Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapitalisme Melanda Pasar Tradisional Salatiga

22 Desember 2014   22:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:41 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang kapitalisme hanya merangsek di kota- kota besar ? Di Kota Salatiga,Jawa Tengah, sejak tahun 90an para pemilik modal sudah bercokol di pasar- pasar tradisional. Dampaknya, sentuhan tangan investor tersebut berakibat pada bangkrutnya pedagang kecil.

Sejak tahun 1995, para pemangku kebijakan di kota kecil ini selalu ngotot menyerahkan asetnya untuk dikelola Investor. Kendati hasilnya tidak pernah menggembirakan, bahkan sangat mengecewakan, namun istilah kata Jera tak pernah dikenal oleh mereka. “ Entah apa motivasi kepala daerah di Salatiga, sejak orde baru masih Berjaya, hasrat menyerahkan pasar tradisional ke investor sepertinya selalu menggebu,” kata Rukimin (55) pedagang yang mangkal di pasar Rejosari dengan didampingi puluhan rekannya Senin (22/12).

Berawal di tahun 1990 an, pihak swasta membangun lahan bekas Gedung Balai Prajurit Makutarama yang terletak di pusat kota, yakni Jalan Jendral Sudirman Kota Salatiga. Masih dengan konsep pertokoan modern berlantai II, pada awal pendiriannya dilengkapi dengan sarana hiburan bioskop berlabel Atrium.

Sempat eksis hampir 5 tahun, seiring dengan semakin berjubelnya cakram DVD bajakan, pelan tapi pasti, bioskop Atrium gulung layar. Bangkrutnya bioskop Atrium, tak pelak berimbas pada kompleks pertokoanada di sekelilingnya. Hanya makan waktu 1 tahun, pedagang yang sebelumnya membuka usaha di lantai I mau pun II meninggalkan lokasi tersebut.

Bagian dalam kompleks Atrium, kosong tak berpenghuni

1419236923836981570
1419236923836981570
Pedagang kabur meninggalkan kiosnya karena sepi pembeli

Rupanya konsep pembangunan kompleks Atrium membuat Walikota Salatiga (saat itu) Drs Indro Suparno “kesengsem”. Entah dengan pertimbangan apa, ia membuka pintu sangat lebar atas nama kapitalisme. Tahun 1995, Indro yang berasal dari Surakarta, menggandeng PT Matahari Mas Sejahtera asal Surakarta untuk menggarap dua pasar tradisional yang terletak di tengah kota, yakni pasar Lama dan pasar Berdikari.

Pasar Lama dibangun menjadi pasar berlantai II dan disebut dengan nama Pasar Raya I, dimanfaatkan oleh sekitar 1000 pedagang tradisional, nyaris tak bermasalah. Sebaliknya, Pasar Berdikari yang dibangun berlantai VI, ternyata menuai problem. Pedagang hanya mau berdagang di lantai dasar serta lantai I, sedang lantai II ke atas sengaja dihindari karena sepinya melebihi kuburan.

14192370121366808658
14192370121366808658
Wajah Pasar Raya II nampak gagah

14192370761485521365
14192370761485521365
Bagian dalam Pasar Raya II,dari lantai II sampai VI kosong melompong

Tak Cuma lantai II hingga VI yang terbengkelai, lahan di selatan Pasar Raya yang luasnya mencapai sekitar 1000 an M2 juga dibiarkan mangkrak. Lantas apa tindakan pemeintah kota (Pemkot) Salatiga dalam menangani masalah ini ?Tidak ada. Persoalannya, hak pengelolaan lahan itu masa kontraknya belum usai. Hak guna bangunan sesuai kesepakatan adalah 25 tahun, artinya tahun 2020 baru usai.

Hingga 2008 saat kursi Walikota dijabat oleh John Manuel Manoppo SH, nampaknya John memiliki visi yang sama dengan Indro Suparno. Masih di pusat kota, tepatnya di Jalan Pahlawan, ia menggusur pertokoan Hasil yang hak guna bangunannya habis. Didukung dana APBD, dibangunlah kompleks pertokoan berlantai II.

Niat John sebenarnya bagus, sayang eksekusinya buruk. Ia berkeinginan gar para pedagang kaki lima (PKL) yang memadati Jalan Pahlawan bisa direlokasi ke kompleks pertokoan eks Hasil itu. Tapi, PKL menolaknya. Akibat penolakan tersebut, hanya dalam hitungan bulan lantai II kosong melompong. Los yang harusnya bisa dimanfaatkan sekitar 100 pedagang, sepi tak berpenghuni.

14192372221306124407
14192372221306124407
Wajah depan pertokoan eks Hasil berlantai II

14192372751973103579
14192372751973103579
Bagian lantai II pertokoan eks Hasil kosong tak berpenghuni

Masih di tahun 2008, hoby membangun pasar bertingkat kembali terulang. Saat itu, giliran Pasar Jetis yang terletak di Jalan protokol (Jalan Wahid Hasyim & Jalan Imam Bonjol) yang menjadi korban. Pasar yang menjadi lahan kehidupan sekitar 150 pedagang ini diserahkan kepada CV Bhakti Muda Ungaran untuk dikelola selama 25 tahun.

14192373561735826317
14192373561735826317
Pasar Jetis, lantai II mangkrak hingga sekarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun