Ketiga, kesenjangan digital timbul karena kurangnya konten yang dapat diakses atau kurangnya kegiatan berbagi. Dalam kasus buku digital, hal ini juga sudah bukan merupakan isu seperti satu atau dua dekade lalu. Buku digital kini sangat mudah diakses, misalnya di aplikasi iPusnas milik Perpusnas RI secara gratis dan dapat pula dibeli di toko buku digital, seperti Google Play Book dan Kindle. Tidak diperlukan lagi gadget e-reader untuk membaca buku digital secara khusus. Semua sudah tersedia di ponsel cerdas.
Dengan demikian, salah satu kendala orang membaca buku digital karena kesenjangan digital tidak lagi menjadi isu yang signifikan memengaruhi orang untuk membaca buku digital. Namun, faktanya penjualan buku digital di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang berarti dibandingkan penjualan buku cetak. Buku fisik atau buku cetak tetap digdaya meskipun terjadi penurunan pendapatan ketika Covid-19 melanda dan dalam masa pemulihan kini.
Berbeda halnya di Britania Raya, penjualan buku digital pada tahun 2018 mengalahkan penjualan buku cetak (PriceWaterhouseCoopers, 2018). Di AS dan Australia, penjualan buku digital sudah menyamai penjualan buku cetak.
Ada hal menarik justru dari penelitian Ozuem, Howenn, dan Lancaster (2019) yang menyajikan studi perilaku dalam penggunaan buku digital dibandingkan buku cetak. Hal ini dapat dilihat dari dua generasi, yaitu immigrant native dan digital native. Dalam konteks dunia pendidikan kini, masih mungkin ada guru yang merupakan digital immigrant (mulai mengenal komputer awal tahun 1990-an) dan siswanya sudah pasti adalah digital native (terlahir ketika teknologi digital berkembang pesat).Â
Banyak yang berpandangan bahwa mereka yang menghindari membaca buku digital dan sangat terpengaruh dengan romantisme buku cetak adalah kaum digital immigrant. Namun, isu yang kerap dibahas dalam buku digital, yakni tactility (respons sentuhan) menunjukkan baik digital immigrant maupun digital native sama-sama lebih menyukai buku cetak karena mewakili perasaan emosional mereka.
Salah satu keunggulan buku digital, yakni faktor convenience (aksesibilitas). Contohnya, saya sebagai digital immigrant terbantu dengan buku digital sebagai referensi karena dapat saya akses di mana pun dan kapan pun (tentu jika ada internet) dan dapat "dibawa" tanpa batasan. Saya juga menyukai buku digital karena ada fitur pencarian cepat dan penerjemahan. Namun, untuk membaca di perjalanan, seperti perjalanan jarak jauh, saya lebih nyaman membaca buku cetak.
Faktor ketiga yang sebelumnya saya sampaikan, yakni penjelajahan (atmosphere). Mungkin Anda pernah dilempar buku, sakitnya lumayan. Itulah salah satu pengalaman dengan buku fisik . Soalnya, tidak mungkin orang melempar tabletnya dan menyamakan dengan melempar buku digital (he-he-he).Â
Faktor ini sejatinya makin terasa ketika Anda mengunjungi bazar buku seperti Big Bad Wolf, Patjar Merah, atau pameran buku Ikapi. Anda pasti benar-benar merasakan atmosfer buku, bahkan "book war" untuk mendapatkan buku incaran Anda. Anda bahkan dapat berinteraksi dengan sesama pembaca, bertemu penulis idola, dan bertemu langsung dengan para editor. Pengalaman penjelajahan itulah yang ditawarkan oleh buku cetak.Â
Bayangkan jika Anda menghadiri pameran khusus buku digital, Anda pasti disibukkan dengan gadget. Mertua atau calon mertua yang lewat di depan Anda pun bakal dicuekin.
Jas Abu
Ya, jangan sekali-kali meninggalkan buku (jas abu) karena merasa Anda tampak lebih keren mengutip konten digital (minus buku digital) di sana sini. Bahkan, lebih naif lagi kini lahir generasi penulis buku yang enggan membaca buku. Buktinya, banyak buku nonfiksi menyajikan daftar pustaka lebih dominan konten dari internet yang bukan buku, bahkan ada yang 100% merupakan comotan artikel di internet.
Tawaran menggunakan teknologi AI untuk menulis buku juga berpontensi mengesampingkan aktivitas membaca buku itu sendiri. Orang-orang mulai berpikir instan dan tidak mendalam karena merasa terbantu dan begitu percaya dengan bantuan 100% dari teknologi. Ia tidak lagi menggunakan pancaindra dan intuisinya untuk membaca buku.