Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Sepintas Menilik Tren Buku 2025

1 Januari 2025   07:30 Diperbarui: 2 Januari 2025   06:54 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tren buku 2025 (Unsplash/Alfons Morales)

Tidak pelak lagi pemikiran-pemikiran lawas pun diperlukan sebagai rujukan. Buku-buku "daur ulang" merupakan kerja para editor dan penerbit yang jeli melihat peluang. Masyarakat kelas menengah diingatkan kembali untuk membaca pemikiran-pemikiran terdahulu yang brilian.

Buku Cetak Vs Buku Digital

Ini isu lama menyambut hadirnya teknologi digital yang makin digdaya dan hadirnya generasi baru pengguna gadget lebih masif. Namun, hingga kini kenyataannya buku cetak tetap diminati. Tidak serta merta orang kini beralih ke buku digital. 

Saya mengambil contoh diri saya sendiri yang tetap nyaman dengan buku cetak lalu mengoleksi buku digital dengan pertimbangan kemudahan membawa dan mengaksesnya di mana saja. Dua-duanya memiliki keunggulan yang saling melengkapi, bukan menggantikan.

Karena itu, penerbit pun secara umum menerbitkan dua versi buku, yaitu buku cetak dan buku digital. Ada yang mengatur terbit dulu buku cetak, baru buku digital. Ada pula yang menerbitkan dua versi sekaligus dan meluncurkan bersamaan. Hanya untuk kasus Indonesia, penjualan buku digital belum menyamai penjualan buku cetak. Orang Indonesia meskipun digambarkan minim membaca dan membeli buku, tetap saja dominan menyukai aktivitas membaca buku cetak daripada membaca buku digital.

Soal ini salah satu contoh saja saya gambarkan. Dalam tiga tahun belakangan ini, Pusat Perbukuan (Pusbuk)---sebagai satu-satunya lembaga perbukuan milik pemerintah---aktif menerbitkan buku model (nonteks) sebagai bahan bacaan di satuan pendidikan. Jenisnya ada fiksi dan nonfiksi. Buku model itu diterbitkan awal dalam bentuk buku digital dan dapat diakses gratis dalam bentuk PDF. Meskipun dapat diakses gratis, tetap ada kebutuhan yang tinggi untuk buku cetaknya. Di sisi lain, Pusbuk hanya mencetak buku-buku itu secara terbatas.

Kecenderungan masyarakat kita membaca buku cetak atau menginginkan buku cetak saya kira masihlah tinggi, termasuk di dunia pendidikan. Ia memang lebih fleksibel dan tidak ribet meskipun berat dibawa ke mana-mana.

***

Sebagai seorang penulis atau editor akuisisi, pemahaman tentang kecenderungan dan tren di masyarakat penting untuk diseriusi, bukan sekadar berpikir akan menjadi best seller, melainkan memberi impak berarti bagi pembaca. Ingat buku bermutu itu punya daya gugah, daya ubah, dan daya indah---ini versi Bambang Trim.

Sebagai pembaca, tren buku menjadi pemandu meskipun kita tetaplah punya kuasa tentang apa yang mesti dibaca. Kecerdasan artifisial bahkan dapat membantu engkau membuat pilihan-pilihan buku yang patut dibaca. 

Iseng saya bertanya pada Kak Meta di WA tentang buku apa yang sebaiknya saya baca pada Januari 2025. Ia pun memberikan rekomendasi buku nonfiksi berikut ini:

  • The Power of Ultimate Service Culture karya Iin Supriyatin Ramli;
  • Hidden Potential karya Adam Grant.

Oke juga rekomendasinya meskipun data diambil dari rekomendasi buku di blog Gramedia. Apakah Kak Meta bekerja sama dengan Gramedia? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun