Tamu yang bukan orang baru itu bernama sastra. Ia diundang secara khusus masuk ke Kurikulum Merdeka. Kehadirannya dirayakan dalam kegiatan Hari Buku Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional, tepatnya 20 Mei 2024. Ia membawa serta rombongan 177 buku sastra (termasuk nonfiksi) sebagai buku rekomendasi---buku yang dipilihkan untuk dibaca.
Banyak yang menyambut dengan sukacita. Tentu saja sukacita karena selama ini sastra sekadar mampir lalu pergi. Ia hanya menjadi suplemen dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Tanggal 18--20 Oktober 1999, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengadakan Pertemuan Ilmiah Nasional (Pilnas) dengan tema "Sastra Masuk Sekolah". Tajuk pertemuan itu sudah menyiratkan sastra masih berada di luar sekolah, belum benar-benar diperhatikan. Dirjen Dikdasmen pada saat itu, Indra Djati Sidi, mengungkapkan terjadi fenomena bahwa semua pihak pada setiap lini memercayai pengetahuan dan kemampuan di bidang eksakta lebih utama daripada pengetahuan dan kemampuan sosial di bidang humaniora (Riris K. Toha Sarumpaet, 2002, Sastra Masuk Sekolah).
Kehadiran sastra diperlukan untuk mengutuhkan manusia. Secara gamblang dan benderang hal itu juga diungkapkan oleh Yudi Latif (2009) dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Kebangkitan dan kemajuan bangsa Indonesia dari sisi sejarah tidak dapat dilepaskan dari hadirnya sastra dan karya sastra dalam kehidupan masyarakat Nusantara.Â
Karena itu, wacana tentang "menyekolahkan sastra" itu telah lama ada dan isunya berulang kali diangkat, termasuk pada era setelah Reformasi dengan gerakan "Sastra Masuk Sekolah". Sastrawan Taufiq Ismail sempat mengungkapkan tragedi nol buku di sekolah-sekolah Indonesia. Tidak ada kewajiban membaca buku sastra. Sekarang, hal itu dikonkretkan dengan kebijakan "Sastra Masuk Kurikulum", termasuk menyiapkan buku-buku sastra yang direkomendasikan untuk dibaca.
Kurasi Buku Sastra
Seorang staf Pusat Perbukuan menghubungi via pesan WA. Ia memastikan apakah saya dapat menghadiri puncak peringatan Hari Buku Nasional sekaligus peluncuran Sastra Masuk Kurikulum. Saya pun menjawab tidak dapat hadir karena sedang mengisi pelatihan menulis di Unair, Surabaya pada hari itu. Sesungguhnya saya ingin hadir juga melihat kemeriahan dan kegembiraan "Sastra Masuk Kurikulum".
Beberapa kali dalam kegiatan rapat di hotel sebagai anggota Komite Penilaian Buku Teks di Pusat Perbukuan, saya berpaspasan dengan beberapa orang sastrawan yang saya kenali (mungkin mereka tidak kenal saya). Saat itu memang sedang dilaksanakan rapat kurasi buku sastra untuk jenjang SD, SMP, dan SMA atau sederajat. Jadi, Pusat Perbukuanlah yang menginisiasi dan memfasilitasi pertemuan itu dengan gol utama menyusun daftar buku yang direkomendasikan.
Saya dapat memahami bahwa kurasi buku itu pastilah bercampur antara objektivitas dan subjektivitas. Namanya juga mengurasi di antara puluhan mungkin ratusan ribu judul buku yang pernah terbit sejak era Balai Pustaka hingga kini. Tambahan lagi, buku karya para kurator pun turut dikurasi dan akhirnya direkomendasikan masuk ke dalam daftar.Â
Berbaik sangka saja karena mungkin yang mengusulkan buku itu bukan mereka sendiri, melainkan kurator lain. Selain itu, buku karya di antara para kurator itu memang layak direkomendasikan. Sebut saja karya Eka Kurniawan dan Mahfud Ikhwan yang telah mendapat penghargaan.
Lalu, muncullah senarai 177 judul buku sastra yang direkomendasikan. Rekomendasi itu bermakna saran yang menganjurkan (boleh juga membenarkan dan menguatkan). Artinya, sebagai rekomendasi tentu tidak pula wajib dipilih.
Alasan perlunya buku rekomendasi itu sebenarnya jauh-jauh hari sudah pernah disampaikan. Ketika masih duduk sebagai anggota Komite Penilaian Buku Nonteks Pelajaran di Pusat Perbukuan (2017--2022), saya kerap mengungkit bahwa kita di Indonesia tidak memiliki suatu daftar buku rekomendasi (untuk dibaca siswa sekolah) seperti halnya negara lain. Gagasan perlunya sebuah daftar buku rekomendasi telah dibincangkan sejak regulasi perbukuan disahkan, yakni UU Nomor 3.2017 dan PP Nomor 75/2019.
Daftar buku rekomendasi itu akan memudahkan siswa, guru, dan orang tua siswa untuk menentukan pilihan buku yang perlu dibaca di antara buku-buku terpilih. Buku-buku terpilih itu semestinya buku yang baik, dalam istilah saya memiliki daya gugah, daya ubah, dan daya indah.Â
Buku-buku itu juga harus memenuhi syarat buku bermutu, termasuk Syarat Isi Buku sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Sekadar mengingatkan Syarat Isi Buku mengandung negasi bahwa buku wajib
- tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila;
- tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, dan/atau antargolongan;
- tidak mengandung unsur pornografi;
- tidak mengandung unsur kekerasan; dan
- tidak mengandung ujaran kebencian.
Kurasi buku sastra rekomendasi tentu harus memperhatikan "larangan" tersebut meskipun banyak hal yang sulit dihindarkan dari buku sastra yang terbit bebas sebagai ekspresi seni. Jarang sekali, sastrawan secara sengaja menciptakan karya sastra yang dimaksudkan sebagai buku pendidikan untuk digunakan di sekolah-sekolah.Â
Sastra umumnya memotret gejolak kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat, termasuk kekerasan, sadisme, seksual, dan bahkan penyimpangan seksual. Jika buku sastra yang bebas itu dijadikan buku pendidikan, hal-hal yang tampak tidak mendidik itu harus disikapi dengan kepala dingin.
Pernah suatu ketika beberapa buku sastra terbitan Balai Pustaka tidak lolos penilaian di Pusat Perbukuan. Alasannya buku-buku itu memang mengandung konten tidak patut.Â
Saat itu saya menyampaikan argumen, ya jelas tidak patut karena pertama, sastrawan yang menciptakannya mungkin tidak pernah berpikir buku itu akan masuk sekolah dan dipelajari sebagai bagian dari pendidikan kesastraan. Kedua, buku itu memotret apa yang terjadi di masyarakat pada zaman itu. Jika pun menjadi buku pendidikan, buku sastra itu harus didekonstruksi sehingga pas bagi pembaca kategori siswa tertentu, baik pembaca anak-anak maupun pembaca remaja.
Sebagai contoh, buku Atheis karya Achdiat K. Mihardja termasuk yang tidak lolos penilaian dengan berbagai argumen penilai mengacu pada instrumen penilaian. Di dalam rapat pleno komite, hal itu pun dibahas.Â
Memang ada sorotan tentang tokoh, latar, dan alur cerita ketika penilai agak kaku mengasumsikan buku tersebut bakal mendorong orang menjadi ateis. Padahal, ada pesan moral terkait tokoh utama di dalam novel itu. Pembaca mahir akan mampu menalarnya.Â
Saya lupa apakah kemudian novel itu akhirnya dinyatakan layak. Sependek ingatan saya akhirnya diloloskan dengan pertimbangan sudah dapat dibaca oleh siswa jenjang SMA.
Sungguh tidak mudah untuk menentukan buku sastra bahwa yang itu atau yang ini cocok dibaca oleh siswa. Saya pun teringat mengapa dahulu saat SMP saya harus membaca novel Layar Terkembang dan Sitti Nurbaya? Apakah memang pas novel-novel itu untuk anak SMP?Â
Secara liar pula saat SMP tahun 1980-an akhir tersebar novel-novel vulgar karya Enny Arrow dan serial Nick Carter. Ada juga novel-novel asmara dan misteri yang apabila membacanya tetap saja menimbulkan gairah tidak biasa, seperti karya Freddy S. dan Abdullah Harahap.
Jadi, akhirnya terpilihlah 177 buku sastra. Mengapa harus 177 judul di antara begitu banyak buku sastra lain yang layak direkomendasikan? Jawabannya boleh jadi klise karena adanya keterbatasan anggaran. Boleh jadi juga diplomatis bahwa daftar itu merupakan daftar sementara yang secara dinamis dapat berubah, termasuk bertambah.
Jadi, kepada para sastrawan atau penulis yang karyanya ternyata belum direkomendasikan, mungkin hanya persoalan waktu dan mungkin pula memang Anda belum beruntung.
Polemik Mulai Bermunculan
Berandai-andai saja jika yang menjadi kurator itu Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Pane bersaudara (Armijn Pane dan Sanusi Pane), A. Teeuw, Soekanto S.A., Boen S. Oemarjati, Riris K. Toha Sarumpaet, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Bakdi Soemanto, plus Ajip Rosidi, mungkin lecutan polemik dapat diredam. Paling tidak nama-nama itu kukuh meyakinkan di jagat sastra, kritik sastra, dan pendidikan sastra. Namun, sebagian besar nama-nama itu telah tiada.Â
Keluarnya rekomendasi 177 judul buku versi Pusat Perbukuan di bawah Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) mulai menuai kritik di sana dan di situ. Ada kritik yang ditujukan kepada para kurator yang dominan dari kalangan sastrawan dan ada pula kritik terhadap hasil kerja mereka.
Selain kritik, muncul pula dukungan yang pro dan apresiasi terhadap hasil kerja para kurator. Saya membaca di media sosial bahwa konteks "Sastra Masuk Kurikulum" itu telah dinanti-nanti dan sebuah terobosan. Mungkin pasukan medsos juga dikerahkan untuk membentuk opini dan hal itu wajar-wajar saja.Â
Dalam pandangan saya agak sulit memang menyamakan persepsi antarsastrawan, apalagi jika mereka berkelompok dalam satu aliran. Alhasil, setiap hasil kerja kurator yang condong pada aliran tertentu akan dicurigai oleh sastrawan dari aliran lain.
Saya pribadi melihat hasil 177 judul buku itu tampak lebih moderat dengan kecenderungan jalan tengah. Ada karya-karya masa lalu yang direkomendasikan dan ada pula karya-karya masa kini, baik yang sudah memperoleh penghargaan atau yang belum. Varian kecenderungan konten juga terlihat dari penjelasan setiap buku.
Pusat Perbukuan tampaknya harus bekerja keras membubuhkan daftar "penafian" pada setiap buku yang mengandung konten sensitif. Soal 'penafian' itu yang saya kurang setuju.
Ada persoalan lain sebenarnya terkait ketersediaan dan keberadaan buku-buku yang direkomendasikan itu. Apakah buku-buku itu memang masih ada atau dapat diakses dengan mudah? Apakah negara akan mengakuisisinya (buku-buku yang sudah tidak terbit) dan menerbitkan ulang lalu menyediakanya secara gratis?Â
Ada buku-buku yang mungkin sudah tidak beredar lagi di pasar dan sulit diperoleh, kecuali tentu buku-buku terbitan pemerintah.
Buku untuk jenjang SMP paling minim karena direkomendasikan hanya 29 judul. Kurator berkilah buku-buku untuk jenjang SMP paling sulit dicari. Masa iya sih?Â
Saya tidak ingin mengkritik ke-29 judul rekomendasi itu karena bukan kapasitas saya dan juga pasti ada pertimbangan di balik pemilihan judul-judul itu yang juga tampaknya mempertimbangkan faktor popularitas dan juga faktor buku best seller.Â
Sayangnya, di pembaca madya itu tidak ada buku Kumpulan Drama Remaja yang dieditori A. Rumadi. Padahal, buku tersebut pas untuk remaja yang ingin berkiprah dalam teater. Namun, hal menyayangkan seperti saya ini selalu ada. Artinya, begitu banyak buku sastra yang disayangkan tidak masuk daftar rekomendasi.Â
Kerja para kurator pastilah lelah dan luar biasa sehingga ia tidak dapat menyenangkan semua orang. Di sana senang di sini senang hanya ada pada lagu.
Paling pun kalau sedikit mengkritik, saya melihat novel Si Jamin dan Si Johan disebut sebagai karya Merari Siregar, padahal itu karya saduran. Ada baiknya disebutkan karya asli dan penulis aslinya.Â
Memang pernah suatu masa penerbit Balai Pustaka menyadur banyak karya sastra asing dan tidak membubuhkan keterangan judul asal karya itu serta penulisnya sehingga seolah-olah itu orisinal karya penulis Indonesia. Hal itu pernah dikritik oleh Ajip Rosidi sebagai pelanggaran hak cipta (dalam Sadur!, 2009, Henry Cambert-Loir [ed]) .
Penafian Apakah itu Penyangkalan?
Makna kedua kata penyangkalan di KBBI Daring VI ialah perbuatan menafikan tanggung jawab atau kewajiban atas sesuatu. Kata itu dalam konteks penerbitan diterjemahkan dari disclaimer. Pada buku, penerbit atau penulis/pengarang terkadang menyertakan halaman penafian di bagian awal buku.
Penerbit menggunakan halaman penafian untuk menegaskan bahwa pemikiran dan pandangan penulis di dalam buku tidak mewakili kebijakan penerbit. Karena itu, penerbit "mencari aman" agar tidak tersangkut dalam persoalan hukum. Demikian pula penulis menggunakan halaman itu untuk menghindari tuntutan hukum dari pembaca atau pihak lain.
Sebelum ada kata 'penafian', saya menggunakan kata 'peringatan' untuk memadankan disclaimer. Namun, secara makna masih kurang tepat sehingga penafian tidak sama dengan peringatan meskipun pada halaman penafian juga dikandung peringatan kepada pembaca.
Contohnya, pada buku fiksi umumnya tercantum penafian berikut: Tokoh, latar, dan alur pada kisah ini tidak tidak terkait dengan tokoh yang masih hidup ataupun sudah tiada. Karena itu, apabila terdapat kesamaan tokoh, latar, dan alur pada kisah ini dengan kejadian sebenarnya, itu adalah kebetulan belaka.
Dr. Mehmet Oz dalam bukunya You on a Diet juga mengadakan halaman penafian. Ia mengingatkan pembaca untuk tetap berkonsultasi dengan ahli dalam program diet dan tidak sepenuhnya bergantung pada isi buku.
Joe Vitalae dalam bukunya Hypnotic Writing mengadakan halaman penafian. Vitalae menjelaskan lebih dulu tentang hipnosis dan peringatannya agar kemampuan hypnotic writing digunakan untuk jalan kebaikan. Selain itu, ada pula klarifikasi tentang hipnosis sebagai sarana, bukan sebuah "kekuatan" bagaikan dewa bagi seseorang. Penjelasan dan peringatan awal seperti itu cukup adil bagi pembaca agar tidak berpikiran "macam-macam" dulu. Tentu juga Joe tidak menginginkan isi buku itu digunakan dalam kejahatan.
Penafian menurut A & C Black (2009) dalam Dictionary of Publishing and Printing ialah penolakan secara hukum untuk bertanggung jawab. Karena itu, penafian digunakan sebagai upaya melepaskan diri dari tanggung jawab yang berkonsekuensi terhadap hukum. Namun, A & C Black menyatakan keabsahan halaman itu sebagai bukti hukum masih dipertanyakan.
Di Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra, penafian disajikan dalam bentuk daftar umum dan daftar detail. Isinya muatan konten sensitif di dalam buku, faktual konten tersebut (apa dan di halaman berapa), dan penjelasan konten itu yang terdapat pada sub penjelasan khusus. Contoh konten sensitif, yaitu kekerasan (fisik dan verbal), sadisme, seksualitas, dan LGBT. Konten sensitif itu ada di beberapa buku yang direkomendasikan.
Hal yang dapat dimaklumi bahwa konten itu termuat pada karakter/tokoh yang menjadi protagonis atau antagonis di dalam cerita. Konteks tokoh dan penokohan digunakan oleh pengarang/penulis itu untuk menghidupkan jalan cerita, memperlihatkan fenomena masyarakat sesuai dengan latar cerita, dan memberi pesan tentang akibat-akibatnya. Jadi, dianggap masih dapat berterima dalam dunia pendidikan sebagai karya sastra dengan menggunakan penalaran.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atau menyangkal bertanggung jawab atas pemuatan konten-konten itu sebagai penafian? Itulah yang dapat memunculkan pertanyaan dari penafian tersebut.
Kata yang tepat menurut saya bukan 'penafian', tetapi 'peringatan' atau 'catatan peringatan' untuk pembaca dan pendamping pembaca (guru, orang tua, atau orang dewasa dalam konteks bacaan anak-anak). Tentu peringatan disampaikan agar pembaca tidak terkejut dengan beberapa konteks cerita yang kurang patut lalu dijelaskan juga bagaimana mitigasi dampaknya melalu pendampingan dan penalaran.
Masuknya konten-konten tidak patut itu ke dalam buku sastra, baik masa lalu maupun masa sekarang, memang sulit dihindarkan. Konteks instrinsik, bahkan ekstrinsik juga dapat menjadi kilah yang membenarkan.
Namun, mereka yang mempertanyakan dapat juga meyampaikan tanggapan: Lalu, mengapa buku-buku itu yang direkomendasikan, apakah tidak ada buku lain yang lebih layak? Nah, itulah yang harus dijawab oleh Kemendikbudristek.
***
Polemik rekomendasi itu saya yakin sudah disangkakan akan muncul oleh para kurator, Pusat Perbukuan, dan BSKAP sendiri. Kalau hal itu menimbulkan dampak, pasti juga sudah disiapkan aksi mitigasi. Jika ada yang menyambut dengan sukacita dan ada yang menyambit dengan dukacita kehadiran tamu si orang lama itu, hal itu sebuah persoalan biasa saja. Tapi, persoalan itu juga dapat meluas jika terjadi dinamika dalam penggunaan buku sastra itu kelak di sekolah-sekolah kita.
Bagaimana dengan Anda? Mau menyambut atau menyambit "Sastra Masuk Kurikulum"? Ada yang diplomatis menjawab: "Aku setuju sekali sastra masuk kurikulum, tapi buku-buku sastranya itu loh. Kok, agak laen kutengok."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI