[caption caption="Duo Presiden dengan Nawa yang berbeda. repro bewe"][/caption]
Saya melihat, Jokowi itu 'nyentrik'. Kelakar politik serta gagasannya serba mengejutkan. Pihak yang bersebarangan sudah pasti mencibir dan memperolok, tetapi bagi para pengikut setia menjadi inspirasi untuk acungkan jempol.
Detik-detik tumbangnya Presiden Pertama Soekarno, Jokowi manfaatkan untuk membius ratusan juta calon pemilih pada pilpres 9 Juli 2014 silam.
Kelincahan berfikir Jokowi, terlepas itu karena dibujuk atau memang dia itu cerdas, meng-epigon Nawaksara Bung Karno. Saya menghindari istilah plagiat, karena Nawacita tidak sama dengan Nawaksara.
Perbedaan paling mendasar, Nawaksara itu merupakan sebuah titik balik atau detik-detik runtuhnya kekuasaa Soekarno.
Nawaksara, adalah pidato pertanggungjawabab Presiden Soekarno terkait dengan peristiwa G-30-S di depan MPRS. Soekarno 22 Juni 1966 membaca Nawaksara dengan gaya oratornya yang khas menggeledek serta menggebu.
Naif, Nawaksara yang diperbaiki dan dipidatokan ulang pada 10 Januari 1967 ditolak MPRS tanggal 16 Januari tahun yang sama. Dan habislah kekuasaan Soekarno.
Nawacita, meski tidak secara formal dibacakan pada 20 Oktober 2014, saat Jokowi dilantik MPR menjadi Presiden RI Ketuju, tetapi secara implisit terkandung di dalam pidato politik Di bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi.
Lalu, di mana letak nyentriknya Jokowi? Dia lihai memetik istilah. Supaya ada aroma sedikit heroik dan berejarah secara sengaja dia ambil kata Nawa (sembilan) untuk program yang akan dijalankan selama 5 tahun menjabat Presiden.
Nawacita, merupakan prolog atau pintu gerbang untuk membangun. Sementara Nawaksara merupakan sebuah epilog, atau sad-ending kekuasaan yang menggelisahkan bahkan menyedihkan.
Itu yang sempat saya tangkap dan amati. Jokowi, meski bukan pewaris, dia mewarisi heroisme Bung Karno. Salam dua presiden.