Perunggu! Akhirnya, Indonesia pecah telur medali lewat sosok atlet bulutangkis tunggal putri, Georgia Mariska Tunjung (Jorjia). Ia kalah dari peraih medali emas, An Se-young dalam semifinal dan tidak harus memperebutkan medali perunggu karena lawannya cedera.Â
Lalu, Indonesia kembali menyala lewat sosok Veddriq Leonardo yang menyabet emas dalam cabang panjat tebing. Dalam adu cepat memanjat itu, Veddriq membukukan rekor 4,75 detik, mengalahkan pesaingnya Wu Peng dari China dengan selisih 0,2 detik.
Dini hari, 9 Agustus 2024, Rizki Juniansyah menambah medali emas untuk Indonesia dari cabor angkat besi. Ia pun memecahkan rekor dunia dengan total angkatan 354 kg dengan perincian 155 kg snatch dan 199 kg clean and jerk.
Satu lagi asa medali di Olimpiade Paris 2024 tertumpu pada lifter putri Indonesia, Nurul Akmal.
Posisi sementara sampai artikel ini ditulis, Indonesia berada pada urutan ke-28, satu tingkat di bawah Vietnam dan satu tingkat di atas Thailand, yang kebetulan sesama negara ASEAN.
Apa hubungan menulis dengan olahraga? Olahraga merupakan topik paling heroik yang dapat diangkat ke dalam tulisan sebagai salah satu sisi cerita dari seorang anak manusia. Ketika Jorji berhasil menembus semifinal Olimpiade Paris 2024 dan memenangi perunggu, sosoknya pun mulai dituliskan, baik oleh wartawan maupun para pegiat media sosial.
Sebagai juara bulutangkis tunggal putri, perjuangan Jorji tidak mudah karena terpaan beberapa masalah. Sempat ia hendak menggantungkan raket alias berhenti dari dunia bulutangkis. Namun, kekuatan hati membuatnya bangkit kembali. Tentu saja di sekitar Jorji ada orang-orang yang berjasa.
Begitu pula Veddriq. Saya terharu ketika menyaksikan video bagaimana ibu dan keluarganya berdiri di depan TV, harap-harap cemas menyaksikan Veddriq di final. Mereka semua memanjatkan doa lalu sedetik kemudian berteriak kegirangan. Sang Ibu tak mampu lagi berkata-kata dan bersimpuh mengungkapkan rasa syukur.Â
Veddriq digambarkan sebagai anak yang keras hati. Ia berlatih dengan sepatu pinjaman dan ia tetap bersemangat meskipun kabut asap menyelimuti Pontianak, kota asal anak muda itu. Saya pun membayangkan patutlah Indonesia jadi juara panjat tebing karena tradisi memanjat, terutama pohon-pohon itu merupakan kearifan lokal bangsa kita. Untunglah masih ada pohon untuk dipanjat.Â
Rizki Juniansyah juga punya cerita. Namun, satu hal menarik ketika ia memenangi emas. Rizki mengenakan sepatu berbeda warna kiri dan kanan; yang kanan berwarna ungu dan kiri berwarna oranye. Keberhasilan Rizki diiringinya dengan isak tangis bahagia.
Menuliskan Kisah Hidup Para Atlet
Tentulah semua atlet itu pasti punya sisi cerita yang menarik untuk dituliskan, apalagi ketika mereka mampu meraih yang terbaik dalam prestasinya. Prestasi prestisius seperti juara Olimpiade bukanlah sesuatu yang mudah untuk diraih.Â
Memang ada tradisi membukukan kisah hidup para atlet di Indonesia, tetapi tidaklah banyak. Inisiatif membukukan kisah para atlet mungkin datang dari dirinya sendiri atau datang dari orang/pihak lain. Buku tentang para atlet tidak harus dipandang dari sisi ekonomi bahwa buku itu akan best seller dan menghasilkan fulus. Pandanglah ia sebagai bagian dari penghargaan terhadap sejarah.
Beberapa buku tentang atlet lahir dari cabor bulutangkis. Ada Teguh Budiarto yang menulis buku bertajuk Maestro: Menyingkap Rahasia Sukses Rudy Hartono. Robert Adhi Ksp menulis Panggil Aku King---sebuah memoar tentang Liem Swie King. Terakhir, Greysia Polii meluncurkan autobiografinya bertajuk Menembus Garis Batas: Perjuangan 30 Tahun dan Emas Olimpiade yang ditulis oleh Budi Suwarma dan Eko Prabowo.
Buku Greysia termasuk unik karena hendak dibagikan gratis dengan model memanfaatkan sokongan dari berbagai pihak. Tentu hal itu patut dihargai karena akan banyak orang yang dapat mengakses buku tersebut serta memperoleh inspirasi dari sosok Greysia yang juga melalui jalan berliku untuk menjadi juara.
Atlet dari cabor lain yang pernah dituliskan kisah hidupnya, terutama rekam jejaknya di dunia olahraga adalah Yayuk Basuki. Buku itu bertajuk Yayuk Basuki: Dari Yogya ke Pentas Dunia yang ditulis oleh Daryadi dan diterbitkan Remaja Rosdakarya. Seandainya saya masih bekerja di Rosda pada 1999 sebagai editor, mungkin saya turut menangani buku itu. Pas bertemu Mbak Yayuk di Komisi X DPR-RI saat menyusun RUU Sistem Perbukuan, saya ingat buku itu.
Jadi, meskipun ada yang menuliskan kisah para pejuang di dunia olahraga Indonesia, jumlahnya tak banyak dibandingkan jumlah atlet yang berprestasi di Indonesia. Mungkin atau mudah-mudahan segera terbit pula buku tentang Georgia, Veddriq, dan Rizki sebagai peraih medali Olimpiade karena jelas mereka adalah generasi yang menorehkan prestasi pada zaman serbamudah untuk membukukannya.
Pekerjaan atau proyek penulisan buku para atlet yang berpretasi tingkat dunia semestinya menjadi bagian dari program nasional seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga. Taklah banyak biaya yang perlu dikeluarkan untuk satu buku dibandingkan nilai manfaat dari keberadaan buku tersebut sebagai legasi kepada generasi sebelumnya. Bahkan, itu suatu bentuk penghargaan pada sang atlet.Â
Sangat boleh itu dipandang sebagai knowledge management dari suatu kementerian. Buku seperti yang diterbitkan oleh Greysia Polii semestinya menjadi tugas pemerintah untuk menyokong penulisan dan penerbitannya.
Autobiografi, Biografi, Memoar, dan Prosopografi
Menulis kisah hidup seseorang ada ilmunya yang juga sebagai sebuah seni. Ilmu dan seni menuliskan sejarah anak manusia basisnya adalah ilmu sejarah. Taufik Abdullah menyebutnya sebagai mikrosejarah. Ia bagian dari sejarah publik.
Kuntowijoyo dalam bukunya pernah mengkritik para sarjana sejarah yang "lahan" penulisan kisah hidup itu justru diambil oleh orang-orang yang bukan berlatar sejarah. Para penulis kisah hidup sering kali berasal dari kalangan wartawan yang umumnya tidak berlatar pendidikan bidang sejarah. Jadi, lulusan bidang sejarah justru tak mampu bersaing dengan lulusan yang nonsejarah.
Saya sendiri menekuni bidang penulisan kisah hidup itu meskipun berlatar belakang pendidikan ilmu penerbitan (termasuk bahasa dan sastra) dan ilmu komunikasi. Namun, saya memang dari awal tertarik dengan sejarah. Beruntung pada tahun 2023 saya mengikuti bimtek penulisan sejarah dan mendapatkan sertifikat kompetensi sebagai penulis sejarah dari BNSP yang difasilitasi oleh LSP Kebudayaan.
Dalam ranah penulisan buku kisah hidup terdapat empat jenis buku, yaitu autobiografi, biografi, memoar, dan prosopografi. Apa perbedaannya?
Autobiografi sesuai dengan namanya adalah kisah hidup seseorang yang ditulis oleh orang itu sendiri. Biasanya mengisahkan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama (aku/saya). Jadi, autobiografi pastilah mengisahkan sosok yang masih hidup. Walaupun penulisannya dibantu oleh orang lain sebagai ghostwriter atau co-writer, ia tetap disebut autobiografi karena dikisahkan langsung oleh sumber pertama.
Biografi adalah kisah hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Ada kemungkinan sang tokoh yang dikisahkan sudah meninggal sehingga sumber penulisan diambil dari dokumentasi yang ada serta penuturan dari orang-orang terdekat sang tokoh. Namun, dapat saja biografi itu ditulis tentang sosok yang masih hidup. Ciri biografi yang kental adalah menggunakan sudut pandang orang ketiga (ia/dia).
Baik autobiografi dan biografi sama-sama mengisahkan perjalanan hidup seseorang dari sejak lahir hingga pada titik saat ini atau sampai ia meninggal (biografi). Jika penulisannya mendapatkan restu langsung dari si empunya kisah, buku itu disebut autobiografi resmi atau biografi resmi (authorized autobiography atau authorized biography).
Memang ada autobiografi/biografi yang tidak resmi. Artinya, penulisan sejarah hidup itu tidak mendapatkan izin atau melibatkan secara langsung si empunya cerita. Di Indonesia buku seperti itu banyak juga terbit, terutama dengan maksud mendompleng ketenaran seseorang, apalagi mengangkat sesuatu yang kontroversial.
Lain lagi dengan memoar. Memoar adalah kisah hidup seseorang yang ditulis oleh orang itu sendiri, tetapi hanya berfokus pada satu sisi kehidupan orang tersebut yang paling penting.Â
Memoar banyak dituliskan berkaitan dengan masa seseorang bergiat pada satu bidang atau masa seseorang menjabat pada satu jabatan. Beberapa orang menuliskan memoar dari kisah tragis yang dialaminya, misalnya ketika terjadi kerusuhan sosial pada Mei 1998. Memoar ditulis dengan sudut pandang orang pertama dan yang pasti penulisnya masih hidup.
Saya pernah menuliskan memoar seorang dokter militer yang pernah bertugas menjadi direktur RSCM selama 62 bulan. Buku itu berkisah pengalaman 62 bulan sang dokter melakukan berbagai perubahan di RSCM.
Lalu, apa itu prosopografi? Prosopografi sering juga disebut biografi kolektif. Hal itu merupakan pekerjaan seorang penulis mengumpulkan berbagai data dari sekelompok orang lalu dituliskan dalam bentuk biografi kolektif. Atlet-atlet Indonesia yang berprestasi juga ada yang dituliskan dalam bentuk prosopografi.Â
***
Satu lagi jenis tulisan kisah hidup adalah obituari. Obituari merupakan tulisan kenangan khusus didedikasikan untuk seorang tokoh yang baru saja meninggal dunia. Obituari biasanya berbentuk artikel sebagai tulisan ringkas.
Antara menulis dan olahraga ada hubungannya karena tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis. Anda juga pasti tergerak menulis tentang Georgia, Veddric, atau Rizki dalam bentuk artikel ringkas, lebih maju lagi mungkin dalam bentuk buku. Maka dari itu, menulislah sebelum menulis itu dilarang. He-he-he.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H