Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK & Koruptor Versi Jagat Komedian

8 April 2016   12:18 Diperbarui: 8 April 2016   12:53 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Komedian pada gambar miring, banyolannya kadang pedas namun bernas ft Agunh Jagal"][/caption] Mengutip idiom Cak Lontong komedian asal Jawa Timur, negara ini tidak akan bangkrut gara-gara mengurusi 27 juta orang miskin. Dalam konteks lawakan Cak Lontong, secara eksplisit orang miskin dejure dilindungi undang-undang. Kesimpulan, menjadi masuk akal, bahwa memberantas orang miskin adalah tindakan yang salah, karena bertentangan dengan UUD 1945.

 Masih menurut Cak Lontong, negara ini akan hancur kalau di dalamnya ada 10 koruptor. Sebab itu, kata dia, jumlah koruptor tidak boleh lebih dari 9 orang.

Cak Lontong menggelindingkan banyolan ringan tetapi serius. Logika pelawak yang gemar memainkan kata ini, menampilkan dunia kasunyatan, bahwa koruptor itu tidak akan pernah hilang, atau dihilangkan dengan cara apa pun. Kalau koruptor itu bisa hilang atau dihilangkan, setidaknya ada 5 orang komisioner KPK bakal menjadi penganggur.

 Mengapa koruptor tidak bisa hilang? Menjawab hal yang satu ini orang musti tahu perbedaan mendasar antara orang miskin dengan koruptor.

 Saya yakin haqul yakin, orang miskin itu tidak akan pernah takut kalau dia jatuh miskin. Apa yang musti ditakutkan, orang dia dasarnya sudah miskin.

Tabiat, karaker dan perilku orang miskin itu ibarat air. Dia mengalir mencari tempat yang rendah  muaranya ada di laut biru.

Koruptor berbeda, meski dia hidup dan mencari penhidupan dari orang miskin, kelakunya seperti ikan air tawar. Dia tidak mau mengalir, dia mencari mangsa dengan cara melawan arus. Air mengalir ke tempat yang rendah, ikan bergerak sebaliknya.

Orang miskin, di Indonesia dipelihara oleh negara, sementara koruptor dimusuhi negara. Konsekuensi logis, memberantas orang miskin berarti bertentangan dengan kemauan negara. Orang miskin tidak selayaknya diberantas.

Dalam konteks sosial ekonomi, orang miskin perlu desejahterakan. Ini pesan tersurat dan tersirat UUD 1945. Tetapi sekuat apapun upaya negara, boleh jadi orang miskin itu merasa sejahtera justru dalam status kemiskinannya.

Sisi lain, orang miskin pasti takut kaya. Mereka takut memperoleh predlkat 'kere munggah bale'. Selama ini yang munggah bale itu hanya aparat desa. Masih di tepi jalan, sebelum munggah bale, rombongan kere itu  sudah diuber-uber Satpol PP, digaruk dan diserahkan ke Dinas Sosial. Lagi pula para kere takut diminta melaporkan harta kekayaan.

Sebaliknya, koruptor itu pobi banget kalau dirinya jatuh miskin alias jadi kere. Itu sebabnya mereka berusaha keras untuk selalu menambah kekayaan dengan segala cara, mulai dari korupsi, mencuci uang, sampai merampas hak anak yatim, atau jual beli perda dan yang lain.

Di kalangan koruptor, ketakutan pada sesuatu yang semestinya ditakuti, telah tergadai ludes. Teriganti dengan sejumlah materi yang ditawarkan para iblis. Dan rata-rata dagangan para jajalanat ini adalah kuliner pilihan.

KPK, menghadapi koruptor pasti sampai lelah. Penjara dan hukuman mati, tak akan menghentikan langkah para koruptor.

Ada yang salah di negeri ini? Tentu, tetapi sebagian besar warga negara terlanjur menolak solusi. Menyalakan cahaya di dalam dada tanpa menyulut api dianggap takhayul, bahkan itu dianggap sekedar cerita untuk menina bobokan anak sebelum tidur. Sementara menyalakan cahaya di hati itu bukan sekedar kemauan pribadi, melainkan kemauan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun