Ada banyak kenangan Ramadan yang unik di Tebingtinggi. Contohnya, saat berbuka dan imsak ditandai dengan bunyi sirine mengaung di seantero kota. Sirine itu berasal dari menara air milik perusahaan air minum Tirtanadi, juga peninggalan Hindia Belanda. Kami menyebutnya 'bengong'. Entah mengapa sirine itu disebut bengong, mungkin karena bunyi sirine yang keras dan khas itu membuat orang bengong sejenak.
Berbisnis Es Batu
Ramadan bagi anak-anak pabrik es Saripetojo juga berarti bisnis. Saya mulai berbisnis sejak kelas 4 SD dengan menjadi asisten. Asisten bos saya yang menjadi pemilik dagangan. Dagangan kami adalah es batu (begitu kami menyebutnya) dari pabrik. Biasanya bos saya membeli setengah batang es. Satu batang kira-kira berukuran satu meter lebih. Es setengah batang tersebut kemudian dipotong kecil-kecil. Potongan es dimasukkan ke peti kayu (kami sebut peti sabun) lalu ditaburi serbuk gergajian kayu agar tak cepat cair.
Hawa panas di Tebingtinggi layaknya kota di Sumatra Utara pada umumnya menyebutkan berbuka dengan air dingin benar-benar memupus dahaga. Minum air bercampur es menjadi kebiasaan, terutama pada bulan Ramadan. Karena itu, businessman musiman seperti bos saya itu mendapat berkah. Saya sebagai asistennya membantu berjualan dengan menyiapkan plastik asoy dan memasukkan es ke dalam plastik. Soal harga, bos saya yang menentukan.
Orang yang saya sebut bos ini juga sepantaran dengan saya usianya. Dia teman saya yang tak lain anak karyawan pabrik es Saripetojo. Loh, mengapa saya yang anak manajer bukannya menjadi bos?Â
Posisi bos itu sudah lebih dulu diambil abang saya yang juga berjualan es batu. Tapi, saya enggan menjadi asisten abang saya karena juga tidak diajak olehnya. Posisi asisten abang saya ditempati anak lain. Jadi, memang ada beberapa bos lapak es batu pada saat Ramadan. Tempat berjualan adalah pinggir jalan persimpangan yang ramai.
Jadi, karena jiwa entrepreneurship saya sudah menyala kala itu, beranilah awak ini melamar sebagai asisten. Setiap akhir penjualan, saya menerima upah. Upah itulah yang sering saya belikan "takjil" untuk berbuka. Bangga sekali rasanya membeli takjil dari keringat sendiri, padahal di meja makan rumah saya sudah begitu banyak tersedia makanan dan minuman untuk berbuka.
Tradisi Menyalakan Lilin
Sejak kecil yang saya tahu begitu Ramadan tiba adalah merayakannya dengan menyalakan lilin. Tiba-tiba pasar dibanjiri berpak-pak lilin kecil berwarna-warni. Ada label kertas di dalamnya bergambar naga. Lilin ini jelas diproduksi pabrik milik orang Tionghoa. Entah bagaimana sejarahnya Ramadan di Tebing Tinggi dirayakan dengan menyalakan lilin-lilin itu.Â
Mungkin saja orang mencibir ini tradisi yang tidak ada dalam ajaran Islam. Tapi, bagi kami anak-anak pada masa itu, Ramadan adalah sebuah kegembiraan luar biasa. Lilin-lilin kecil itu menyala seperti memberi semangat, "Ayo, tunaikan puasa sebulan penuh!"
Terlebih lagi pada malam ke-27 maka makin semarak lilin dinyalakan di teras-teras rumah dan juga di pagar layaknya hendak menyambut malam Lailatul Qadar. Anak-anak juga bermain 'bunga api' (kembang api) dan petasan. Situasi ini akan kembali terulang pada malam takbiran.
***
Di belakang kompleks seperti tadi saya tuliskan ada sebuah sungai mengalir. Sungai itu berfungsi mendinginkan kondensor di pabrik. Jadi, pabrik es pada zaman itu memang selalu mengandalkan sungai dan pasti berada di dekat sungai.Â