[caption id="attachment_404668" align="aligncenter" width="490" caption="Ahokkkkkkkkkkk( Foto: Dok Tribun)"][/caption]
Mengupas tentang sepak terjang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, memang tiada habisnya.Terlepas ada unsurpencintraan atau tidak, ia piawai menciptakan berita. Akibatnya timbul perdebatan yang seru atas sikapnya diberbagai media.
Terakhir, yang masih hangat ketika Ahok tampil di salah satu stasiun televisi swasta nasional, dengan entengnya ia mengeluarkan umpatan serta makian yang menurut pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dianggap sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang pejabat di ruang publik.
Kendati Ahok sudah mengeluarkan permintaan maaf, namun, tak urung kecaman yang berkolaborasi dengan pujian tetap saja mengalir tanpa mampu dibendung. Kebetulan, saya berada di pihak yang tang tak mengecam, tapi juga tidak memujinya. Saya mencoba menilai dari sudut yang berbeda yang tentunya sulit lepas dari karakter bawaan Ahok.
Berbicara di depan publik, istilah kerennya public speaking bisa dipelajari ketika seseorang membutuhkannya, minimal saat seseorang menduduki jabatan tertentu sehingga mengharuskan dirinya berhubungan dengan banyak orang (termasuk media).Meski begitu, ada pejabat yang secara alami menguasainya untuk sekedar membungkus kepura- puraan yang tentunya memiliki tujuan akhir.
Berkaitan erat dengan public speaking, bila mengacu pada Webster’s Third New International Dictionary, maka dua hal yang dominan. Yakni, the act of prosess of making speeches in public (proses memberikan pidato di depan publik) dan the art of science of effective oralcommunication with an audience (seni dari ilmu berkomunikasi lisan yang efektif bersama para pendengarnya).
Bila berpegang pada dua hal tersebut di atas, maka, apa yang selama ini telah ditampilkan oleh Ahok, praktis menabrak seluruh pakem ilmu komunikasi. Ia biasa mengucap lo dan gue di berbagai kesempatan. Hal ini jelas tabu bagi kebanyakan pejabat publik yang biasa menggunakan kosa kata saya, serta anda, untuk menunjuk lawan bicaranya. Bukannya ia tak mampu menampilkan dirinya sebagai figur yang berpura- pura santun, namun sepertinya ia memang “bodoh” dalam ilmu pura- pura.
Meski Ahok sebenarnya membutuhkan kehadiranseorang konsultan public speaking untuk memolesnya agar tampil manis dan memikat, tapi saya tak akan menyarankannya.Sebab, bila Ahok berpenampilan beda, maka ia akan kehilangan jati dirinya yang asli. Begitu pun masyarakat pasti memberikan penilaian negatif bahwa Ahok sudah membungkus keberadaannya dengan kosmetik kepura- puraan.
Memelihara “Kebodohan”
Stigma Ahok sebagai orang yang semau gue, keras kepala, galak, gampang mengeluarkan sumpah serapah, di mata saya merupakan suatu nilai plus bagi dirinya. Ia ogah menjadi blungkon yang mampu merubah penampilannya dalam sekejab mata, ia tak mau menjadi pemain sinetron dan ia enggan tampil sebagai artis penghibur yang penuh etika bicara.
Dengan dukungan bahasa tubuh (body language) berpadu dengan public speaking yang asal- asalan, saya menilai Ahok sengaja memelihara “kebodohannya”. Sebab, dengan bermodal “kebodohan” untuk bersikap munafik itu, diakui atau tidak, sosoknya seperti mata air bagi pemburu berita. Sebagai sumber berita, nyaris tak pernah kering untuk jadi bahan liputan.
Lihat saja di berbagai media (baik cetak mau pun elektronik), Ahok satu- satunya Gubernur di Indonesia yang mampu menjadi magnet liputan dengan level berita nasional. Bahkan, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang sebelumnya sama- sama berada di DPR RI, nyaris tak ada gaungnya dibanding Ahok. Padahal, Ganjar di depan siapa pun selalu mengemas tampilannya dengan penuh kesantunan serta menjunjung tinggi etika.
Terlepas dari suka dan tidak suka, Ahok memang fenomenal. Terlebih lagi bagi rakyat di Republik ini yang mampu berfikir jernih, ia menjadi sosok yang mampu membangun fondasi transparansi anggaran dan martir perubahan yang bukan sekedar mengumbar retorika belaka. Kalau toh ada segelintir orang yang naifnya menanyakan apa keberhasilan Ahok selama menjadi Gubernur ? Mohon maaf, saya menganggap yang bersangkutan ikutan sengaja memelihara kebodohan dengan mengukur tingkat keberhasilan seseorang secara mikro.
Sebab, apa yang dibangun Ahok saat ini, 5 atau 10 tahun mendatang akan sangat dirasakan oleh bangsa ini. Carut marut birokrasi yang sarat aksi kong kalikong untuk menggerus duit rakyat, di masa mendatang akan mampu diminimalisir. Pertanyaannya, siapa arsitek dari semua itu ? Jawabnya sederhana, kalau bukan Ahok yang “bodoh” itu, lantas siapa lagi ? Biar saja seperti itu, esensinya dirinya bakal membawa perubahan di semua lini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H