Sungguh tidak mudah untuk menentukan buku sastra bahwa yang itu atau yang ini cocok dibaca oleh siswa. Saya pun teringat mengapa dahulu saat SMP saya harus membaca novel Layar Terkembang dan Sitti Nurbaya? Apakah memang pas novel-novel itu untuk anak SMP?Â
Secara liar pula saat SMP tahun 1980-an akhir tersebar novel-novel vulgar karya Enny Arrow dan serial Nick Carter. Ada juga novel-novel asmara dan misteri yang apabila membacanya tetap saja menimbulkan gairah tidak biasa, seperti karya Freddy S. dan Abdullah Harahap.
Jadi, akhirnya terpilihlah 177 buku sastra. Mengapa harus 177 judul di antara begitu banyak buku sastra lain yang layak direkomendasikan? Jawabannya boleh jadi klise karena adanya keterbatasan anggaran. Boleh jadi juga diplomatis bahwa daftar itu merupakan daftar sementara yang secara dinamis dapat berubah, termasuk bertambah.
Jadi, kepada para sastrawan atau penulis yang karyanya ternyata belum direkomendasikan, mungkin hanya persoalan waktu dan mungkin pula memang Anda belum beruntung.
Polemik Mulai Bermunculan
Berandai-andai saja jika yang menjadi kurator itu Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Pane bersaudara (Armijn Pane dan Sanusi Pane), A. Teeuw, Soekanto S.A., Boen S. Oemarjati, Riris K. Toha Sarumpaet, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Bakdi Soemanto, plus Ajip Rosidi, mungkin lecutan polemik dapat diredam. Paling tidak nama-nama itu kukuh meyakinkan di jagat sastra, kritik sastra, dan pendidikan sastra. Namun, sebagian besar nama-nama itu telah tiada.Â
Keluarnya rekomendasi 177 judul buku versi Pusat Perbukuan di bawah Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) mulai menuai kritik di sana dan di situ. Ada kritik yang ditujukan kepada para kurator yang dominan dari kalangan sastrawan dan ada pula kritik terhadap hasil kerja mereka.
Selain kritik, muncul pula dukungan yang pro dan apresiasi terhadap hasil kerja para kurator. Saya membaca di media sosial bahwa konteks "Sastra Masuk Kurikulum" itu telah dinanti-nanti dan sebuah terobosan. Mungkin pasukan medsos juga dikerahkan untuk membentuk opini dan hal itu wajar-wajar saja.Â
Dalam pandangan saya agak sulit memang menyamakan persepsi antarsastrawan, apalagi jika mereka berkelompok dalam satu aliran. Alhasil, setiap hasil kerja kurator yang condong pada aliran tertentu akan dicurigai oleh sastrawan dari aliran lain.
Saya pribadi melihat hasil 177 judul buku itu tampak lebih moderat dengan kecenderungan jalan tengah. Ada karya-karya masa lalu yang direkomendasikan dan ada pula karya-karya masa kini, baik yang sudah memperoleh penghargaan atau yang belum. Varian kecenderungan konten juga terlihat dari penjelasan setiap buku.
Pusat Perbukuan tampaknya harus bekerja keras membubuhkan daftar "penafian" pada setiap buku yang mengandung konten sensitif. Soal 'penafian' itu yang saya kurang setuju.
Ada persoalan lain sebenarnya terkait ketersediaan dan keberadaan buku-buku yang direkomendasikan itu. Apakah buku-buku itu memang masih ada atau dapat diakses dengan mudah? Apakah negara akan mengakuisisinya (buku-buku yang sudah tidak terbit) dan menerbitkan ulang lalu menyediakanya secara gratis?Â