Tahun 2017 menjadi awal bagi saya menyandang profesi asesor kompetensi, khususnya bidang penulisan dan penerbitan. Saya ingat tahun 2017 itu bersama beberapa rekan mulai merintis sertifikasi untuk penulis buku nonfiksi dan editor. Jalan pertama yang ditempuh ialah menyusun Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) yang harus disahkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Selanjutnya, dari SKKK diturunkan menjadi skema sertifikasi.
Selain SKKK yang bersifat terbatas, secara nasional dikenal juga Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Saat ini SKKNI Bidang Penerbitan Buku sedang diproses di Kementerian Ketenagakerjaan. SKKNI Bidang Pwnerbitan Buku mencakup profesi penulis buku, editor buku, ilustrator buku, dan desainer buku. Maka dari itu, aktivitas sertifikasi kompetensi pelaku perbukuan akan lebih semarak pada tahun-tahun ke depan.
Organisasi yang secara legal menyelenggarakan sertifikasi bernama lembaga sertifikasi profesi (LSP). Ia disahkan lisensinya oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).Â
Sebelum beraktivitas LSP harus memiliki sumber daya sertifikasi, yaitu asesor kompetensi. Asesor kompetensi disiapkan terlebih dahulu dengan menyelenggarakan pelatihan asesor berbasis kompetensi selama 40 jam lalu ditutup dengan uji kompetensi menggunakan SKKNI Standardisasi, Pelatihan Kerja dan Sertifikasi.Â
Asesor kompetensi memegang sertifikasi kompetensi selama tiga tahun lalu ia harus memperbarui kembali sertifikat kompetensinya melalui kegiatan RCC (recognition current competency). Seorang asesor kompetensi dilatih dan diuji oleh master asesor.
Asesor kompetensi boleh dibilang profesi yang unik. Pekerjaan utamanya melakukan asesmen dengan cara mengumpulkan bukti-bukti dari asesi lalu melakukan uji kompetensi untuk mengukur kompetensi. Pada akhirnya ia membuat keputusan apakah seorang asesi berpredikat kompeten (K) atau belum kompeten (BK).
Sertifikasi dan Uji Kompetensi
Panjang memang perjalanan merintis sertifikasi profesi ini. Di sisi lain, ada juga penolakan yang secara umum terjadi pada beberapa profesi, tidak hanya penulis dan editor. Pertanyaan paling sering diajukan: apa pentingnya sertifikasi profesi?
Ada banyak jawaban untuk pertanyaan sederhana semacam itu. Sertifikasi profesi merupakan suatu penghargaan terhadap profesi yang menempatkan seseorang diakui kompetensinya. Sertifikasi profesi digunakan untuk memetakan kualifikasi level kompetensi seseorang (level tertinggi adalah level 9 dalam Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia). Sertifikasi kompetensi digunakan sebagai syarat mendapatkan pekerjaan profesional, khususnya di lembaga pemerintah. Itu di antaranya kepentingan sertifikasi sehingga ia bersifat opsional bagi individu.Â
Saya analogikan dengan sertifikasi berbahasa, seperti UKBI (uji kemahiran berbahasa Indonesia) atau TOEFL. Individu yang mengikuti uji kompetensi berbahasa ini pastilah memiliki kepentingan dan motivasi tertentu. Umumnya UKBI dan TOEFL diikuti karena menjadi persyaratan untuk menjalani profesi tertentu atau sebagai syarat masuk pendidikan tinggi pascasarjana.
Namun, bagi saya pribadi yang memang sedari awal merintis karier sebagai seorang penulis buku dan editor serta mengenyam pendidikan tinggi di bidang ilmu penerbitan, tentu sertifikasi menjadi pendukung karier saya. Sama seperti anggapan awam, ya buat apa lagi saya ikut sertifikasi karena sudah terbukti, tetapi saya ingin profesi saya dihargai. Penghargaan penting termasuk tarif penulisan dan penyuntingan yang perlu distandardisasi.
Sertifikasi profesi adalah bisnis? Pandangan ini tidak keliru karena semua aktivitas sertifikasi memerlukan sumber daya, seperti tempat uji kompetensi, asesor kompetensi, dan staf administrasi. Semuanya berbiaya, tetapi dalam konteks sebagai program negara maka negara yang akan memberi subsidi pelaksanaan sertifikasi.
Contohnya, ada LSP yang dimiliki oleh pemerintah seperti LSP Kebudayaan di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan sebagai LSP Pihak Kedua (P-1). Penyelenggaraa diklat berbasis kompetensi dan sertifikasi dibiayai oleh negara sehingga peserta yang terpilih mengikutinya tanpa biaya. Saya sendiri pernah mengikuti diklat dan sertifikasi sebagai penulis sejarah. Jadi, sekarang saya memegang sertifikat kompetensi sebagai penulis sejarah.Â
Memasuki tahun keempat melaksanakan sertifikasi, sekira 11.000 penulis dan editor telah disertifikasi. Pengguna terbanyak sertifikasi kompetensi dari kalangan perguruan tinggi (dosen dan mahasiswa), sisanya adalah profesional/praktisi di industri penerbitan dan industri penulisan.
Tantangan Asesor Kompetensi
Hari ini, 28/04/2024, saya kembali mengikuti kegiatan recognition current competency (RCC) untuk kali kedua. Artinya, sudah enam tahun saya berprofesi sebagai asesor kompetensi. Memang tidak mudah menjalani profesi sebagai asesor kompetensi.
Pertama, ada pekerjaan yang sifatnya administratif meskipun sangat terbantu dengan sistem berbasis situs web. Selain itu, asesor kompetensi harus paham dan hafal tentang aturan sertifikasi dan uji kompetensi yang dikeluarkan oleh BNSP.Â
Kedua, asesor kompetensi juga harus menunjukkan kinerjanya dalam menyusun materi uji kompetensi (MUK) sebagai masukan untuk LSP. Jadi, pekerjaannya setengah mirip dosen karena harus menyiapkan MUK sesuai dengan standar kompetensi dan skema kompetensi.
Ketiga, saat melakukan uji kompetensi, asesor kompetensi harus mampu merencanakan dan melakukan berbagai bentuk uji kompetensi sesuai dengan asesmen asesi. Tantangan terutama ketika mengasesmen para penulis dan editor yang notabene individu berkedudukan "istimewa", seperti profesor, rektor, wakil rektor, dekan, atau penulis yang sudah memiliki "jam terbang" tinggi dalam bidang penulisan dan penerbitan. Untuk mereka diberikan uji kompetensi berupa verifikasi portofolio, biasanya melalui pernyataan wawancara atau reviu produk.
Saat pandemi Covid-19 melanda, BNSP memberi kebijakan pelaksanaan sertifikasi jarak jauh secara daring. Melalui LSP, kami menggunakan metode asesmen secara daring. Bidang penulisan dan penerbitan sangat memungkinkan model asesmen seperti ini karena memang tidak memerlukan perlengkapan dan peralatan yang rumit untuk uji kompetensi, apalagi jika hanya verifikasi portofolio dengan wawancara.
Dengan demikian, asesor kompetensi merupakan komponen penting dalam proses asesmen untuk memperoleh sertifikat kompetensi (sertifikasi profesi). Asesor harus merupakan sosok yang mumpuni di bidangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H