[caption caption="Kompasiana (foto: dok kompasiana.com)"][/caption]
Menulis di Kompasiana memang membuat hidup lebih “berwarna”, serasa ada yang berbeda. Mayoritas Kompasianer merasa berbahagia dan bangga, namun, yang menimpa diri saya malah sebaliknya. Sedikitnya tiga kali mengalami kejadian yang nyaris membuat celaka. Berikut pengalamannya.
Seperti layaknya seorang Kompasianer pemula, begitu tulisannya tayang di Kompasiana, pasti bangga dong. Demikian pula yang ada di diri saya, setelah hampir satu bulan menulis, tepatnya mulai tanggal 7 Desember 2014, saya getol mengangkat berbagai persoalan yang terjadi di kota saya, yakni Salatiga. Dari hal yang enteng, hingga masalah korupsi saya kupas di blog ramai- ramai ini.
Saya yang prototype manusia gaptek, tak mengenal riuhnya dunia maya, mendadak memiliki aktifitas baru. Sore hari yang biasanya hanya dipakai untuk membuang penat, nongkrong di depan pesawat TV, akhirnya “dipaksa” membuat artikel. Karena memang belum memahami sepenuhnya seluk beluk Kompasiana, maka saya cenderung “bermain” di reportase atau istilah jurnalistiknya liputan.
Ada kebanggan yang berlebihan saat reportase sudah tayang di Kompasiana, bagaimana tidak ? Saya yang awam akan jurnalisme warga (citizen journalism), mendadak melakukan kegiatan jurnalistik. Saya yang buta segalanya, memulai belajar news planning, news hunting, news writing dan sekaligus news editing. Kendati begitu, saya tak patah semangat. Segala keterbatasan yang ada, baik faktor pendidikan, usia mau pun kelambanan cara berfikir, saya siasati dengan membuat berita (reportase).
Walau awalnya cukup berat, tetapi perlahan saya mulai terbiasa. Satu demi satu reportase regional tiap hari sudah mengisi lapak di Kompasiana. Kadang ada reaksi dari warga Salatiga yang membacanya, khususnya ketika membuat reportase tentang kebijakan yang miring. Mereka memberikan dukungan sehingga membikin diri saya besar kepala.
Beberapa kali saya diprovokasi untuk menayangkan reportase penanganan korupsi, terlebih lagi bila kasus tersebut tak muncul di media cetak, maka saya langsung menelan mentah- mentah tanpa dikunyah. “ Buat saja berita itu mas, kayaknya wartawan sudah malas menulisnya. Mungkin sudah dikondisikan,” ungkap para “provokator” di depan saya.
Nyaris Celaka Tiga Kali
Ada kesan jumawa pada diri saya, sepertinya saya telah lupa terhadap asal usul yang hanya buruh serabutan. Sehingga, karena terlalu asyik “bermain” di reportase, maka naluri bahaya yang ada pada tubuh saya semakin sirna. Padahal, kalau saya menyadarinya, sebenarnya ancaman – ancaman itu ada di depan mata. Khususnya datang dari oknum- oknum yang tidak menyukainya.
Kejadian pertama yang membuat saya nyaris celaka terjadi di akhir bulan Januari 2015, di mana, saya membuat reportase masalah korupsi. Hanya jeda sekitar lima jam usai menayangkan liputan korupsi, rupanya ada beberapa aparat kemanan yang tak berkenan. Malam harinya, aku ditemui untuk diajak “diskusi” perihal reportase di Kompasiana.
Aparat tersebut secara tegas menyatakan tidak suka dengan reportase yang saya buat, yang paling membuatnya bosnya meradang terkait judulnya yang sangat provokatif (versi mereka). Untuk itu, saya diminta mengubah isi dan judul reportase. Mendengar permintaan mereka, saya menolaknya. Alasannya sederhana, semua yang saya tulis berdasarkan fakta di lapangan.