Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aceh Singkil, Belajarlah Ke Salatiga

19 Oktober 2015   13:35 Diperbarui: 19 Oktober 2015   13:35 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Kebaktian Natal bersama di Salatiga (foto: dok pribadi)"][/caption]

Kerusuhan antar warga yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi  Aceh, Selasa (13/10) lalu, masih menyisakan duka yang mendalam. Selain telah meluluhlantakan sebuah bangunan ibadah, ribuan pengungsi juga terpaksa meninggalkan rumahnya karena merasa terancam jiwanya.

Setiap terjadi amuk massa dengan balutan suku, agama ras dan antar golongan (SARA) di Republik ini, saya selalu teringat dengan Kota Salatiga, Jawa Tengah. Di kota berpenduduk 180 ribu jiwa ini, berdiam sekitar 23 suku dari berbagai daerah di Indonesia. Kendati agama Islam menjadi mayoritas (75 persen), namun belum pernah pecah kerusuhan dalam bentuk apa pun.

Di Salatiga terdapat perguruan tinggi swasta yang bernama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berdiri di tahun 50 an. Mahasiswanya datang dari berbagai pelosok tanah air, bahkan hampir separuh jumlah mahasiswanya bukanlah warga Salatiga. Kendati begitu, setiap awal dimulainya perkuliahan, ribuan mahasiswanya selalu menggelar semacam karnaval “Kulo Nuwun”.

[caption caption="OMB Ospek UKSW Salatiga Dalam Karnaval "Kulo Nuwun" (foto:dok pribadi)"]

[/caption]

 

 

Implikasi kehadiran ribuan mahasiswa dengan berbagai karakter tersebut, tak pelak, terkadang menimbulkan gesekan tersendiri. Namun, semuanya cepat pulih seperti sedia kala. Praktis, belum pernah terjadi kericuhan yang membesar hingga menghancurkan barang atau membawa korban jiwa. “ Saya nyaman hidup di Salatiga,” kata Dr Beny Ridwan yang berasal dari Sumatera Utara yang memiliki istri warga setempat.

Para mahasiswa Papua yang memiliki tradisi sejak puluhan tahun yang lalu menuntut ilmu di UKSW, sering terlihat berbaur dengan warga Salatiga tanpa merasa ada diskriminasi. Ketika terjadi kesalahpahaman, mereka yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Papua Barat (Himppar) Kota Salatiga, segera mengambil langkah – langkah strategis guna memecahkan kebuntuan.

Begitu pula saat mereka merasa membuat kesalahan, baik sengaja mau pun tak sengaja, tanpa menunggu lebih lama mereka segera meminta maaf. Bila kesalahannya dianggap cukup fatal, Himppar tidak segan menggelar ritual “bakar batu” sebagai bentuk permintaan maaf sekaligus perdamaian. Seperti yang dilakukan Rabu tanggal 6 Mei 2015 lalu. Mengambil lokasi di halaman kantor Satlantas Polres Salatiga, ratusan mahasiswa Papua sengaja mengadakan upacara “bakar batu”

[caption caption="Mahasiswa Papua menari jelang "bakar batu" (foto:dok pribadi)"]

[/caption]

 

Natal Bersama

Kendati mayoritas penduduknya Muslim, namun, keberadaan 76 gereja di Salatiga sama sekali tak mengusik kenyamanan warga. Di sini, umat Nasrani sejak tahun 1970 an, saat tanggal 25 Desember, Badan Kerjasama Gereja- gereja Salatiga (BKGS) selalu menggelar ibadah Natal bersama. Dalam ritual yang diikuti sekitar 10 ribu umat Nasrani dan dilangsungkan di lapangan Panca Sila tersebut, praktis belum pernah terjadi gangguan sedikit pun. Padahal, lapangan yang sama tiap Idhul Fitri juga dipergunakan untuk melaksanakan sholat Id oleh ribuan umat Muslim.

Ada sisi menarik dibalik gawe besar ini. Di mana, tepat diseberang sebelah barat lapangan Panca Sila yang berjarak sekitar 10 meter, terdapat Mesjid Raya Darul Amal. Tiap hari sarat dengan jemaah dengan segala aktifitasnya. Meski begitu, umat Muslim tak pernah merasa terusik. Begitu pula dengan hajatan umat Kristiani yang digelar berpuluh- puluh tahun, belum pernah terganggu oleh insiden apa pun. Semua begitu lancar, semua begitu aman. Memang, Salatiga sungguh berbeda.

Demikian pula ketika hari Paskah tiba, ribuan umat Kristiani kembali mengadakan ibadah Paskah di lapangan yang sama. Kendati sound system yang digunakan serasa menggelegar di telinga, namun saat Masjid Raya Darul Amal  tengah mengumandangkan adzan Ashar, maka pengeras suara langsung dimatikan. Begitu pun waktu Maghrib, tanpa harus diperingatkan, kebaktian yang digelar telah ditutup.

Sepertinya toleransi beragama dan pluralisme beragama di Salatiga benar- benar mampu dijaga dengan baik oleh warganya. Hal ini tentunya bukan datang secara tiba- tiba, sebab peran para tokoh agama tak bisa diabaikan begitu saja. Tokoh- tokoh agama yang tergabung dalam bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

FKUB yang dipimpin KH Drs Tamam Qaulany merupakan lembaga lokal yang diisi oleh tokoh- tokoh lintas agama di Salatiga. Di sini, terdapat ustad, pendeta, pastur hingga pemuka agama Budha/ Hindu. Saban bulan mereka mengggelar rapat rutin untuk membahas berbagai masalah keagamaan mau pun sosial.Merekalah penjaga perdamaian umat beragama di salatiga.

Meski rapat rutin diikuti oleh tokoh- tokoh agama, namun jangan mempunyai anggapan bahwa suasana pertemuan berlangsung kaku dan formal. Kesan santai sangat terasa di perhelatan yang biasanya berlangsung berjam- jam ini. KH Drs  Tamam Qaulany kerap mencairkan kebekuan, sembari mengisap rokok kreteknya, ia melempar joke- joke yang mampu membuat situasi menjadi lebih berwarna.

Eksistensi FKUB Salatiga dalam menjaga kerukunan umat beragama, benar- benar sangat dirasakan warga. Satu catatan kecil yang perlu diingat, FKUB bersifat independen sehingga sama sekali tidak memiliki ketergantungan dengan Walikota. Siapa pun Walikotanya, FKUB tetap konsisten menjalankan tugasnya. Bahkan, ketika John Manuel Manoppo SH yang jelas- jelas merupakan pemeluk agama Nasrani menjadi Walikota di tengah mayoritas umat Islam, ternyata selama pemerintahannya juga tak terganggu sedikit pun oleh isu- isu agama.

Aksi Unjuk Rasa Umat Muslim

Mungkin, bagi yang tak mengenal Salatiga, beranggapan bahwa kedamaian, ketenangan dan kenyamanan yang ada disebabkan kultur (maaf) orang Jawa yang melekat pada masyarakat Kota Salatiga. Di mana, ada kecendrungan sikapnya santun serta cenderung nrimo. Sebenarnya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun juga tak sepenuhnya salah.

Warga Salatiga lebih suka menempuh cara- cara cerdas dan elegan dalam menyelesaikan suatu persoalan. Paling tidak, beberapa kali aksi unjuk rasa yang digelar, semuanya berlangsung aman. Bahkan, Minggu tanggal 2 Maret 2008, pernah terjadi, sedikitnya 10 ribu umat Muslim melakukan aksi unjuk rasa besar- besaran. Aksi yang dimotori para kyai serta aktifis muda Islam, dimulai dari Masjid Al Atiq yang terletak di jalan raya KH Wahid Hasyim.

Tuntutan yang diajukan, bukan perkara remeh. Tuntutan massa cuma satu, meminta lahan yang dikuasai pihak swasta untuk dibuat menjadi Islamic Centre. Aksi yang melibatkan ribuan umat Muslim berlangsung sekitar 2 jam, di mana dari Masjid Al Atiq massa bergerak menuju rumah dinas Walikota yang berjarak 1 kilo meter. Ketika negoisasi tak menemui titik temu, apa yang yang terjadi ? Massa bubar secara tertib. Dalam aksi itu, tidak ada satu pun rumput yang tercabut dan tidak ada satu pun genting yang pecah.

Ketika para pemimpin menyodorkan konsep- konsep pentingnya keanekaragaman, kebhinekaan atau pluralisme, masyarakat Salatiga sudah sejak kemerdekaan telah mengimplementasikan tanpa banyak mengumbar kata. Bukan berarti tidak ada benturan sama sekali, gesekan antar warga tetap ada, namun, belum pernah meledak jadi kerusuhan massal.

Inilah hebatnya Kota Salatiga, semua diselesaikan dengan kepala dingin. Bila dibanding Kabupaten Aceh Singkil yang jumlah penduduknya hanya 108 ribu jiwa, harusnya persoalan di Salatiga lebih kompleks. Kendati begitu, nampaknya tindak amuk massa serta tindakan- tindakan provokatif lainnya memang bukan budaya warga kota ini. Andai kota- kota lain di Indonesia mau belajar ke Salatiga, alangkah indahnya bumi Nusantara. (*)

Artikel terkait  Salatiga :

indonesia-tirulah-salatiga-1_

indonesia-tirulah-salatiga-2

indonesia-belajarlah-dari-salatiga_

kenapa-tolikara-tak-belajar-ke-salatiga

begini-gaya-omb-ospek-uksw-salatiga_

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun