Siapa bilang kapitalisme hanya merangsek di kota- kota besar ? Di Kota Salatiga,Jawa Tengah, sejak tahun 90an para pemilik modal sudah bercokol di pasar- pasar tradisional. Dampaknya, sentuhan tangan investor tersebut berakibat pada bangkrutnya pedagang kecil.
Sejak tahun 1995, para pemangku kebijakan di kota kecil ini selalu ngotot menyerahkan asetnya untuk dikelola Investor. Kendati hasilnya tidak pernah menggembirakan, bahkan sangat mengecewakan, namun istilah kata Jera tak pernah dikenal oleh mereka. “ Entah apa motivasi kepala daerah di Salatiga, sejak orde baru masih Berjaya, hasrat menyerahkan pasar tradisional ke investor sepertinya selalu menggebu,” kata Rukimin (55) pedagang yang mangkal di pasar Rejosari dengan didampingi puluhan rekannya Senin (22/12).
Berawal di tahun 1990 an, pihak swasta membangun lahan bekas Gedung Balai Prajurit Makutarama yang terletak di pusat kota, yakni Jalan Jendral Sudirman Kota Salatiga. Masih dengan konsep pertokoan modern berlantai II, pada awal pendiriannya dilengkapi dengan sarana hiburan bioskop berlabel Atrium.
Sempat eksis hampir 5 tahun, seiring dengan semakin berjubelnya cakram DVD bajakan, pelan tapi pasti, bioskop Atrium gulung layar. Bangkrutnya bioskop Atrium, tak pelak berimbas pada kompleks pertokoanada di sekelilingnya. Hanya makan waktu 1 tahun, pedagang yang sebelumnya membuka usaha di lantai I mau pun II meninggalkan lokasi tersebut.
Bagian dalam kompleks Atrium, kosong tak berpenghuni
Rupanya konsep pembangunan kompleks Atrium membuat Walikota Salatiga (saat itu) Drs Indro Suparno “kesengsem”. Entah dengan pertimbangan apa, ia membuka pintu sangat lebar atas nama kapitalisme. Tahun 1995, Indro yang berasal dari Surakarta, menggandeng PT Matahari Mas Sejahtera asal Surakarta untuk menggarap dua pasar tradisional yang terletak di tengah kota, yakni pasar Lama dan pasar Berdikari.
Pasar Lama dibangun menjadi pasar berlantai II dan disebut dengan nama Pasar Raya I, dimanfaatkan oleh sekitar 1000 pedagang tradisional, nyaris tak bermasalah. Sebaliknya, Pasar Berdikari yang dibangun berlantai VI, ternyata menuai problem. Pedagang hanya mau berdagang di lantai dasar serta lantai I, sedang lantai II ke atas sengaja dihindari karena sepinya melebihi kuburan.
Tak Cuma lantai II hingga VI yang terbengkelai, lahan di selatan Pasar Raya yang luasnya mencapai sekitar 1000 an M2 juga dibiarkan mangkrak. Lantas apa tindakan pemeintah kota (Pemkot) Salatiga dalam menangani masalah ini ?Tidak ada. Persoalannya, hak pengelolaan lahan itu masa kontraknya belum usai. Hak guna bangunan sesuai kesepakatan adalah 25 tahun, artinya tahun 2020 baru usai.
Hingga 2008 saat kursi Walikota dijabat oleh John Manuel Manoppo SH, nampaknya John memiliki visi yang sama dengan Indro Suparno. Masih di pusat kota, tepatnya di Jalan Pahlawan, ia menggusur pertokoan Hasil yang hak guna bangunannya habis. Didukung dana APBD, dibangunlah kompleks pertokoan berlantai II.
Niat John sebenarnya bagus, sayang eksekusinya buruk. Ia berkeinginan gar para pedagang kaki lima (PKL) yang memadati Jalan Pahlawan bisa direlokasi ke kompleks pertokoan eks Hasil itu. Tapi, PKL menolaknya. Akibat penolakan tersebut, hanya dalam hitungan bulan lantai II kosong melompong. Los yang harusnya bisa dimanfaatkan sekitar 100 pedagang, sepi tak berpenghuni.
Masih di tahun 2008, hoby membangun pasar bertingkat kembali terulang. Saat itu, giliran Pasar Jetis yang terletak di Jalan protokol (Jalan Wahid Hasyim & Jalan Imam Bonjol) yang menjadi korban. Pasar yang menjadi lahan kehidupan sekitar 150 pedagang ini diserahkan kepada CV Bhakti Muda Ungaran untuk dikelola selama 25 tahun.
Belakangan CVB Bhakti Muda selaku investor kelimpungan, brankas perusaan ludes dan berimplikasi pada mangkraknya proses pembangunan pasar berdesain lantai II. Saat lantai dasar sudah mulai difungsikan, pedagang lama yang mampu membelinya hanya berjumlah 50 an orang. Selebihnya, bangkrut.
Yang paling gres adalah kepemimpinan Walikota Salatiga Yulianto SE MM. Mantan anggota dewan dari partai gurem ini ngotot menyerahkan asset Pasar Rejosari kepada Investor PT Patra Berkah Itqoni (PBI) dari Malang, Jawa Timur. Nilai investasi yang akan dibenamkan, lumayan besar, yakni Rp 59 milyar.Seperti para pendahulunya, ia berdalih bahwa APBD Kota yang dipimpinnya tidak memiliki cukup dana untuk membangun pasar tradisional tersebut.
Dalih yang dikemukakan pak Wali tak mengada- ada, tapi juga tak sepenuhnya benar. Kota Salatiga yang hanya mempunyai wilayah empat kecamatan, total APBDnya mencapai Rp 600 – 700 milyar. Yang membuat masyarakat tergeran- heran,SILPA tahun 2011 Rp 90 milyar,tahun 2012 Rp 120 milyar, tahun 2013 Rp 193 milyar dari total APBD Rp 600 milyar. Padahal 55 persen untuk belanja rutin dengan asumsi senilai Rp 330 milyar.Dan yang paling akhir tahun 2014 SILPA diperkirakan mencapai tembus diatas Rp 200 milyar.
“ Melihat SILPA sampai ratusan milyar, kalau dibilang tak ada dana untuk membangun Pasar Rejosari apa itu bukan pembohongan publik ?” tandas Rukimin gregetan.
Rukimin yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Pasar rejosari (P3R) Kota Salatiga, sebenarnya merupakan warga yang baik. Ia tak pernah melanggar hukum dan selalu taat dengan peraturan. Tetapi, melihat kondisi keuangan Pemkot Salatiga, ditambah adanya unsure rekayasa proses revitalisasi pasar, akhirnya ia meradang. Didukung sekitar 250 an pedagang, mereka terus melakukan perlawanan(baca : http://politik.kompasiana.com/2014/12/07/duhsusahnya-menagih-janji-presiden-joko-wi-708960.html ).
P3R boleh- boleh saja melawan, sedang di pihak investor memiliki paradigm tersendiri. Dengan biaya berdagang Rp 9 juta/ M2 untuk los serta Rp 13 juta/M2 bagi pedagang kios, Investor menilai lokasi Pasar Rejosari sangat strategis sehingga bila dibangun menjadi Pasar Modern, dipastikan mampu mengundang konsumen dari luar kota untuk berwisata belanja. “ Itu namanya paradigma ngawur dan sangat tidak masuk akal. Sebab, ketika Jalan Lingkar Selatan difungsikan, ternyata arus lalu lintas yang melewati Pasar Rejosari berkurang hampir 50 %. Trus pembeli dari mana yang akan datang ? Dari Hongkong ? “ tukas Rukimin dengan mimik serius.
Menurut Rukimin, dari sekitar 400 pedagang di Pasar Rejosari, bila nantinya tetap dipaksakan menjadi Pasar modern berlantai III, maka 70 hingga 80 % pedagang akan mengalami kebangkrutan. Bila hal tersebut terjadi, lantas siapa yang paling dirugikan ?
“ Yang dirugikan ya kami- kami ini. Namanya saja pedagang gurem, kalau suruh membayar los Rp 9 juta / meter 2 dan kios Rp 13 juta/ meter 2, uang dari mana ? Wong sehari bisa untung Rp 20.000,00 saja sudah sangat disyukuri kok suruh bayar puluhan juta,” ujarnya menutup pembincaraan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H