Dulu saat masih kuliah, saya senang menghabiskan waktu di Perpustakaan Pusat, Universitas Padjadjaran. Tepatnya, ia berada di Jalan Dipatiukur, Bandung.Â
Ada yang selalu menarik perhatian saya. Perpusnas itu memiliki rubanah (ruang bawah tanah). Ternyata di rubanah itu terdapat mesin-mesin percetakan tua yang sudah tak lagi digunakan. Sepertinya ruang itu dulu difungsikan sebagai percetakan, mungkin juga sekaligus penerbitan. Akan tetapi, Unpad Press sebagai penerbitan universitas kurang bergaung pada masa itu.
Saya bersama dosen saya, Dadi Pakar (alm.) pernah menghadap Rektor Unpad, Ganjar Kurnia, pada masa itu. Kami membincangkan tentang rencana menghidupkan Unpad Press. Namun, rencana itu tidak kesampaian.
Berdasarkan sejarah, penerbitan universitas (university press) di Indonesia mulai dirintis setelah didirikannya Pusat Grafika Indonesia pada tahun 1969. Lembaga ini didirikan atas bantuan Pemerintah Belanda sehingga mereka menghadirkan tenaga ahli di bidang penerbitan dan grafika sekaligus menghibahkan mesin-mesin cetak modern. Hanya beberapa kampus negeri yang menjadi proyek pilot pendirian university press, di antaranya UI Press, Penerbit ITB, Unair Press, dan Unhas Press.
Sejarah berdirinya penerbitan universitas umumnya tidak dapat dilepaskan dari perpustakaan kampus. University Press itu dibentuk sebagai unit pelaksana teknis (UPT) yang di antaranya digabungkan dengan perpustakaan. Karena itu, beberapa penerbit universitas bersatu gedungnya dengan perpustakaan, seperti Penerbit ITB. Namun, ada juga yang dijalankan sebagai UPT tersendiri dengan pimpinan dan manajemen yang berbeda dari perpustakaan.
Hubungan mesra antara perpustakaan dan penerbit buku sejatinya sudah terjadi sejak lama. Buku-buku selalu menjadi koleksi perpustakaan. Sebaliknya, melalui perpustakaan pula para penulis dapat menghasilkan buku-buku baru melalui riset pustaka. Perpustakaan juga menjadi salah satu tempat promosi buku dan kegiatan berbasis buku.
Sebagai fakta, Komisi Bacaan Rakyat yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda awal 1900-an merupakan lembaga yang bertugas menghimpun buku-buku lalu mendirikan taman bacaan (sebutan lain perpustakaan) di sekolah-sekolah. Pemasok buku-buku untuk taman bacaan adalah penerbit Belanda setelah melalui seleksi oleh Komisi Bacaan Rakyat.
Lalu, muncul ide pembaharuan dari benak D.A. Rinkes, sekretaris di Komisi Bacaan Rakyat pada masa itu. Ketika kepemimpinan komisi beralih ke Rinkes, ia mengajukan restrukturisasi organisasi komisi. Rinkes berusaha memproduksi sendiri buku-buku bacaan sehingga didirikanlah Balai Pustaka pada tahun 1917.
Rinkes yang dijuluki "Bapak Balai Pustaka" ini ingin mengefisienkan program literasi pada masa itu, termasuk dengan mendirikan percetakan sendiri yang menurutnya secara kalkulasi lebih murah. Komisi Bacaan Rakyat pun berubah menjadi Penerbit dan Percetakan Balai Pustaka.Â
Akuisisi naskah secara besar-besaran dilakukan, terutama untuk naskah-naskah berbahasa daerah di antaranya naskah berbahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Aktivitas penerjemahan juga digiatkan untuk menyediakan bacaan bermutu yang variatif.