Di Kemendikbudristek ada tiga lembaga yang juga menerbitkan buku untuk kepentingan pendidikan dan gerakan literasi. Tiga lembaga itu, yaitu Pusat Perbukuan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, serta Perpusnas RI. Beberapa kegiatannya, seperti mengakuisisi dan menerbitkan naskah hasil sayembara, ternyata hampir mirip antara satu dan lainnya.
Dalil regulasinya juga sama-sama ada pada setiap lembaga itu. Namun, untuk perbukuan tentu lebih kukuh dasar hukumnya pada Pusat Perbukuan karena disahkan dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan beberapa Peraturan Menteri.Â
Pusat Perbukuan sendiri merupakan lembaga lawas yang berdiri sejak tahun 1984. Ia bermula dari Proyek Buku Terpadu yang menempatkan Pemerintah Indonesia menganut kebijakan menerbitkan buku teks/buku sekolah sendiri (tanpa melibatkan swasta) pada masa itu.
Sekarang, Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan kombinasi dalam penerbitan buku teks. Buku teks utama disiapkan dan diterbitkan oleh pemerintah, sedangkan buku teks pendamping diterbitkan oleh penerbit swasta. Pusat Perbukuan dengan demikian juga menjalankan fungsi sebagai penerbit pemerintah sekaligus menjadi penilai buku-buku terbitan swasta.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pun demikian ketika ia menyelenggarakan sayembara buku bacaan literasi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah (balai/kantor bahasa). Naskah buku terpilih diterbitkan atas nama badan sehingga Badan Bahasa juga menjalankan fungsi sebagai penerbit buku bacaan literasi dan buku panduan kebahasaan.
Dengan melihat hal ini maka aktivitas penerbitan buku itu sudah menjadi aktivitas pendukung yang penting di lembaga-lembaga pemerintah, apalagi jika dikaitkan dengan program edukasi di internal lembaga dan di masyarakat.Â
Buku-buku dari pemerintah umumnya tidak dijual sehingga kemudian dibagi-bagikan ke berbagai individu, komunitas, dan perpustakaan secara gratis. Jika pun di lapak-lapak lokapasar ditemukan buku-buku itu, pastilah itu penjual iseng yang mendapatkan stok buku gratis entah dari mana.
Di antara tiga lembaga pemerintah yang berafiliasi dengan Kemendikbudristek tadi memang terkesan "bersaing" untuk sama-sama menerbitkan buku pendidikan. Pada ujungnya buku-buku tersebut harus disahkan penggunaannya di satuan pendidikan oleh Pusat Perbukuan melalui program penilaian buku.
Bagaimana jika buku dari Badan Bahasa dan Perpusnas Press tidak lolos di Pusat Perbukuan? Ini "agak laen" memang.Â
Jadi, semoga pemerintahan baru ke depan juga melihat sisi kecil ini soal gerakan literasi di Kemendikbudristek. Pemerintah harus memberi kejelasan tugas, fungsi, dan wewenang dalam pengembangan daya literasi sehingga antarlembaga tidak perlu membuat kegiatan/program yang sama dengan keluaran yang sama pula. Pemerintah baru harus kembali memperhatikan buku sesuai dengan amanat UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
"Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan kedekatan masyarakat bangsa itu dengan buku," begitu sebuah adagium memberi makna pada kekuatan buku.