Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Semangat Rakyat Banting Tulang

5 Januari 2025   08:22 Diperbarui: 5 Januari 2025   18:14 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rakyat Banting Tulang (RBT), istilah untuk ojek panggilan di daerah Sumatera Utara dan Aceh (Sumber Gambar: Unsplash/IVAN HERMAWAN) 

Perjalanan dari Kota Samarinda ke Bandara Pranoto setidaknya ditempuh dalam waktu 40 menit. Kontur jalannya berkelok sedikit dan naik turun. Si ibu lihai juga membawa mobil barunya meskipun kadang-kadang saya khawatir cara dia menyeimbangkan kopling dan gas di jalan menanjak. Khawatir mobil barunya itu bakal kurang awet barunya.

Fenomena Rakyat Banting Tulang

Di tempat saya lahir dan menghabiskan masa kecil, Tebing Tinggi Deli, Sumatera Utara, istilah ojek tidak dikenal. Masyarakat Sumut, termasuk juga Aceh, pada era 1980-an lebih sering menyebut mereka yang menjadi ojek pangkalan dengan singkatan RBT. Kepanjangannya rakyat banting tulang. Istilah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan transportasi.

Semasa kecil, sempat juga saya bertanya-tanya dalam hati mengapa disebut RBT? Mungkin pekerjaan sebagai ojek itu menunjukkan kerasnya kehidupan sehingga pilihan menjadi RBT merupakan pilihan terakhir. 

Saya sendiri hampir tak pernah naik RBT. Di Tebing Tinggi, RBT kerap ada di mulut jalan menuju perumahan di perkebunan karet/sawit yang relatif sepi. Memang tidak ada alat transportasi umum di sana. 

Transportasi masyarakat yang paling umum digunakan adalah becak dayung (sepeda) atau becak mesin (motor). Cuma mengapa tukang becak tidak dikategorikan juga rakyat banting tulang? Tukang becak sudah biasa, tetapi rakyat yang punya sepeda motor terus ngojek, mungkin dianggap tidak biasa.

Para RBT itu dalam istilah saat ini tergolong masyarakat rentan---kelas menengah yang menuju ke bawah. Mereka masih memiliki sepeda motor walaupun bukan kategori gres. Dulu saya ingat para RBT itu banyak menggunakan jenis motor antik Honda CB 100, bukan jenis GL Pro atau GL Max.

Menurut engkau apakah sebutan RBT itu berlebihan? Saya kira orang yang kali pertama memunculkan istilah itu menggunakan kritik sosial tentang fenomena masyarakat yang sulit mencari pekerjaan lalu memilih ngojek. Ia dapat dipandang sebagai istilah yang mengapresiasi para tukang ojek dan dapat pula dipandang sebagai sindiran sulitnya mencari pekerjaan.

Tidak terbayangkan bahwa fenomena rakyat banting tulang itu kemudian pas dengan apa yang terjadi pada dekade-dekade selanjutnya ketika rakyat berbondong-bondong bukan hanya banting tulang, melainkan banting setir menjadi ojek daring. Mereka yang tadinya bekerja kantoran, lebih memilih menjadi ojek daring.

Teknologi memungkinkan ojek menyebar bak serbuk sari yang ditiup angin. Lalu, mereka bersiaga 24 jam dengan panggilan melalui aplikasi. Mereka tidak lagi menunggu di tempat-tempat tertentu seperti mulut gang atau jalan-jalan sepi. Mereka menunggu di titik-titik peluang di mana ada orang yang bepergian.

Tren menjadi komika pada anak-anak muda kini juga memperlihatkan fenomena rakyat banting tulang. Bahkan, mungkin banting mic. Apaan tuh? Saya juga belum tahu maknanya apa. Penulis-penulis Kompasiana yang sedang hiatus mungkin sedang banting laptop. 

Ketika Rakyat Ogah Banting Tulang

Rakyat ogah banting tulang (ROBT) juga fenomena sosial yang ada di sekeliling kita. Apakah ia identik dengan kemalasan? Mungkin ya, mungkin juga tidak karena boleh jadi ada latar sosial dan kesehatan mental sehingga seseorang tidak termotivasi untuk bekerja keras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun