Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Holland Coffee dengan Musik Keroncong

6 Desember 2015   03:56 Diperbarui: 6 Desember 2015   09:53 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Komplek Joglo Ki Penjawi (foto: bamset)"][/caption]Sabtu (5/12) malam, sekitar pk 19.30 secara mendadak saya mendapat undangan ngopi di Joglo Ki Penjawi, kendati awalnya sempat menolak karena bukan pecinta kopi. Tetapi, karena dipameri sensasi yang berbeda, akhirnya saya meluncur ke tujuan.

Begitu motor memasuki halaman Joglo Ki Penjawi, H. Gunawan  Herdiwanto yang biasa saya sapa dengan panggilan mas Iwan, telah menunggu. Sebelum masuk ke bangunan berbentuk joglo lawas, samar- samar terdengar alunan lagu Someone Like You tapi dalam versi keroncong. “ Tiap Sabtu malam ada musik keroncong  yang dimainkan temen-temen mas,” kata pemilik Resto ini.

[caption caption="Orkes Keroncong yang main tiap sabtu malam (foto: bamset)"]

[/caption]Kami berdua sengaja nongkrong di lantai paling atas, sehingga udara sejuk tak terhalang dinding karena desain bangunannya memang terbuka. Sambil menunggu kopi yang dijanjikan mas Iwan, kami berbincang ngalor ngidul tak jelas juntrungnya. Kurang lebih 5 menit kemudian, datang minuman yang katanya memiliki sensasi berbeda.

Ternyata kopi yang disuguhkan adalah minuman kopi dingin ditampung dalam gelas kecil, sepintas saya lihat, tak terlihat ampasnya. Menurut mas Iwan, kopi ini diproses melalui Cold Drip, yakni diseduh dengan air dingin campur es batu menggunakan alat khusus. Seduhan itu selanjutnya hanya menetes, jatuh ke bubuk kopi. Untuk satu gelas, dibutuhkan waktu sekitar 6 jam.

Setelah saya campur dengan sedikit gula, aroma yang tercium mirip-mirip wine. Ketika saya telisik, ternyata seduhan tersebut disimpan dalam kulkas bercampur buah. Sehingga, kendati bau kopinya tetap kuat, tetapi sepintas seperti mengandung keharuman buah. “ Oooo ini to yang disebut Holland Coffee,” batin saya.

[caption caption="Mas Iwan memperlihatkan proses membuat Holand Coffee (foto: bamset)"]

[/caption]Diminum sedikit demi sedikit, sambil mendengarkan alunan musik keroncong, nampaknya terasa nikmat sekali. Apa lagi kanan kiri yang terlihat hanya barang- barang kuno, maka tak keliru bila mas Iwan menyebut ada sensasi yang berbeda. Memang, pria yang usianya belum genap 50 tahun itu seorang penggila barang kuno. Nyaris seisi resto merupakan barang lawas yang diburu kolektor.

Tumpeng Kebab

Hampir 30 menit berbincang di tengah alunan keroncong, saya lagi- lagi dipameri menu spesial, namanya Tumpeng Kebab. Agak geli mendengarnya, tetapi karena memang sudah waktunya makan, suguhan ini tak saya tolak. Sekitar 10 menit kemudian, hidangan malam telah tiba. Bentuknya selayaknya tumpeng ukuran kecil namun di mulut seperti nasi goreng campur daging, sementara kebab dan sayuran diletakkan disampingnya.

Saya mencoba mengingat di mana pernah menemukan menu kuliner ini, namun meski saya sudah berupaya memutar memori, ternyata tak ketemu juga. Mungkin Tumpeng Kebab hanya ada di Joglo Ki Penjawi. “ Gimana mas ? Enak ? “ tanya mas Iwan saat saya lagi sibuk mengunyah. Saya langsung mengangguk, namanya saja gratis masak saya mau menjawab tidak enak.

[caption caption="Penampakan tumpeng kebab (foto: bamset)"]

[/caption]Resto Joglo Ki Penjawi memang menarik, sebab kendati seluruh ornament dibuat sangat njawani, di mana semua bangunan terbuat dari kayu- kayu tua dipadu bata merah tanpa plesteran, tetapi pemiliknya tetap menyediakan berbagai menu moderen. Dari mulai Western food, Chinese food hingga beberapa masakan Italia tersedia. Bagi lidah kampung, disediakan bebek goreng rempah, ayam taliwang, nasi goreng sampai sop iga.

Posisi Joglo Ki Penjawi memang sangat representatif, letaknya yang berada di bagian atas Salatiga, maka di malam hari viewnya terlihat indah. Tak heran bila malam minggu, banyak pasangan muda terlihat menghabiskan waktunya di gazebo- gazebo yang juga terbuat dari kayu kuno. Tidak terasa, ternyata saya ngobrol sudah makan waktu berjam- jam. Ketika saya longok jam dinding, pk 01.00 ! Karena perut telah cukup kenyang, nampaknya saya malas berlama- lama di sini. Pk 01.05 saya berpamitan sembari berharap kapan-kapan diundang makan lagi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun