Selamat memulai langkah pertama pada 2025. Engkau sebagai pembaca mungkin sudah punya senarai buku yang akan mulai dibaca pada tahun baru ini. Janganlah buku itu tetap dibiarkan terbungkus plastik dan berdebu atau hanya tersusun rapi di rak yang membisu.Â
Zaman penuh percepatan ini menuntut kita mencari kedalaman pengetahuan yang hanya disediakan oleh buku-buku bermutu. Itu sebabnya aktivitas membaca harus tetap menjadi resolusi sebagai solusi.
Tahun lalu (2024) saya juga sempat membeli beberapa buku kategori nonfiksi. Sederet lima buku yang saya ingat, yaitu 1)Â Filosofi Teras (Henry Manampiring) saat memasuki cetakan ke-50; 2) Atomic Habits (James Clear); 3) Company One (Paul Jarvis); 4) Social Media Success for Every Brand (Claire Diaz-Ortiz); dan 5) Mengabadikan Tabungan Kenangan (Hilmi Faiq). Dari deretan itu tergambar kecenderungan minat saya pada beberapa bidang buku nonfiksi, yaitu kesehatan mental, pengembangan diri, bisnis, teknologi digital, dan kreativitas.
Saya pun mengira kecenderungan buku-buku nonfiksi yang saya pilih akan tetap mendominasi tren buku pada 2025. Tren di sini sangat berhubungan dengan tema atau topik sehingga bukan dilihat dari jenis bukunya, yaitu fiksi atau nonfiksi serta buku anak atau buku dewasa. Sebagai contoh, buku anak itu kagak ada matinye, apa pun temanya.Â
Begitu pula buku religi bukan saya anggap sebagai kategori tren karena secara evergreen, ia tetap diperlukan. Hanya buku-buku religi seperti buku Islam pada tema-tema tertentu juga dipengaruhi oleh kecenderungan dan tren pembahasan.
Contoh lain, fiksi dalam hal ini novel memiliki kecenderungan sebagai tren yang agak samar. Fiksi sangat dipengaruhi siapa yang akan menjadi pionir dalam menciptakan tren (trend setter) sehingga diikuti oleh penulis lainnya. Saya menyatakan bahwa fiksi berbasis pada keinginan (want) sehingga sukar ditakar. Ada novel yang awalnya diprediksi tidak sukses, tetapi malah disukai, viral, dan sukses. Sebaliknya, ada yang sudah digadang-gadang bakal laku, ternyata jeblok.
Berbeda halnya dengan nonfiksi yang berbasis pada kebutuhan (need) sehingga kecenderungannya lebih mudah diprediksi. Jika disusun sebuah senarai tema/topik buku nonfiksi yang bakal menjadi tren 2025, pilihan berikut ini akan tetap diminati:
- kesehatan mental;
- pengembangan diri;
- bisnis dan kewirusahaan;
- teknologi, terutama  AI;
- sejarah;
- lingkungan; dan
- kreativitas.
Topik kesehatan mental memang naik daun dalam tiga tahun ke belakang jika dihubungkan dengan kelahiran generasi baru, terutama Gen-Z. Ada banyak tekanan sosial pada masa kini, pengaruh media sosial, gonjang ganjing ekonomi, dan pandemi Covid-19. Deretan masalah itu menimbulkan gangguan mental. Buku yang ditulis oleh Henri Manampiring, Filosofi Teras, menjadi satu contoh buku kesehatan mental yang mewakili situasi berat Generasi Milenial dan Gen-Z. Buku itu laris manis karena menggunakan pendekatan praktis.
Filosofi Teras itu mendaur ulang konsep Stoik dari Yunani Kuno dengan pendekatan kekinian. Banyak kearifan masa lalu telah terputus dari zaman kini sehingga sangat mungkin diaktualkan kembali.
Karena itu, buku-buku "daur ulang" juga akan diminati karena dorongan mendalami pemikiran-pemikiran orang yang terdahulu. Saya ingat dulu ada buku bunga rampai bertajuk Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, terbit 2000. Penerbitnya Visi Gagas Komunika---saya ingat penerbit ini dulu agresif memasarkan buku dengn jalur alternatif.Â
Terkadang memang terasa makin ke sini makin minim tokoh berkelas pemikir dan pembaharu di Indonesia. Fenomena yang kuat adalah munculnya para pemengaruh (influencer) dengan kenaifannya yang justru lebih dipercayai daripada para pakar. Itulah mengapa seorang pakar juga penting sering menulis, muncul di media sosial, dan berlatih retorika.Â
Tidak pelak lagi pemikiran-pemikiran lawas pun diperlukan sebagai rujukan. Buku-buku "daur ulang" merupakan kerja para editor dan penerbit yang jeli melihat peluang. Masyarakat kelas menengah diingatkan kembali untuk membaca pemikiran-pemikiran terdahulu yang brilian.
Buku Cetak Vs Buku Digital
Ini isu lama menyambut hadirnya teknologi digital yang makin digdaya dan hadirnya generasi baru pengguna gadget lebih masif. Namun, hingga kini kenyataannya buku cetak tetap diminati. Tidak serta merta orang kini beralih ke buku digital.Â
Saya mengambil contoh diri saya sendiri yang tetap nyaman dengan buku cetak lalu mengoleksi buku digital dengan pertimbangan kemudahan membawa dan mengaksesnya di mana saja. Dua-duanya memiliki keunggulan yang saling melengkapi, bukan menggantikan.
Karena itu, penerbit pun secara umum menerbitkan dua versi buku, yaitu buku cetak dan buku digital. Ada yang mengatur terbit dulu buku cetak, baru buku digital. Ada pula yang menerbitkan dua versi sekaligus dan meluncurkan bersamaan. Hanya untuk kasus Indonesia, penjualan buku digital belum menyamai penjualan buku cetak. Orang Indonesia meskipun digambarkan minim membaca dan membeli buku, tetap saja dominan menyukai aktivitas membaca buku cetak daripada membaca buku digital.
Soal ini salah satu contoh saja saya gambarkan. Dalam tiga tahun belakangan ini, Pusat Perbukuan (Pusbuk)---sebagai satu-satunya lembaga perbukuan milik pemerintah---aktif menerbitkan buku model (nonteks) sebagai bahan bacaan di satuan pendidikan. Jenisnya ada fiksi dan nonfiksi. Buku model itu diterbitkan awal dalam bentuk buku digital dan dapat diakses gratis dalam bentuk PDF. Meskipun dapat diakses gratis, tetap ada kebutuhan yang tinggi untuk buku cetaknya. Di sisi lain, Pusbuk hanya mencetak buku-buku itu secara terbatas.
Kecenderungan masyarakat kita membaca buku cetak atau menginginkan buku cetak saya kira masihlah tinggi, termasuk di dunia pendidikan. Ia memang lebih fleksibel dan tidak ribet meskipun berat dibawa ke mana-mana.
***
Sebagai seorang penulis atau editor akuisisi, pemahaman tentang kecenderungan dan tren di masyarakat penting untuk diseriusi, bukan sekadar berpikir akan menjadi best seller, melainkan memberi impak berarti bagi pembaca. Ingat buku bermutu itu punya daya gugah, daya ubah, dan daya indah---ini versi Bambang Trim.
Sebagai pembaca, tren buku menjadi pemandu meskipun kita tetaplah punya kuasa tentang apa yang mesti dibaca. Kecerdasan artifisial bahkan dapat membantu engkau membuat pilihan-pilihan buku yang patut dibaca.Â
Iseng saya bertanya pada Kak Meta di WA tentang buku apa yang sebaiknya saya baca pada Januari 2025. Ia pun memberikan rekomendasi buku nonfiksi berikut ini:
- The Power of Ultimate Service Culture karya Iin Supriyatin Ramli;
- Hidden Potential karya Adam Grant.
Oke juga rekomendasinya meskipun data diambil dari rekomendasi buku di blog Gramedia. Apakah Kak Meta bekerja sama dengan Gramedia?Â
Generatif AI itu bekerja dengan kelindan data dan perilaku penggunanya. Namun, saya sih lebih baik langsung pergi ke toko buku fisik dan menggunakan intuisi insani untuk memilih apa yang cocok untuk saya baca. Gen AI itu hanya pemanis hidup kita, pemanis buatan yang jangan digunkan berlebihan.
Sekarang ingat-ingat lagi buku apa yang sudah engkau beli 2024, tetapi belum jua dibaca? Buku apa yang belum engkau tulis juga tahun 2024? Kalau yang satu itu, janganlah ditanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H