Mohon tunggu...
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Profesional Food and Beverages Business

Adalah penulis cerpen dan profesional di dunia restoran. Pernah bekerja di pelbagai industri restoran berskala nasional dan multinasional

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Catatan Bagian Pertama: Hadiah Ulang Tahun, Terpapar Covid-19

22 Maret 2021   19:47 Diperbarui: 24 Maret 2021   03:09 3097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

05 Maret 2021

Adalah hari ulang tahunku yang ke-51, semestinya mendapat kado istimewa. Namun di saat itulah aku mendapatkan sesuatu yang sangat istimewa dua hari kemudian.

Aku merasakan gejala yang sangat tidak enak di tubuhku, aku merasa cepat lelah, napas pendek, melakukan aktivitas jalan kaki saja langsung ngos-ngosan, badan terasa pegal-pegal, dan ketika lepas magrib aku merasakan demam yang tidak biasa. 

Rasanya panas di dalam tubuh seperti api yang menjalari sekujur tubuhku, tetapi terasa sangat dingin di kulit tubuh ketika aku menyentuh air untuk wudhu atau mandi. Aku pikir ini gejala flu biasa, maka kutelan sebutir parasetamol dan menenggak tolak angin. Malam itu tidurku tidak nyenyak, karena tubuhku rasanya tidak keru-keruan.

Demam yang terjadi membuat aku selalu terjaga, berkeringat dingin, dan tenggorokan terasa kering. Alhasil ketika bangun pagi, badan dan perasaanku berantakan.

06 Maret 2021

dokpri
dokpri
Selepas sarapan, aku paksakan diri untuk mandi. Istriku menjerang air panas untuk kugunakan mandi. Meski menggunakan air hangat, tatkala air itu menyentuh kulit rasanya seperti dicubiti dingin. Untuk mengalihkan rasa tak nyaman, aku dan istriku memutuskan keluar apartemen jalan-jalan untuk sekadar mencari angin dan makan siang di kawasan Tebet.

Sore pun tiba, meski sudah meminum parasetamol, obat batuk, tolak angin, dan madu kondisi demam tidak sedikit pun berubah. Sekujur tubuh menggigil keras ketika mengambil air wudhu untuk salat magrib. Melihat kondisi ini, aku dan istriku bersepakat; kita harus ke IGD Rumah Sakit Siloam Asri di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Rumah sakit ini cukup dekat dari tempat tinggal kami di kawasan Kalibata City.

Pukul 18.45 Wib, sesampai di RS Siloam Asri, aku bergegas ke IGD untuk melapor, dan istriku ke bagian registrasi pasien di bagian depan pintu masuk utama (lebih tepat di bagian teras) rumah sakit. Memang sejak pandemi, rumah sakit ini memindahkan loket registrasi pasien gawat darurat di bagian teras rumah sakit.

Aku diminta menunggu di beranda IGD rumah sakit. Beberapa saat kemudian dokter jaga datang, dokter Muhammad Nada Permana, dokter yang tampak masih muda, dan ia meminta aku masuk ke ruangan semi permanen yang dijadikan tempat konsultasi dokter dengan pasien sekaligus tempat observasi. 

Singkat cerita dokter memeriksa tensiku, saturasi, dan detak jantung. Dokter memintaku menjelaskan gejala apa yang kualami. Lantas dari uraianku itu dokter langsung memutuskan aku harus melakukan pemeriksaan darah (test hematology) dan swab test. Swab test-nya PCR (Polymerase Chain Reaction), bukan antigen apalagi rapid test antibody. Harus PCR.

“Akurasi PCR lebih tinggi dan mampu mendeteksi virus meskipun sedikit,” begitu penjelasan dokter ketika kutanya kenapa tidak antigen saja yang notabene harganya jauh lebih murah

Pemeriksaan darah dan swab PCR disepakati, aku menandatangani biaya yang tertera di formulir persetujuan. Test darah Rp 280.000 dan Swab PCR Rp 1.400.000.

Lantas seorang perawat ditugaskan untuk mengambil darahku. Beres itu aku menunggu giliran di-swab.

Terus terang sejak pandemi Covid-19 di awal Maret tahun 2020 hingga 5 Maret 2021, aku tidak pernah melakukan: apakah itu rapid test antibody, swab antigen, ataupun PCR. Aku selalu mengandalkan menjalankan protokol kesehatan secara ketat, dan dari hasil swab antigen istriku yang memang rutin dilakukan oleh kantornya.

Apabila hasil rapid test dan swab antigen istriku non reaktif dan negatif, aku anggap itulah kondisiku. Namun dengan gejala demam yang asing seperti ini, kupikir swab PCR adalah langkah terbaik.

Setelah menunggu aku dipersilakan masuk ke sebuah bilik semi permanen yang berdiri di area parkir rumah sakit. Seorang petugas telah menunggu, ia memintaku untuk rileks saat alat test yang bentuknya seperti cotton buds panjang itu mulai dimasukkan ke lubang hidungku, kanan dan kiri. Rasanya tidak sakit atau perih, bahkan aku merasakan geli sehingga aku hampir saja bersin.

Selesai di-swab, aku diminta menunggu hasil test darah dan berkonsultasi lagi dengan dokter. Hasil pemeriksaan laboratorium untuk darah keluar. Aku dipanggil lagi ke ruangan konsultasi dokter.

Test hematology menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Lymphocyte rendah hanya 19 (normal 20-40), Monocyte tinggi 15 (normal 2-8), dan Rasio N/L tinggi 3,32 (normal di bawah 3,13).

dokpri
dokpri
“Dari hasil cek darah memang terindikasi bahwa ada virus dalam tubuh Bapak,” demikian dokter menjelaskan. “Namun jenis virusnya apa, kita tunggu hasil swab paling cepat besok, hari Sabtu,” ujar dokter melanjutkan.

Kemudian dokter meminta aku dan istriku untuk pisah ranjang sementara waktu dan tetap memakai masker meski di rumah. Dokter pun memberikan resep obat yang harus kuminum; ada obat batuk, obat antivirus, obat demam, dan vitamin dosis tinggi.

Selesai urusan administrasi kami langsung pulang, dan sama-sama berharap: semoga hasil swab PCR-ku negatif. Malam itu tidurku lagi-lagi tidak nyenyak akibat rasa demam yang asing, ganjil dan tidak biasa.

07 Maret 2021

Bangun tidur masih dengan perasaan tak keruan. Demam, badan pegal-pegal seperti remuk redam, dan mulai batuk-batuk kering. Kupaksakan sarapan untuk minum obat.

Karena memang aku dan istri berharap aku hanya mengalami flu biasa, saat siang tiba kami makan siang di mal di kawasan apartemen, kelak dokter menasihatiku apabila sudah mengalami gejala demam seperti itu seharusnya tidak boleh keluar rumah alias melakukan isolasi.

Selesai makan siang, aku habiskan waktu nonton TV sambil tiduran. Tentu sambil berharap pihak rumah sakit mengabarkan suatu kabar baik dari hasil swab PCR-ku.

Disebabkan aku sempat tertidur, sekitar sore hari menjelang ashar sebenarnya ada telepon masuk dan tak terjawab, namun ketika aku telepon balik nomor tersebut tidak terdaftar. Aku pikir, biasanya itu dari kantor asuransi yang meski hari minggu sering menelepon untuk menawarkan produk asuransi.

Ponselku bergetar pada pukul 20.33 Wib dari nomor yang tak terjawab tadi. Buru-buru aku angkat dan mengucapkan salam. Suara seorang perempuan menjawab salam dan memperkenalkan diri sebagai Ibu Tiur dari laboratorium rumah sakit Siloam Asri.

Setelah berbasa-basi ia berkata, “Bapak, dari hasil swab PCR, Bapak positif Covid-19!”

Deg!

Aku langsung mengaktifkan speaker ponsel agar istriku mendengar percakapan kami.

“Apakah hasilnya mau diambil malam ini, besok pagi, atau mau diemail saja?” tanyanya.

Aku minta hasil swab tersebut di-email ke alamat surelku.

Aku menutup telepon.

Saat berbicara dengan Ibu Tiur tadi, aku sempat bertanya apa yang harus aku lakukan? Ia menjawab: Jangan panik, lakukan isolasi mandiri, lalu ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis paru, dan biasanya akan dirontgen untuk melihat apakah ada flek di paru-paruku. Langkah itu untuk menentukan apakah aku bergejala ringan, sedang, atau berat.

Sebuah email dari laboratorium rumah sakit Siloam Asri masuk.

Karena sudah tahu hasilnya positif, aku tidak begitu antusias membukanya. Namun tetap kubuka, tertera di lampiran surel itu hasil test Immunology/Serology PCR SARS COV-2: Positive, CT Value Gen N: 18,92 dan CT Value Gen ORFlab: 18,74. Huuufftt!

dokpri
dokpri
Malam itu juga terjadi kehebohan.

Istriku menelepon kantornya mengabarkan bahwa aku positif Covid-19. Dari pihak gugus tugas kantor istriku meminta ia harus datang besok pagi (hari Senin, 08 Maret 2021) untuk melakukan swab test di laboratorium perusahaannya di daerah Matraman, Jakarta Timur.

Aku sibuk menelepon beberapa teman yang pernah terpapar Covid-19 dan sudah sembuh, juga yang masih melakukan isolasi mandiri di sebuah hotel.

Yang kuhubungi pertama adalah Khrisna Pabichara karena ia sebagai penyintas Covid-19. Khrisna menjawab WhatsApp, meminta waktu 30 menit lagi bisa ditelepon karena ada pekerjaan dan deadline.

Lantas aku menelepon Mas Rudy Octave, ia sedang menjalani isolasi mandiri di sebuah hotel di Jakarta. Kami berbagi cerita. Karena memang saya dan Mas Rudy sempat bertemu dalam sebuah wawancara tentang perkembangan kafe di Indonesia pada 22 Februari 2021 lalu untuk konten vlog-nya.

Kelak setelah hari ke-5 ia isolasi mandiri di hotel, Mas Rudy akhirnya dirujuk ke sebuah rumah sakit di BSD Tangerang, karena paru-parunya terserang pneumonia.

Selesai telepon Mas Rudy, aku langsung telepon Khrisna. Ia memulai percakapan dengan nasihat, “Jangan panik, tetap tenang, Mas. Covid tidak akan membunuhmu!”. Aku agak terhibur dengan kalimat lugas itu.

Khrisna pun menceritakan tentang gugus tugas Covid-19 yang telah ada di masing-masing kelurahan, aku disarankan untuk menghubungi mereka agar mendapatkan penanganan yang tepat untuk perawatan atau hanya sekadar isolasi mandiri di rumah.

Khrisna sempat cerita bahwa ia dan istrinya dirawat di salah satu rumah sakit di Depok karena gejala yang ia alami cukup berat.

Usai bicara soal Covid-19, Khrisna sempat bercanda, “Saat terpapar Covid, saat yang tepat untuk produktif menulis, seperti yang saya lakukan, Mas.”

Aku hanya bisa tersenyum getir. Tidak terlintas rencana menulis di saat-saat baru saja mendapat kabar bahwa aku terinfeksi virus Covid-19.

Usai bertelepon dengan Khrisna, aku menelepon dokter Satya Hanura. Dokter Satya adalah dokter keluarga kami di Rumah Sakit Jakarta.

Aku mengabarkan aku positif Covid, dan beliau berpesan agar besok mendatangi fasilitas kesehatan untuk tindak lanjut dan mengetahui apakah cukup melakukan isolasi mandiri di rumah atau harus di rumah sakit.

“Tenang saja, Covid bisa disembuhkan, satu sampai dua minggu isolasi mandiri dengan ketat dan disiplin pasti akan sembuh,” begitu dokter Satya memberiku rasa tenang.

Malam itu juga, aku mengambil koper, membersihkannya dan melakukan packing sebagai bagian persiapan untuk esok hari apabila aku harus isolasi mandiri atau perawatan di rumah sakit atau di tempat lain, hotel atau Wisma Atlet misalnya.

Tentu saja malam itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak, menyadari bahwa ternyata telah bersarang virus Corona alias Covid-19 di tubuhku. Virus itu berhasil menyerang jantung pertahanan imunitas tubuhku setelah satu tahun aku berusaha memproteksinya dengan menjalan protokol kesehatan yang cukup ketat. Akhirnya kebobolan juga.

Terus terang aku teramat kecewa. Kecewa mendapat kado ulang tahun yang tak diinginkan. Tapi mau apalagi? ***

Bersambung ke bagian ke-2 (Di Wisma Atlet), segera tayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun