Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gelar Profesor di Kover Buku

20 Juli 2024   07:52 Diperbarui: 20 Juli 2024   08:51 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disapa dengan sebutan prof dalam beberapa kegiatan pelatihan penulisan, saya senyum-senyum saja. Lalu, buru-buru saya mengklarifikasi bahwa diri ini belum memperoleh gelar akademis sehebat itu. Tapi, yang memanggil prof bergeming.

Ada juga yang coba membesarkan hati saya, "Bagi saya Pak Bambang ini sudah layak menjadi profesor. Guru besar ilmu penerbitan."

Waduh! 

Ketika riuh tentang gelar profesor kehormatan, saya pun berangan-angan seandainya ada kampus yang mau menghadiahkannya kepada saya, tentu takkan saya tolak. Namun, angan-angan ya tinggal angan-angan karena saya bukan pejabat, pimpinan partai, apalagi pesohor yang pantas setidaknya menjadi wakil wali kota.

Soal sapaan prof itu akhirnya saya membalasnya dengan tawa saja soalnya pada saat itu saya hanya lulusan D-3 dan S-1. Baru tahun 2023 saya menyelesaikan studi S-2 Komunikasi Korporat di Universitas Paramadina. 

Keinsafan kuliah lagi itu datang setelah gabut melanda pada masa pandemi. Kuliah ternyata membuat saya malah keranjingan dan merasa tanggung tidak sampai S-3. Alhasil, saya pun mendaftar untuk mengambil kuliah S-3 tentang ilmu penerbitan di salah satu kampus di Malaysia. Belum mulai karena saya masih menunggu surat penerimaan. Harap-harap cemas, jangan-jangan diterima.

Profesor pada Tempatnya

Seperti yang banyak dipahami bahwa 'profesor' merupakan gelar yang disematkan sebagai jabatan akademis ketika seseorang menyandang posisi guru besar di suatu kampus. Ia jelas memiliki home base di suatu kampus dan telah mengabdi tanpa jeda lebih dari 10 tahun. 

Karena itu, orang seperti saya yang sempat putus-nyambung mengajar di kampus, bahkan bukan dosen tetap, dan kini tidak memiliki home base kampus, mustahil memperoleh gelar profesor, apalagi belum bergelar doktor.

Namun, di Indonesia ada yang disebut profesor kehormatan, hadiah dari institusi kampus kepada seseorang yang dianggap berkontribusi dalam suatu bidang keilmuan. Di BRIN juga ada personel yang menyandang gelar profesor riset.

Profesor itu gelar tertinggi sehingga meminjam istilah Prof. Deddy Mulyana (Kompas, 16 Juli 2024), banyak yang kebelet menjadi profesor---dari kalangan pejabat publik dan pesohor. Mereka yang kebelet mendadak profesor itu mengabaikan pemerolehan gelar secara etis sebagaimana tercantum dalam regulasi Kemendikbudristek.

Lain lagi dengan Prof. Fathul Wahid, Rektor UII, yang mendeklarasikan tak ingin dipanggil dengan sapaan prof, begitu pula ditulis dengan gelar lengkap, misalnya dalam penulisan surat untuknya. Fathul Wahid melakukan desakralisasi sebutan profesor sehingga menimbulkan pro dan kontra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun