Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyambut atau Menyambit Sastra Masuk Kurikulum

23 Mei 2024   07:58 Diperbarui: 23 Mei 2024   17:59 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- KOMPAS/Heryunanto

Alasan perlunya buku rekomendasi itu sebenarnya jauh-jauh hari sudah pernah disampaikan. Ketika masih duduk sebagai anggota Komite Penilaian Buku Nonteks Pelajaran di Pusat Perbukuan (2017--2022), saya kerap mengungkit bahwa kita di Indonesia tidak memiliki suatu daftar buku rekomendasi (untuk dibaca siswa sekolah) seperti halnya negara lain. Gagasan perlunya sebuah daftar buku rekomendasi telah dibincangkan sejak regulasi perbukuan disahkan, yakni UU Nomor 3.2017 dan PP Nomor 75/2019.

Daftar buku rekomendasi itu akan memudahkan siswa, guru, dan orang tua siswa untuk menentukan pilihan buku yang perlu dibaca di antara buku-buku terpilih. Buku-buku terpilih itu semestinya buku yang baik, dalam istilah saya memiliki daya gugah, daya ubah, dan daya indah. 

Buku-buku itu juga harus memenuhi syarat buku bermutu, termasuk Syarat Isi Buku sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Sekadar mengingatkan Syarat Isi Buku mengandung negasi bahwa buku wajib

  • tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila;
  • tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, dan/atau antargolongan;
  • tidak mengandung unsur pornografi;
  • tidak mengandung unsur kekerasan; dan
  • tidak mengandung ujaran kebencian.

Kurasi buku sastra rekomendasi tentu harus memperhatikan "larangan" tersebut meskipun banyak hal yang sulit dihindarkan dari buku sastra yang terbit bebas sebagai ekspresi seni. Jarang sekali, sastrawan secara sengaja menciptakan karya sastra yang dimaksudkan sebagai buku pendidikan untuk digunakan di sekolah-sekolah. 

Sastra umumnya memotret gejolak kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat, termasuk kekerasan, sadisme, seksual, dan bahkan penyimpangan seksual. Jika buku sastra yang bebas itu dijadikan buku pendidikan, hal-hal yang tampak tidak mendidik itu harus disikapi dengan kepala dingin.

Pernah suatu ketika beberapa buku sastra terbitan Balai Pustaka tidak lolos penilaian di Pusat Perbukuan. Alasannya buku-buku itu memang mengandung konten tidak patut. 

Saat itu saya menyampaikan argumen, ya jelas tidak patut karena pertama, sastrawan yang menciptakannya mungkin tidak pernah berpikir buku itu akan masuk sekolah dan dipelajari sebagai bagian dari pendidikan kesastraan. Kedua, buku itu memotret apa yang terjadi di masyarakat pada zaman itu. Jika pun menjadi buku pendidikan, buku sastra itu harus didekonstruksi sehingga pas bagi pembaca kategori siswa tertentu, baik pembaca anak-anak maupun pembaca remaja.

Sebagai contoh, buku Atheis karya Achdiat K. Mihardja termasuk yang tidak lolos penilaian dengan berbagai argumen penilai mengacu pada instrumen penilaian. Di dalam rapat pleno komite, hal itu pun dibahas. 

Memang ada sorotan tentang tokoh, latar, dan alur cerita ketika penilai agak kaku mengasumsikan buku tersebut bakal mendorong orang menjadi ateis. Padahal, ada pesan moral terkait tokoh utama di dalam novel itu. Pembaca mahir akan mampu menalarnya. 

Saya lupa apakah kemudian novel itu akhirnya dinyatakan layak. Sependek ingatan saya akhirnya diloloskan dengan pertimbangan sudah dapat dibaca oleh siswa jenjang SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun