Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Kenangan Masa Kecil Kala Ramadan di Kota Kecil

16 Maret 2024   06:33 Diperbarui: 16 Maret 2024   11:20 3322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syamin Pardede/Kompas

Dari pusat kota tempat kami tinggal ke kampung tak memakan waktu lama. Mungkin kisaran 20 menit bersepeda. Tujuan kami menjelang Ramadan ialah mencari batang bambu yang tumbuh subur di kampung itu. 

Kami membelinya dari masyarakat setempat satu batang. Terkadang tidak perlu membeli, dipersilakan mengambil saja. Batang bambu itu kemudian digergaji dalam ukuran tertentu. Lalu, kami membawanya pulang untuk diubah menjadi "senjata" berdaya ledak alias meriam bambu.

Kami adalah saya dan teman-teman saya yang menghabiskan masa kecil di Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara--sering juga disebut Tebing Tinggi Deli. Kota ini mendapat julukan "Kota Lemang" karena banyaknya sejak dulu penjual lemang batok (keturunan Minang) di Jalan K.H. Ahmad Dahlan yang lebih populer disebut kawasan Tjong A Fie. 

Kota kecil ini merupakan jalur perlintasan antara Medan-Prapat. Dahulu jika orang ingin melancong dari Medan ke Danau Toba, umumnya melewati Tebing Tinggi--meksipun ada jalur lain dari Berastagi. Jika masuk ke dalam kota ada bagian kota yang menaik. Kami menyebutnya jalan penaikan. Sejarah kota ini dulu memang bermula dari sebuah tebing kecil. Bagian tertinggi di kota ini pun mustahil diterjang banjir dari Sungai Bahilang karena beberapa kali kota Tebingtinggi pernah mengalami banjir besar.

Tempat Saya Tinggal

Waktu itu tahun 1980-an ketika saya baru saja masuk SD. Saya dan teman-teman tinggal di jantung kota kecil ini. Kami menyebut tempat kami tinggal itu kompleks. Nah, bukan kompleks perumahaan, tetapi sebuah kompleks pabrik es di tengah kota. Itulah pabrik es Saripetojo yang juga ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Bandung, dan Solo. 

Pabrik es yang memproduksi es batangan ini merupakan pabrik peninggalan zaman Hindia Belanda. Cuaca panas pada iklim tropis seperti Indonesia membuat produksi es batu menemukan momentumnya untuk bertumbuh kembang. 

Pada saat saya masih tinggal di sana era 1970--1980-an, produksi es batu itu merupakan pendukung bagi para nelayan untuk mengawetkan tangkapannya. Jadi, pelanggan utama pabrik es Saripetojo adalah nelayan atau tauke-tauke pemilik kapal ikan. Es untuk konsumsi rumah tangga dan restoran sedikit sekali pasarnya. 

Jika saya gambarkan, kompleks itu merupakan bangunan pabrik, kantor, dan perumahan karyawan. Di belakang pabrik terdapat sungai dari aliran sungai Bahilang. Rumah karyawan ditata letak mengelilingi pabrik membentuk leter L. Sisi sebelah kanan pabrik dari depan ke belakang merupakan jalan masuk mobil. Adapun sisi kiri mulai berderet rumah karyawan sampai ke belakang. Saya sudah tidak ingat persis ada berapa rumah di sana.

Posisi rumah menunjukkan kelas karyawan. Posisi paling depan ditempati manajer perusahaan lalu diikuti staf dengan kedudukan paling tinggi hingga sampai ke belakang ditempati karyawan biasa bersama keluarganya. 

Saya tinggal di rumah paling depan menghadap ke jalan raya. Pasalnya, ayah saya saat itu menjadi manajer di perusahaan itu. Jabatan tertinggi di sana sehingga berhak menempati rumah paling besar dan paling depan. Rumah bergaya arsitektur Belanda itu memiliki 3 kamar di bangunan utama lalu ada tiga kamar lagi di paviliun. Luas bangunan dan halaman kira-kira 2.000 meter persegi.

Ada banyak kenangan Ramadan yang unik di Tebingtinggi. Contohnya, saat berbuka dan imsak ditandai dengan bunyi sirine mengaung di seantero kota. Sirine itu berasal dari menara air milik perusahaan air minum Tirtanadi, juga peninggalan Hindia Belanda. Kami menyebutnya 'bengong'. Entah mengapa sirine itu disebut bengong, mungkin karena bunyi sirine yang keras dan khas itu membuat orang bengong sejenak.

Berbisnis Es Batu

Ramadan bagi anak-anak pabrik es Saripetojo juga berarti bisnis. Saya mulai berbisnis sejak kelas 4 SD dengan menjadi asisten. Asisten bos saya yang menjadi pemilik dagangan. Dagangan kami adalah es batu (begitu kami menyebutnya) dari pabrik. Biasanya bos saya membeli setengah batang es. Satu batang kira-kira berukuran satu meter lebih. Es setengah batang tersebut kemudian dipotong kecil-kecil. Potongan es dimasukkan ke peti kayu (kami sebut peti sabun) lalu ditaburi serbuk gergajian kayu agar tak cepat cair.

Hawa panas di Tebingtinggi layaknya kota di Sumatra Utara pada umumnya menyebutkan berbuka dengan air dingin benar-benar memupus dahaga. Minum air bercampur es menjadi kebiasaan, terutama pada bulan Ramadan. Karena itu, businessman musiman seperti bos saya itu mendapat berkah. Saya sebagai asistennya membantu berjualan dengan menyiapkan plastik asoy dan memasukkan es ke dalam plastik. Soal harga, bos saya yang menentukan.

Orang yang saya sebut bos ini juga sepantaran dengan saya usianya. Dia teman saya yang tak lain anak karyawan pabrik es Saripetojo. Loh, mengapa saya yang anak manajer bukannya menjadi bos? 

Posisi bos itu sudah lebih dulu diambil abang saya yang juga berjualan es batu. Tapi, saya enggan menjadi asisten abang saya karena juga tidak diajak olehnya. Posisi asisten abang saya ditempati anak lain. Jadi, memang ada beberapa bos lapak es batu pada saat Ramadan. Tempat berjualan adalah pinggir jalan persimpangan yang ramai.

Jadi, karena jiwa entrepreneurship saya sudah menyala kala itu, beranilah awak ini melamar sebagai asisten. Setiap akhir penjualan, saya menerima upah. Upah itulah yang sering saya belikan "takjil" untuk berbuka. Bangga sekali rasanya membeli takjil dari keringat sendiri, padahal di meja makan rumah saya sudah begitu banyak tersedia makanan dan minuman untuk berbuka.

Tradisi Menyalakan Lilin

Sejak kecil yang saya tahu begitu Ramadan tiba adalah merayakannya dengan menyalakan lilin. Tiba-tiba pasar dibanjiri berpak-pak lilin kecil berwarna-warni. Ada label kertas di dalamnya bergambar naga. Lilin ini jelas diproduksi pabrik milik orang Tionghoa. Entah bagaimana sejarahnya Ramadan di Tebing Tinggi dirayakan dengan menyalakan lilin-lilin itu. 

Mungkin saja orang mencibir ini tradisi yang tidak ada dalam ajaran Islam. Tapi, bagi kami anak-anak pada masa itu, Ramadan adalah sebuah kegembiraan luar biasa. Lilin-lilin kecil itu menyala seperti memberi semangat, "Ayo, tunaikan puasa sebulan penuh!"

Terlebih lagi pada malam ke-27 maka makin semarak lilin dinyalakan di teras-teras rumah dan juga di pagar layaknya hendak menyambut malam Lailatul Qadar. Anak-anak juga bermain 'bunga api' (kembang api) dan petasan. Situasi ini akan kembali terulang pada malam takbiran.

***

Di belakang kompleks seperti tadi saya tuliskan ada sebuah sungai mengalir. Sungai itu berfungsi mendinginkan kondensor di pabrik. Jadi, pabrik es pada zaman itu memang selalu mengandalkan sungai dan pasti berada di dekat sungai. 

Di seberang sungai ada permukiman penduduk. Kami menyebut anak-anak yang tinggal di sana dengan sebutan 'anak seberang'. Dengan merekalah kami berperang meriam bambu pada malam hari setelah tarawih. 

Di pabrik es kami memiliki bahan baku karbit selain minyak tanah untuk meletupkan meriam. Ini menjadi kemeriahan lain pada bulan Ramadan. Dentuman meriam bambu bisa sangat keras.

Tapi, semua itu mungkin hanya tinggal kenangan. Mungkin hanya sedikit yang tersisa dari "tradisi" itu karena zaman sudah berubah. Lokasi kompleks pabrik es Saripetojo yang dulu saya tempati kini sudah menjadi lokasi sebuah pasaraya (supermarket). Tak ada lagi yang tersisa karena aset perusahaan daerah itu sudah dijual sejak lama. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun