Di dalam Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2022 tentang Standar Mutu Buku, Standar Proses dan Kaidah Pemerolehan Naskah, serta Standar Proses dan Kaidah Penerbitan Buku perihal pencantuman gelar akademis di kover buku juga disinggung. Regulasi tersebut melarang pencantuman gelar akademis di kover buku pendidikan.
Gaya CMS memberi opsi gelar tersebut dapat dicantumkan pada bagian biografi ringkas penulis yang ditempatkan biasanya di bagian akhir buku. Jadi, tidak perlu ditonjolkan di kover buku yang memang menjadi "etalase" penjualan buku, tetap penulis dapat mengungkapkannya pada bagian biografi ringkas atau profil penulis.
***
Itu salah satu masalah gelar yang digelar di dalam buku sehingga berpulang utamanya pada penerbit. Jika penerbit buku ilmiah taat asas pada penerapan suatu gaya selingkung, ia akan "mencegah" pencantuman gelar itu. Namun, lain lagi ceritanya jika penerbit malah taat asas untuk mencantumkan gelar akademis atau merayu penulis mencantumkannya, itu juga gaya selingkung.
Profesor perlu insaf untuk tidak mencantumkan gelarnya di kover buku. Biarkan publik pembaca yang menilai bahwa sang profesor benar-benar menulis buku yang mencerahkan dan mencerdaskan sesuai dengan kapasitasnya.
Namun, ada juga masalah lebih serius bahwa banyak profesor belum menulis buku satu pun atau malah menyuruh orang lain membuatkan bukunya (dalam arti bukan gagasan si profesor). Apakah profesor itu telah kehilangan gagasan untuk membukukan hasil penelitian dan pemikirannya ke dalam buku karena saking sibuknya?Â
Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H