Mungkin ada yang berpandangan bahwa buku fisik atau buku cetak tidak relevan lagi digunakan sebagai bahan pembelajaran pada masa kini. Orang dapat mengakses konten pembelajaran kapan pun dan di mana pun kini dengan konsep internet of thing (IoT), yakni tersedianya buku digital.Â
Bahkan, pandangan lebih skeptis muncul bahwa buku sudah tidak relevan lagi untuk dunia pendidikan kini. Setiap orang dapat belajar dari konten nonbuku yang tersedia bebas dan luas di dunia maya.
Pandangan terakhir ini terbukti tidak berdasar ketika kita dihadapkan fakta bahwa guru dan siswa masih memerlukan "pegangan" yang bersifat sistematis, terstruktur, lengkap, dan terbagi secara baku atas materi esensial, motivasi belajar, dan asesmen. Buku sudah sejak dulu berhubungan mesra dengan dunia pendidikan. Ia tidak serta merta dapat disisihkan karena adanya penetrasi teknologi, terutama dalam penyediaan konten yang dianggap dapat menggantikan buku.
Maka dari itu, isunya kini lebih menukik pada apakah dunia pendidikan tetap menggunakan buku cetak atau buku digital? Faktanya buku cetak masih dicari. Toko buku dan lapak buku masih dikunjungi oleh orang tua dan siswa untuk mencari buku sebagai sarana mereka belajar. Bagaimana jika buku didigitalkan saja seperti yang dilakukan oleh Pusat Perbukuan melalui SIBI (Sistem Informasi Buku Indonesia) sehingga dapat diakses?Â
Tetap saja pada ujungnya buku itu dicetak lagi karena ada faktor yang disebut tacticaly (respons sentuhan) dan penjelajahan (atmosphere). Kita tidak dapat melepaskan diri dari barang berbentuk segi empat yang terbuat dari kertas dan dipenuhi tulisan/gambar itu.
Respons sentuhan mendorong banyak orang membaca buku cetak karena mudah menggenggamnya, membolak-balik halaman, mencium bau kertas yang khas, dan tentu lebih ekspresif membaca buku munculan (pop-up) dan buku tutup buka (flap) kalau itu adalah buku cetak. Faktor penjelajahan berhubungan dengan kesenangan menjelajahi toko buku fisik, mengamati tiap rak buku, dan bahkan menemukan buku yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Saya pernah "berteori" bahwa buku yang tidak laku karena tidak bertemu dengan pembaca potensialnya. Siapa yang dapat mempertemukan mereka para pembaca rakus dan buku? Tentu saja toko buku, pameran buku, dan bazar buku. Sayangnya, toko buku di Indonesia banyak yang sudah menemui ajalnya.
Jadi, buku cetak masih menunjukkan eksistensinya dalam dunia pendidikan sehingga buku digital bukanlah substitusi buku cetak, melainkan semacam pendukung atau alternatif yang menawarkan aksesibilitas lebih fleksibel dan lebih modern.
Buku dan Kesenjangan Digital
Ada juga pandangan tentang kesenjangan digital (digital divide) bahwa masih ada kesenjangan antara konten digital dan masyarakat sehingga dalam kasus buku, buku fisik masih digdaya. Pertama, kesenjangan digital karena ketiadaan device atau gadget untuk mengakses konten digital. Namun, untuk kasus yang satu ini tampaknya sudah tergerus karena hampir setiap orang, termasuk anak dan remaja, sudah memiliki ponsel cerdas.
Kedua, kesenjangan digital timbul karena kegagapan teknologi. Meskipun seseorang memiliki sebuah gadget, ia tidak mampu mengoptimalkan penggunaan fitur atau aplikasi karena tidak tahu dan tidak terampil. Hal ini pun mulai diatasi dengan penggunaan fitur dan aplikasi yang ramah pengguna serta memperhatikan pengalaman pengguna (user experience). Banyak orang mulai terbiasa dengan "bahasa teknologi digital".
Ketiga, kesenjangan digital timbul karena kurangnya konten yang dapat diakses atau kurangnya kegiatan berbagi. Dalam kasus buku digital, hal ini juga sudah bukan merupakan isu seperti satu atau dua dekade lalu. Buku digital kini sangat mudah diakses, misalnya di aplikasi iPusnas milik Perpusnas RI secara gratis dan dapat pula dibeli di toko buku digital, seperti Google Play Book dan Kindle. Tidak diperlukan lagi gadget e-reader untuk membaca buku digital secara khusus. Semua sudah tersedia di ponsel cerdas.
Dengan demikian, salah satu kendala orang membaca buku digital karena kesenjangan digital tidak lagi menjadi isu yang signifikan memengaruhi orang untuk membaca buku digital. Namun, faktanya penjualan buku digital di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang berarti dibandingkan penjualan buku cetak. Buku fisik atau buku cetak tetap digdaya meskipun terjadi penurunan pendapatan ketika Covid-19 melanda dan dalam masa pemulihan kini.
Berbeda halnya di Britania Raya, penjualan buku digital pada tahun 2018 mengalahkan penjualan buku cetak (PriceWaterhouseCoopers, 2018). Di AS dan Australia, penjualan buku digital sudah menyamai penjualan buku cetak.
Ada hal menarik justru dari penelitian Ozuem, Howenn, dan Lancaster (2019) yang menyajikan studi perilaku dalam penggunaan buku digital dibandingkan buku cetak. Hal ini dapat dilihat dari dua generasi, yaitu immigrant native dan digital native. Dalam konteks dunia pendidikan kini, masih mungkin ada guru yang merupakan digital immigrant (mulai mengenal komputer awal tahun 1990-an) dan siswanya sudah pasti adalah digital native (terlahir ketika teknologi digital berkembang pesat).Â
Banyak yang berpandangan bahwa mereka yang menghindari membaca buku digital dan sangat terpengaruh dengan romantisme buku cetak adalah kaum digital immigrant. Namun, isu yang kerap dibahas dalam buku digital, yakni tactility (respons sentuhan) menunjukkan baik digital immigrant maupun digital native sama-sama lebih menyukai buku cetak karena mewakili perasaan emosional mereka.
Salah satu keunggulan buku digital, yakni faktor convenience (aksesibilitas). Contohnya, saya sebagai digital immigrant terbantu dengan buku digital sebagai referensi karena dapat saya akses di mana pun dan kapan pun (tentu jika ada internet) dan dapat "dibawa" tanpa batasan. Saya juga menyukai buku digital karena ada fitur pencarian cepat dan penerjemahan. Namun, untuk membaca di perjalanan, seperti perjalanan jarak jauh, saya lebih nyaman membaca buku cetak.
Faktor ketiga yang sebelumnya saya sampaikan, yakni penjelajahan (atmosphere). Mungkin Anda pernah dilempar buku, sakitnya lumayan. Itulah salah satu pengalaman dengan buku fisik . Soalnya, tidak mungkin orang melempar tabletnya dan menyamakan dengan melempar buku digital (he-he-he).Â
Faktor ini sejatinya makin terasa ketika Anda mengunjungi bazar buku seperti Big Bad Wolf, Patjar Merah, atau pameran buku Ikapi. Anda pasti benar-benar merasakan atmosfer buku, bahkan "book war" untuk mendapatkan buku incaran Anda. Anda bahkan dapat berinteraksi dengan sesama pembaca, bertemu penulis idola, dan bertemu langsung dengan para editor. Pengalaman penjelajahan itulah yang ditawarkan oleh buku cetak.Â
Bayangkan jika Anda menghadiri pameran khusus buku digital, Anda pasti disibukkan dengan gadget. Mertua atau calon mertua yang lewat di depan Anda pun bakal dicuekin.
Jas Abu
Ya, jangan sekali-kali meninggalkan buku (jas abu) karena merasa Anda tampak lebih keren mengutip konten digital (minus buku digital) di sana sini. Bahkan, lebih naif lagi kini lahir generasi penulis buku yang enggan membaca buku. Buktinya, banyak buku nonfiksi menyajikan daftar pustaka lebih dominan konten dari internet yang bukan buku, bahkan ada yang 100% merupakan comotan artikel di internet.
Tawaran menggunakan teknologi AI untuk menulis buku juga berpontensi mengesampingkan aktivitas membaca buku itu sendiri. Orang-orang mulai berpikir instan dan tidak mendalam karena merasa terbantu dan begitu percaya dengan bantuan 100% dari teknologi. Ia tidak lagi menggunakan pancaindra dan intuisinya untuk membaca buku.
Di dunia pendidikan jika ada guru/dosen yang merasa pembelajaran tidak memerlukan buku, sebaiknya ke laut aja, terus menyelam ke dasarnya. Sebaliknya, jika ada siswa/mahasiswa tidak perlu membaca buku untuk dapat terlihat pintar dan keren, sebaiknya ke luar angkasa saja, bergabung dengan para alien. Tapi, jangan-jangan alien juga membaca buku.
Maka dari itu, kemesraan ini janganlah cepat berakhir. Kemesraan ini ingin kukenang selalu. Tentunya kemesraan dengan buku-buku sebagai sumber belajar.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI