Seminggu tepat saya berada di Samarinda. Saat saya memesan transportasi daring (mobil) dengan tujuan bandara, di aplikasi terlihat wajah seorang ibu. Ia tidak mengirimkan chat seperti umumnya, tetapi mobilnya terlihat bergerak menuju titik penjemputan.
Saya putuskan untuk menunggu meskipun ada pikiran jangan-jangan nanti yang nyetir bukan perempuan. Akunnya menggunakan profil istrinya. Apalagi tujuan bandara termasuk jauh dan melewati jalan raya Samarinda-Bontang.
Daihatsu Sigra yang ditunggu, tetapi yang datang ternyata Avanza berkelir hitam. Seorang ibu berkerudung keluar dari mobil dan memastikan saya penumpangnya.Â
Karena bepergian dengan keluarga, bawaan pun lumayan banyak. Tidak tega saya tentu meminta si ibu memasukkan koper satu per satu ke bagasi mobil. Bagasinya ditutupi karton bekas dus. Aroma mobil baru menyeruak.Â
"Wah, mobilnya baru, Bu?" tanya saya berbasa-basi setelah duduk di jok depan.
"Oh, iya saya ganti, Pak. Cuma platnya belum jadi. Nomornya belum bisa saya masukkan aplikasi."
"Sudah lama jadi sopir online, Bu?"
"Sudah tiga tahun, Pak. Suami sudah tidak ada."
Saya kira berikut rasa apresiasi, itu potret lazim kini ketika kaum ibu yang turun tangan membanting tulang demi menghidupi keluarganya. Tidak ingin saya bertanya lebih jauh tentang suaminya yang sudah tidak ada. Hanya sempat mengungkit tentang anaknya.Â
Saya pun teringat novel terbaru Kang Maman Suherman terbitan Grasindo: ... dan Janda itu Ibuku.Â
Perjalanan dari Kota Samarinda ke Bandara Pranoto setidaknya ditempuh dalam waktu 40 menit. Kontur jalannya berkelok sedikit dan naik turun. Si ibu lihai juga membawa mobil barunya meskipun kadang-kadang saya khawatir cara dia menyeimbangkan kopling dan gas di jalan menanjak. Khawatir mobil barunya itu bakal kurang awet barunya.
Fenomena Rakyat Banting Tulang
Di tempat saya lahir dan menghabiskan masa kecil, Tebing Tinggi Deli, Sumatera Utara, istilah ojek tidak dikenal. Masyarakat Sumut, termasuk juga Aceh, pada era 1980-an lebih sering menyebut mereka yang menjadi ojek pangkalan dengan singkatan RBT. Kepanjangannya rakyat banting tulang. Istilah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan transportasi.
Semasa kecil, sempat juga saya bertanya-tanya dalam hati mengapa disebut RBT? Mungkin pekerjaan sebagai ojek itu menunjukkan kerasnya kehidupan sehingga pilihan menjadi RBT merupakan pilihan terakhir.Â
Saya sendiri hampir tak pernah naik RBT. Di Tebing Tinggi, RBT kerap ada di mulut jalan menuju perumahan di perkebunan karet/sawit yang relatif sepi. Memang tidak ada alat transportasi umum di sana.Â
Transportasi masyarakat yang paling umum digunakan adalah becak dayung (sepeda) atau becak mesin (motor). Cuma mengapa tukang becak tidak dikategorikan juga rakyat banting tulang? Tukang becak sudah biasa, tetapi rakyat yang punya sepeda motor terus ngojek, mungkin dianggap tidak biasa.
Para RBT itu dalam istilah saat ini tergolong masyarakat rentan---kelas menengah yang menuju ke bawah. Mereka masih memiliki sepeda motor walaupun bukan kategori gres. Dulu saya ingat para RBT itu banyak menggunakan jenis motor antik Honda CB 100, bukan jenis GL Pro atau GL Max.
Menurut engkau apakah sebutan RBT itu berlebihan? Saya kira orang yang kali pertama memunculkan istilah itu menggunakan kritik sosial tentang fenomena masyarakat yang sulit mencari pekerjaan lalu memilih ngojek. Ia dapat dipandang sebagai istilah yang mengapresiasi para tukang ojek dan dapat pula dipandang sebagai sindiran sulitnya mencari pekerjaan.
Tidak terbayangkan bahwa fenomena rakyat banting tulang itu kemudian pas dengan apa yang terjadi pada dekade-dekade selanjutnya ketika rakyat berbondong-bondong bukan hanya banting tulang, melainkan banting setir menjadi ojek daring. Mereka yang tadinya bekerja kantoran, lebih memilih menjadi ojek daring.
Teknologi memungkinkan ojek menyebar bak serbuk sari yang ditiup angin. Lalu, mereka bersiaga 24 jam dengan panggilan melalui aplikasi. Mereka tidak lagi menunggu di tempat-tempat tertentu seperti mulut gang atau jalan-jalan sepi. Mereka menunggu di titik-titik peluang di mana ada orang yang bepergian.
Tren menjadi komika pada anak-anak muda kini juga memperlihatkan fenomena rakyat banting tulang. Bahkan, mungkin banting mic. Apaan tuh? Saya juga belum tahu maknanya apa. Penulis-penulis Kompasiana yang sedang hiatus mungkin sedang banting laptop.Â
Ketika Rakyat Ogah Banting Tulang
Rakyat ogah banting tulang (ROBT) juga fenomena sosial yang ada di sekeliling kita. Apakah ia identik dengan kemalasan? Mungkin ya, mungkin juga tidak karena boleh jadi ada latar sosial dan kesehatan mental sehingga seseorang tidak termotivasi untuk bekerja keras.Â
Menyebut seseorang itu pemalas sangatlah subjektif. Menyebut ia tidak enggan bekerja keras, mungkin karena alasan yang transparan. Ia sudah punya warisan dari konsensus tambang orang tuanya yang tak habis tujuh turunan. Orang tuanya mungkin masuk hotel prodeo, sedangkan ia dapat menikmati hidup sambil menonton rodeo di Montana atau Texas.
Jadi, memang perlu dilihat konteksnya ROBT itu. He-he-he.
Masyarakat yang tampak santai dalam bekerja belum tentu karena kemalasan atau ogah banting tulang. Di Kota Sabang dan Kota Malang ada tradisi orang-orang menutup toko pada siang hari dan tidur siang. Di beberapa negara seperti negara Mediterania juga ada tradisi seperti itu yang disebut siesta (istirahat siang).Â
Saya juga sering tidur siang. Ya, jelas saja marah kalau dianggap ogah banting tulang.
Apa yang patut diwaspadai pada ROBT adalah faktor kelemahan mental. ROBT yang selalu resah, gelisah, dan malu pada semut merah itu berbahaya. Mirip Obbie Messakh yang sedang menunggu pacarnya.Â
Resah kok bekerja gini-gini amat, ya? Gelisah, kapan ya pemerintah menggelontorkan lagi BLT atau bansos-bansos itu lagi? Malu karena tidak ikhlas turun kelas. ROBT yang memang hidupnya dipenuhi keluhan dari hari ke hari.
ROBT seperti itu boleh disebut rakyat dari golongan SDM rendah yang sangat membebani APBN. Karena itu, ROBT dengan kelemahan mental termasuk golongan masyarakat rentan godaan judol. Selain judol, ya termasuk pinjol. Di jidatnya perlu ditempeli stiker imbauan: Katakan TIDAK pada JUDOL! Apalagi jika ia seorang laki-laki.
***
Kita dapat belajar dari semangat rakyat banting tulang dan mengajarkannya kepada anak-anak kita. Sebagai orang tua dengan dua orang anak---satu Gen Z dan satu Gen Alfa---saya ingin menitipkan semangat rakyat membanting tulang kepada anak-anak saya. Biar mereka tahu sulitnya menghadapi tantangan rollercoaster kehidupan ke depan.
Saya tidak tahu apa yang terjadi jika PPN 12% benar-benar diberlakukan di tengah tahun 2025. Saya juga tidak tahu apa yang terjadi dengan dihapusnya presidential threshold pada 2029.
Anak-anak saya sudah melihat bagaimana saya membanting pena, mesin tik, dan laptop demi menghidupi keluarga dari tulis-menulis. Lalu, saya mengajukan proposal kepada istri untuk membeli Macbook Pro M3 baru. Istri saya pun membanting proposal itu dan mengatakan, "Mengapa tidak sekalian M4?"
Saya kira artikel ini sudah mulai melantur. Salam banting tulang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H