengrajin bongpay, mampu “menyulap” keberadaan bongkahan batu hingga dihargai sampai Rp 50 juta.
Tak jelas sejak kapan warga Blotongan mulai menekuni kerajinan bongpai, yang pasti saat saya masih kecil, di tahun 60 an, aktifitas mengukir batu besar tersebut sudah ada. Secara turun menurun, keahlian menatah dan membentuk benda keras menjadi semacam relief itu berjalan dengan alami. Kendati jumlah pengrajin sekarang telah banyak berkurang, namun eksistensi mereka setiap harinya masih jelas terlihat.
[caption caption="Bongpai yang sudah dipasang di makam (foto: bamset)"]
Bongpai sendiri merupakan nama batu nisan yang biasa dipakai oleh warga keturunan Tionghoa untuk memperindah makam leluhurnya. Konon, keberadaan bongpay di makam seseorang yang sudah meninggal menjadi gambaran perjalanan hidup dan simbol kehidupan yang pernah dijalani almarhum semasa hidupnya. “ Bila orang itu semasa hidupnya dikenal sebagai orang kaya, maka bongpai yang terpasang bisa seharga ratusan juta,” kata warga setempat yang mengaku bernama Rohmat.
Menurut Rohmat, bongpai sendiri bukan selalu berujut relief. Tetapi bisa dibentuk menjadi batu nisan, patung dan asesoris lain. Prinsipnya, semakin tinggi strata sosial orang yang meninggal, maka bongpai yang terpasang juga sangat rumit serta mempunyai nilai jual yang tinggi pula. Mahalnya harga bongpai karena pengerjaannya membutuhkan ketelitian, kesabaran hingga waktu yang cukup lama.
Bongpai produksi warga Blotongan berbahan dasar batu alam yang keras, di mana batu- batu tersebut biasanya didatangkan dari luar kota Salatiga. Biasanya, pengrajin mengerjakan ukiran berdasarkan order keluarga yang baru saja ditinggalkan oleh anggota keluarganya. “ Pesanan – pesanan tersebut meliputi dari Salatiga sendiri, Semarang, Surabaya, Jakarta bahkan hingga Medan,” tutur Rohmat tanpa bernada pamer.
[caption caption="Relief yang baru setengah jadi (foto: bamset)"]
Karena memiliki pangsa pasar yang jelas, maka para pengrajin sampai sekarang tetap menekuni profesinya itu. Sebab, kendati pengerjaannya membutuhkan waktu cukup lama, namun hasilnya layak disebut sangat lumayan. Untuk bongpai ukuran kecil, harganya mencapai Rp 20 jutaan, sedang bongpai besar mampu menembus angka Rp 100 juta. Menggiurkan memang.
Terancam Putus Penerus
Pengerjaan order bongpai bagi orang awam teramat rumit, dimulai dari membelah bongkahan batu menjadi lempengan. Selanjutnya digambar, terus diukir hingga memasuki finishing. Untuk pengukiran, para pengrajin harus memiliki jiwa seni yang tinggi. Salah sedikit, maka fatal akibatnya. Terkait hal tersebut, hanya pengrajin yang telah kenyang pengalaman saja yang mampu melakukannya.
Baik pengerjaan relief mau pun patung, garapannya sangat halus. Seniman- seniman alam yang mampu mengukir batu keras tersebut layak diacungi jempol. Mereka belajar mengukir secara otodidak, namun, hasilnya boleh diadu dengan seniman- seniman ternama. Saat saya melongok di salah satu bengkel pembuatan bongpai, Nampak tergeletak relief Yesus dan Joko Tarup ukuran besar tergeletak di tanah.
[caption caption="Relief Yesus yang belum memasuki finishing (foto: bamset)"]
Para pengrajin dalam menggarap bongpai, mengenal dua jenis bahan. Yakni, batu putih dan batu hijau. Batu putih kualitasnya standar, memiliki harga jual lebih rendah. Sedang batu hijau, setelah selesai digarap, saat dihaluskan secara perlahan muncul warna kehijauan. Untuk harga jualnya lumayan tinggi, tergantung tingkat kerumitannya. Relief ukuran 2 X 2 meter mampu menembus harga hingga Rp 50 juta.
Untuk menggarap relief berikut ukiran nama, pengrajin ekstra hati- hati memainkan tatah bajanya. Sebab, selain huruf latin, biasanya juga terdapat aksara China (kanji) yang tentunya tidak semua pengrajin mampu melakukannya.Setelah tuntas pengerjaannya, biasanya ukiran diberi cat guna mempercantiknya. Bukan sembarang cat yang bisa dipergunakan, cat yang dipakai bernama kimpo yang tahan berpuluh tahun tanpa luntur.
[caption caption="Berbagai produk bongpai di bengkel (foto: bamset)"]
Satu hal yang merisaukan keberadaan pengrajin bongpai saat ini adalah minimnya minat generasi muda untuk meneruskan bisnis tersebut. Bila di tahun 80 an di Blotongan terdapat sekitar 30 lokasi pembuatan bongpai, belakangan jumlahnya terus menurun. Anak- anak muda yang diharapkan mampu meneruskan usaha orang tuanya, lebih banyak yang menghindar. Akibatnya, ketika pengrajin senior meninggal, maka bisnisnya ikut terkubur.
Di Blotongan, jumlah pengrajin bongpai yang masih eksis hanya berkisar 10 an orang. Meski tak pernah mengenal putus order, namun anak- anak muda yang ada sepertinya enggan berkutat dengan bebatuan. Mereka lebih tertarik bekerja di perusahaan swasta atau berwiraswasta bidang lain. Dimungkinkan, 10- 15 tahun mendatang, keberadaan pengrajin bongpai bakal tinggal kenangan karena generasi penerusnya terputus. (*)
Selamat taon baru sodaraku, smoga di taon 2016 kehidupan ini semakin baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H